Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.
Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.
Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.
Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Pak Jaya segera menghubungi Hardi, Ayah Naya.
"Saya sudah temukan mereka, Tuan Hardi. Alamatnya sudah di tangan saya," lapor Pak Jaya.
Di seberang telepon, Hardi tersenyum dingin. "Bagus. Jangan sentuh mereka dulu. Awasi mereka, dan kirim orang-orang ku ke sana. Kali ini, mereka tidak akan bisa lari lagi."
Bayang-bayang masa lalu kini bukan lagi bayangan, melainkan ancaman nyata yang semakin mendekat. Ketenangan Naya dan Rian akan segera berakhir.
Beberapa hari setelah laporan Pak Jaya, suasana di kota kecil itu mulai terasa berbeda. Naya dan Rian merasakannya, meskipun tidak bisa menjelaskan alasannya. Ada perasaan tidak nyaman, seolah-olah mata yang tidak terlihat sedang mengawasi mereka.
Suatu sore, saat Rian pulang dari kerja, ia melihat dua pria asing berdiri di seberang jalan, menatap lurus ke arah kontrakan mereka. Mereka berpakaian rapi, tapi sorot mata mereka dingin dan penuh perhitungan. Rian pura-pura tidak melihat, tapi kewaspadaannya meningkat.
Naya juga merasakan hal yang sama. Saat ia sedang mengajar les privat di rumah, ia merasa ada mobil yang berhenti di depan rumah lebih lama dari biasanya.
Malam itu, Rian dan Naya membicarakan kekhawatiran mereka.
"Mungkin hanya perasaanku saja," ujar Naya, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Mungkin," balas Rian, tapi ia tidak yakin. Ia menceritakan dua pria asing yang dilihatnya di seberang jalan.
Mereka memutuskan untuk lebih berhati-hati. Tidak lagi santai di taman, dan tidak lagi makan di warung makan langganan mereka. Mereka mengunci pintu kontrakan mereka dengan lebih rapat.
Ketakutan mulai merayap masuk ke dalam kehidupan kecil mereka yang damai. Mereka tahu, cepat atau lambat, ayah Naya akan menemukan mereka. Dan kali ini, mereka tidak tahu apakah mereka bisa melarikan diri lagi.
Malam itu, ketakutan mereka menjadi kenyataan.
Rian dan Naya sedang makan malam sederhana di kontrakan mereka saat ketukan keras di pintu membuat mereka tersentak. Rian langsung berdiri, memberi isyarat agar Naya diam.
Ketukan itu menjadi dobrakkan. Pintu kontrakan mereka hancur, dan masuklah empat pria berbadan besar, dipimpin oleh dua pria yang dilihat Rian di seberang jalan. Wajah mereka dingin dan mengancam.
"Nona Naya, Tuan Hardi menunggu Anda," ujar salah satu pria dengan suara datar, seolah-olah mengundang Naya ke pesta teh, bukan menculiknya.
Rian segera berdiri di depan Naya, melindunginya. "Kami tidak akan ke mana-mana."
"Oh, ya?" Pria itu tersenyum mengejek. "Tuan Hardi bilang untuk membawa Nona Naya hidup-hidup, tapi tidak ada perintah untuk Anda, Tuan Rian. Kami bisa saja melukai Anda."
Ketegangan memuncak. Rian tahu ia tidak bisa melawan empat pria berbadan besar sendirian. Ia hanya punya satu pilihan.
"Lari, Naya! Keluar lewat jendela belakang!" bisik Rian.
Naya ragu, ia tidak ingin meninggalkan Rian. "Tapi kamu—"
"Lari!" perintah Rian, lalu ia menyerang salah satu pria itu, memicu perkelahian brutal di dalam kontrakan kecil mereka.
Naya, dengan air mata mengalir, segera berlari ke jendela belakang. Ia membuka paksa jendela dan melompat keluar, jatuh ke tanah dengan keras, tapi ia tidak peduli. Ia berlari sekuat tenaga ke arah hutan kecil di belakang kontrakan mereka.
Di belakangnya, ia bisa mendengar suara perkelahian, teriakan Rian, dan suara barang pecah. Ia berdoa agar Rian baik-baik saja.
Naya berlari tanpa henti ke dalam kegelapan hutan di belakang kontrakan mereka. Napasnya tersengal, paru-parunya serasa terbakar, dan kakinya tersandung akar pohon, namun rasa takut memberinya adrenalin untuk terus melaju. Pikiran tentang Rian yang ditinggalkannya sendirian melawan empat pria berbadan besar memacunya untuk tidak berhenti.
Di belakangnya, suara perkelahian semakin menjauh, digantikan oleh suara langkah kaki yang mengejar. Para pria suruhan Tuan Hardi tidak hanya mengejar Rian, mereka juga mengejar Naya.
Naya tahu ia harus bersembunyi. Ia menemukan sebuah lubang di bawah pohon tumbang dan merangkak masuk ke dalamnya, meringkuk di antara akar dan dedaunan kering. Ia menutup mulutnya erat, menahan napas, berdoa agar ia tidak ditemukan.
Langkah kaki semakin mendekat, senter menyorot ke segala arah. "Nona Naya! Keluar!" perintah salah satu pria, suaranya mengancam. "Jangan memperburuk keadaan!"
Naya semakin meringkuk, jantungnya berdebar kencang. Ia bisa mendengar suara napas pria-pria itu di dekatnya.
Di sisi lain, di kontrakan mereka, Rian babak belur parah. Ia berhasil melumpuhkan satu pria, tapi dua pria lainnya berhasil mengikatnya. "Lepaskan Naya!" geram Rian, darah mengalir dari sudut bibirnya.
"Tenang saja, kami akan menemukan nona cantik itu," balas pria itu sinis. "Kau akan ikut kami ke Jakarta, Tuan Hardi ingin bertemu denganmu."
Rian tahu ia telah gagal melindungi Naya. Tapi ia juga tahu Naya adalah gadis yang kuat dan cerdas. Ia berharap Naya berhasil melarikan diri dan menemukan tempat aman.
Kembali ke hutan, Naya mendengar para pria suruhan itu menggerutu dan bergerak menjauh. Sepertinya mereka menyerah mencari Naya di kegelapan hutan dan memilih fokus mengejar Rian. Naya menunggu beberapa saat, memastikan mereka benar-benar pergi, lalu ia keluar dari persembunyiannya. Ia harus menemukan cara untuk menyelamatkan Rian.
Naya keluar dari hutan saat fajar mulai menyingsing. Badannya kotor, penuh luka goresan ranting, dan kedinginan. Tapi hatinya dipenuhi tekad membara. Rian diculik karena melindunginya. Ia tidak bisa hanya bersembunyi.
Ia tahu para penculik itu akan membawa Rian kembali ke Jakarta, ke rumah ayahnya. Satu-satunya tempat yang bisa ia tuju untuk menyelamatkan Rian adalah sarang singa itu sendiri.
Dengan ponsel rahasia yang masih berfungsi, Naya menghubungi satu-satunya orang yang bisa ia percaya: pengasuh lamanya, Bi Sumi.
"Bi, tolong aku," bisik Naya, suaranya lemah tapi tegas. "Rian diculik orang-orang Ayah. Mereka membawanya ke Jakarta. Aku butuh bantuan bibi."
Bi Sumi, meskipun ketakutan, setuju membantu Naya. "Ya Allah, Nona! Bi Sumi akan bantu. Nona ke agen transfer uang terdekat, Bi Sumi akan kirim uang darurat sekarang juga!"
Naya mengangguk dan segera menuju terminal bus terdekat, di mana terdapat agen transfer uang. Bi Sumi segera mentransfer sejumlah uang yang cukup untuk ongkos bus dan sedikit bekal.
Dengan uang di tangan, Naya membeli tiket bus ekonomi tujuan Jakarta. Perjalanan panjang dan melelahkan menantinya, tapi ia tidak gentar.
Ia menatap langit biru yang mulai terang. Biar "diriku jadi kupu-kupu bersamamu, memeluk batinmu," bisik Naya dalam hati. Ia berjanji akan menyelamatkan Rian, apa pun taruhannya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya dengan mereka berdua? Mampukah Naya menyelamatkan cintanya dan kembali bahagia hidup dalam kesederhanaan dengan Rian?
Bersambung...