Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.
Season 2 : 02. Pagi yang Sepi di Jakarta Selatan
Pukul 05.00 WIB. Apartemen Sudirman Suites.
Arya terbangun dengan sentakan keras, seolah baru saja jatuh dari ketinggian. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi kaus tidurnya.
Lagi. Mimpi itu lagi.
Mimpi tentang hutan gelap, langit berwarna merah darah, dan teriakan seorang wanita yang memanggil namanya. Namun, setiap kali Arya berusaha melihat wajah wanita itu, kabut putih menutupinya. Yang tersisa hanyalah rasa sakit yang menusuk di dada, seakan separuh jiwanya di cabut paksa.
Arya duduk di tepi ranjang king size-nya yang terlalu besar untuk tidur sendirian. Ia meraup wajahnya kasar.
“Cuma mimpi, Ar. Cuma mimpi.” Gumamnya pada diri sendiri, mantra yang ia ucapkan setiap pagi selama sepuluh tahun terakhir.
Ia bangkit, berjalan menuju dapur apartemennya yang minimalis dan bersih. Semuanya serba putih dan abu-abu. Tidak ada foto keluarga, tidak ada hiasan dinding yang personal. Hanya ada satu benda yang tidak sesuai dengan tema modern itu.
Di sudut ruang tamu, dalam sebuah lemari kaca dengan pengatur suhu khusus, berdiri sebuah keris tua berkarat tanpa sarung.
Arya sendiri tidak tahu kenapa ia membelinya di pelelangan barang antik tahun lalu dengan harga gila-gilaan. Logikanya bilang itu investasi bodoh. Tapi hatinya…hatinya merasa tenang setiap kali melihat benda itu. Seolah keris itu adalah teman lama yang membisu.
Arya meneguk air dingin dari kulkas, lalu menatap keris itu lamat-lamat.
“Siapa sebenarnya yang kucari?” Bisiknya pada keheningan apartemen.
Pukul 09.00 WIB. Proyek Revitalisasi Kota Tua.
Matahari Jakarta mulai menyengat. Debu konstruksi beterbangan. Arya Baskara, dengan helm proyek putih dan kemeja biru yang lengannya di gulung rapi, sedang berdiri di depan pilar beton tua.
Wajahnya merah padam menahan marah. Para pekerja di sekitarnya menunduk takut.
“Siapa yang menyuruh kalian mengecat ulang relief ini dengan cat minyak?” Suara Arya tidak tinggi, tapi tajam dan dingin menusuk tulang.
“I-itu…inisiatif kami, Pak. Biar kelihatan baru,” jawab mandor proyek gemetar.
“Saya disewa untuk merestorasi, bukan merusak!” Arya menunjuk relief ukiran bunga di pilar itu. “Ini batu andesit abad ke-18. Cat minyak akan menutup pori-pori batu dan membuatnya lapuk dari dalam! Apa kalian tidak punya otak?!”
Arya memijat pelipisnya yang berdenyut. Ia benci ketidaktahuan. Ia benci orang yang tidak menghargai sejarah.
“Kupas semuanya sekarang. Pakai teknik chemical peeling yang paling lembut. Kalau sampai ada satu goresan di batu ini…kalian semua saya pecat.”
Arya berbalik badan, meninggalkan para pekerja yang buru-buru bekerja dengan panik.
“Galak banget sih, Pak Bos,” sebuah suara wanita yang manja terdengar.
Arya menoleh. Dyandra berdiri di sana, mengenakan blazer kuning cerah dan sepatu hak tinggi yang jelas salah kostum untuk area proyek berdebu. Dia tersenyum lebar, menyodorkan gelas kopi Starbucks.
“Pagi-pagi udah marah-marah. Nanti cepet tua loh,” goda Dyandra, mendekat dan menyelipkan tangannya di lengan Arya tanpa izin. “Nih, caramel macchiato. Manis, biar hidup kamu nggak pahit terus.”
Arya melepaskan tangan Dyandra pelan tapi tegas. Ia menerima kopi itu hanya karena sopan santun.
“Saya nggak suka manis, Dyan. Kamu tahu itu,” kata Arya datar.
“Sekali-sekali, Ar. Kamu tuh kaku banget kayak beton,” Dyandra tertawa renyah, mengibaskan rambut panjangnya yang wangi. “Oh ya, Papa nanyain. Dinner bareng besok malam bisa? Sekalian bahas tender proyek hotel di Bali.”
Arya menghela napas dalam hati. Dia tahu ini bukan sekedar dinner bisnis. Ini adalah taktik perjodohan terselubung yang sudah berlangsung setahun ini.
“Lihat jadwal saya nanti. Saya sibuk,” elak Arya. Ia melirik jam tangannya. Pukul 11.30.
Wajah Arya yang tadi kaku berubah sedikit lebih rileks.
“Saya harus pergi. Ada janji makan siang,”kata Arya.
Alis Dyandra bertaut curiga. “Makan siang? Sama siapa? Klien? Aku ikut ya?”
“Bukan urusan kamu,” jawab Arya singkat. Ia berjalan menuju mobilnya, meninggalkan Dyandra yang menghentakkan kakinya kesal di belakang.
Pukul 11.45 WIB. Di dalam mobil.
Arya menyetir membelah kemacetan Jakarta Pusat. Ia melirik kursi penumpang di sebelahnya kosong.
Seharusnya ia lelah. Seharusnya ia malas meladeni ajakan makan siang dari wanita asing yang baru ditemuinya seminggu lalu di museum. Wanita aneh yang menatapnya seolah ia adalah hantu.
Tapi anehnya, Arya justru merasa…bersemangat?
Ia meraba dadanya. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ada rasa penasaran yang menggelitik.
“Nasi goreng pedas…” gumam Arya sambil menyalakan lampu sein. “Kenapa rasanya saya sudah menunggu menu ini selama ratusan tahun?”
Tanpa sadar, Arya tersenyum tipis. Senyum yang sangat jarang ia tunjukkan kepada siapa pun, termasuk Dyandra.
Mobil mewahnya berbelok masuk ke parkiran Restoran. Arya merapikan rambutnya di kaca spion, menarik napas panjang, lalu melangkah masuk untuk menemui takdirnya yang tertunda.
(Sebelum Arya bertemu dengan Kirana di meja makan…).