Akankah cinta memudar seperti kehormatan yang telah hilang?
Seruni, nama yang singkat, sesingkat pemikirannya tentang cinta ketika usianya baru saja menginjak tujuh belas tahun saat itu. Atas kekagumannya pada sosok gagah, pemuda yang digandrungi semua gadis desa pada masa itu, Seruni rela melepas keperawanannya kepada lelaki itu di sebuah bilik bambu tak berpenghuni.
Ajun Komisaris Polisi Seno Ari Bimantara, lelaki dengan segudang prestasi di ranah kepolisian, tercengang ketika pada hari dia kembali bekerja setelah lamaran dengan kekasihnya, menemukan laporan dua orang wanita malam yang berkelahi dengan satu korban bocor di kepala. Ia tercekat pada satu nama dan satu wajah dalam laporan itu: Seruni.
Gadis polos yang ia ambil kesuciannya bertahun-tahun lalu di balik bilik bambu kini kembali secara tak sengaja ke dalam hidupnya dengan realita kehidupan mereka yang kontras. Namun, pada pertemuan kedua setelah bertahun-tahun yang lalu itu, hanya ada kebencian dalam nyalang mata seruni ketika memandangnya.
Bima, Seruni dan Atikah, terlibat sebuah hubungan rumit yang akhirnya mengantarka mereka pada romansa berantakan berujung dendam! Mampukah Bima meredam kebencian Seruni pada sepenggal kisah mereka yang tertinggal di balik bilik penyesalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lemari Kertas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan
Pesawat yang membawa Seruni akhirnya sampai di kota Malang, tapi dia mesti mencari mobil travel yang akan membawanya ke sebuah desa tempat di mana dirinya lahir dan besar dulu.
Sudah sepuluh tahun Seruni tak menjejakkan kaki di desa itu. Entahlah seperti apa kini keadaannya. Seruni keluar dari lapangan bandara sembari menyeret koper berukuran sedang juga merapatkan sweater yang dikenakannya. Ia mungkin akan berada di desa hingga tujuh hari kematian ibunya.
"Pak, apa saya bisa menemukan travel yang bisa membawa saya ke desa ini?" tanya Seruni kepada seorang supir taksi yang sedang terkantuk-kantuk menunggu di parkiran bandara.
"Maaf, Neng, saya ketiduran. Neng ini bertanya apa tadi?" tanya lelaki yang sudah cukup tua itu.
"Saya ingin ke desa, Pak. Tapi ke sana musti dengan travel atau bus. Kalau bus sepertinya tak ada lagi malam begini."
"Mana saya lihat alamatnya, Neng."
Lelaki itu melihat alamat yang tertera di maps yang sedang ditunjukkan oleh Seruni.
"Wah, ini cukup jauh. Tapi kalau Neng mau, biar saya yang mengantarkan."
"Benar Bapak bisa?" tanya Seruni dengan rasa syukur.
Lelaki itu mengangguk. Seruni melafazkan syukur karenanya. Kemudian supir taksi itu memasukkan koper Seruni ke bagasi. Lalu ia segera menyalakan mesin mobil dengan Seruni yang sudah duduk di dalam.
"Malam sekali Neng?" tanya supir itu setelah mereka berada di perjalanan.
"Ibu saya meninggal beberapa jam tadi, Pak. Saya baru saja datang dari Jakarta." Seruni menjawabnya lirih.
"Yang sabar, ya, Neng. Kematian itu memang menyakitkan karena itu awal mula perpisahan, tetapi meratap juga tak baik. Semoga Neng kuat."
Seruni mengangguk. Ia bersyukur supir taksi yang sudah tua itu mau mengantarkannya. Ia juga sempat khawatir jika harus naik travel mengingat banyaknya tindak kejahatan yang sering terjadi di mobil-mobil pengangkut penumpang seperti itu.
Seruni dalam perjalanan yang akan ditempuh kurang lebih tiga jam itu hanya bisa diam saat ini. Kepalanya bersandar pada kaca jendela mobil, terasa sedikit terantuk. Perlahan, airmatanya mengalir mengenang kesedihan yang datang kembali. Hubungannya dan ibu merenggang semenjak ibunya menikah lagi dengan lelaki pemabuk itu.
Seandainya saja dulu ibu tak menikah dengan lelaki itu, ia pasti akan terus bersama ibunya hingga sekarang. Namun, semenjak lelaki itu ada, hidup Seruni di rumah reot mereka bak neraka. Ia kerap jadi sasaran amukan bapak tiri karena kalah berjudi atau ketika ibunya tak bisa memberi uang lebih.
Tapi sudahlah, semenjak berhasil memecahkan kepala Tobi hingga bocor, ia juga seperti menemukan Seruni yang baru karena bertepatan dengan itu pula, ia telah dinodai dan ditinggalkan begitu saja oleh Bima.
Ah, Bima! Mengapa Seruni harus kembali mengenang pria yang telah bertambah gagah itu. Hati Seruni kembali ditikam rasa sakit berkepanjangan setiap kali dia ingat Bima. Tiga jam perjalanan akhirnya Seruni sampai di depan gapura. Beberapa saat lagi ia akan melewati rumah tak berpenghuni itu. Seruni menekan dadanya seketika, airmata mengalir begitu saja setiap kali ia melintas di depannya.
"Kuat, Run, kuat!" desis Seruni kepada dirinya sendiri.
Lalu melewati rumah demi rumah, belokan demi belokan hingga tiba di depan rumah yang ternyata sudah diperbaiki di beberapa bagian. Mungkin, ibunya menyisihkan uang yang Seruni kirim selama ini untuk bisa memperbaiki rumah itu sedikit demi sedikit. Karena hari sudah malam, yang menunggu jenazah ibunya terhitung jari. Tapi di sana banyak perempuan cantik yang Seruni tahu itu adalah para anak buahnya mak Ute.
Mak Ute menghambur mendekati Seruni yang baru turun dari taksi. Airmata Seruni lolos begitu saja.
"Yang sabar, Run ..."
Seruni tak sanggup berucap. Beberapa pemuda yang berjaga di luar menatap Seruni dari atas hingga bawah. Sungguh lama merantau membuat Seruni bertambah cantik dan jelita.
Bersama mak Ute, Seruni melangkah ke dalam. Sesak dada Seruni melihat ibunya di pembaringan, tertutup kain jarik cokelat bermotif batik.
"Bu ... "Seruni berlutut, memeluk jenazah ibunya erat.
"Run ... Yang kuat." Para pekerja mak Ute mendekat dan memeluk Seruni yang terguncang. Tak dilihatnya bapak tiri.
"Dia sudah duluan meninggal, Run, beberapa bulan yang lalu karena TBC."
Seruni tak berujar apapun. Ia memang tidak pernah mau tahu kabar bapak tirinya yang jahat itu. Setelah duduk dengan tenang, Seruni meraih yasin dalam kardus, lamat-lamat mulai membacanya dengan airmata yang terkadang masih turun.
Hingga subuh menjelang, Seruni menunaikan ritual ibadah shalat seraya mengadu kepada sang pemilik kehidupan, memohon ampun atas segala dosanya juga dosa sang ibu selama ini. Paginya setelah dishalatkan, jenazah ibu Seruni dimakamkan. Seruni berpakaian serba hitam dengan selendang hitam terawang.
Tak ada lagi airmata, tapi kesedihan jelas masih membayang di wajah cantiknya. Hingga tujuh hari ke depan Seruni akan berada di desa itu. Dari kejauhan terlihat Tobi melihat Seruni dengan pandangan lain. Dia masih sangat mencintai adik tirinya itu. Mencintai? Tobi sendiri tak paham, sebab setelah Seruni menghantamnya dengan vas bunga dan tak pernah lagi terlihat setelahnya, ia malah merasa kehilangan.