NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:280
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebuah informasi

Matahari baru saja menyentuh ufuk timur ketika Rima membuka mata. Rasa lelah semalam masih terasa, namun ia memaksakan diri bangkit. Bayangan dua pria berhelm gelap itu sempat mengusik, tetapi aroma kopi dan roti panggang adalah prioritasnya pagi ini.

Di dapur, Rima bergerak cekatan, menyiapkan menu sarapan cepat: pancake dengan sirup maple yang disukai Andre, dan roti panggang untuk Feni. Kehangatan dapur terasa menenangkan, menepis dinginnya kecemasan semalam.

Tak lama, Andre dan Feni sudah duduk di meja makan.

“Tumben, Kak Rima bikin pancake!” seru Feni ceria. “Semangat banget hari ini.”

“Harus semangat dong,” balas Rima, menyajikan piring. Ia berusaha terdengar normal.

Feni tampak berseri-seri.

"Pagi Ndre" sapa Feni duduk di sebelah kana Andre.

"Pagi Fen, kayaknya semangat sekali. Ada rencana mau kemana hari ini?" tamya Andre menyelidik.

Feni tertawa, kemampuan Andre sebagai polisi sudah tidak di ragukan lagi. Hanya melihat ekspresi Feni saja dia tau apa yang akan dilakukan adiknya.

"Adek libur hari ini, jadi aku mau ketemu Adek!”

Andre mengangguk mengerti, sejak mereka kembali bersahabat Feni emang sering keluar bersama adek.

Rima tersenyum tipis. Adek adalah sahabat Feni sejak SMA. “Asyik banget. Mau kemana kalian?”

“Kami mau keliling mall sebentar, terus sorenya wajib makan sushi,” kata Feni, matanya berbinar. “Mbak mau ikut? Aku traktir deh.”

"Hmmm traktir, pengangguran banyak duit kamu?" sindir Andre.

Rima dan Feni tertawa mendengar itu.

"Jangan bilang ATM Erlang kamu yang pegang" tebak Andre.

Feni terdiam, "Dipaksa Erlang"

"Jangan boros" hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Andre. Ia tau betul bagaimana Feni, ia tak akan berfoya-foya dengan uang itu. Tapi bagaimanapun juga Andre sedikit kesal dengan sikap Erlang yang memanjakan si bawel ini.

"So, mbak ikut" tanya Feni lagi karena pertanyaan dia tadi tidak terjawab.

Rima menggeleng lembut. “Maaf, aku nggak bisa. Ada banyak berkas yang harus diselesaikan di kantor hari ini. Kalian nikmati saja waktu kalian.”

Tiba-tiba, Andre meletakkan ponselnya dengan wajah serius. “Sayang, seperti nya aku harus buru-buru komandan dan lainya menunggu.”

Rima menoleh. “Oke, makan sarapannya dulu." Andre buru memakan pancake itu, memasukan potongan besar ke mulutnya dan meneguk teh hangat.

"Aku duluan ya, kamu bisa berangkat sendiri kan?" tanya Andre seraya berdiri, Rima mengangguk. Andre sempat mencium kening istrinya dan mengusap kepala adeknya sebelum akhirnya meninggalkan rumah itu.

Tak lama kemudian, Feni menyusul, berpamitan dengan riang untuk bertemu Adek. Rima ditinggalkan sendiri di rumah, ditemani keheningan yang tebal. Keheningan yang memberinya ruang gerak.

Pintu depan baru saja tertutup sempurna. Rima berjalan menuju meja nakas, tempat ponselnya tergeletak. Ia merasa ini adalah kesempatan yang sempurna. Andre jauh di luar kota, Feni sibuk dengan Adek. Ia bebas dari pengawasan—dan dari kekhawatiran orang-orang yang ia sayangi.

Rima meraih ponselnya, menemukan pesan misterius yang masuk dini hari tadi:

+62 811 XXXX XXXX: Saya punya file-nya.

Jari Rima yang dingin menekan tombol panggil. Ia mendekatkan ponsel ke telinga, jantungnya berdebar kencang. Setelah tiga kali dering, panggilan itu diangkat.

“Halo?” Suara Rima terdengar stabil, mencoba menyembunyikan ketegangan.

“Rima Atmajaya?” Suara di seberang terdengar serak dan dijaga, seperti seseorang yang sedang berbisik di ruangan kosong.

“Ya. Anda yang mengirim pesan ke saya. Mari langsung ke intinya. Apakah file apa yang kamu punya. Apa berhubungan dengan perusahaan sumber jaya” Rima langsung menyerang, menguji kejujuran si penelepon.

Penelepon itu terdiam sesaat. “Tepat sekali. Saya punya beberapa dokumen penting tentang kasus itu.”

“Saya harus memastikannya valid. Saya ingin bertemu,” tuntut Rima.

“Berani juga Anda,” ejek suara itu. “Baik. Pertemuan sore ini. Pukul empat. Ada kafe kecil di Jalan Tirtayasa, namanya Kafe Senja. Anda tahu?”

Rima mengenalinya. Kafe itu terletak di daerah pinggiran, sepi, dan dikelilingi semak belukar—tempat yang sempurna untuk pertemuan rahasia.

“Saya tahu. Syarat saya, tempatnya harus kafe, dan ada banyak orang di sana. Saya tidak mau bertemu di tempat yang sepi,” kata Rima, berusaha mengontrol situasi.

“Baik. Tapi dengar. Datang sendiri. Jika saya melihat bayangan orang lain selain Anda, saya akan menghilang dan Anda tidak akan pernah mendapatkan file ini.”

“Saya mengerti,” tutup Rima.

Setelah panggilan terputus, Rima segera bertindak. Ia mengambil tasnya dan mengeluarkan sebuah burner phone kecil – ponsel yang hanya ia gunakan untuk komunikasi darurat dalam kasus besar. Ponsel itu akan menjadi alat perekam dan penerima file. Di balik saku jaketnya, ia menyelipkan alat pertahanan diri berupa pepper spray yang selalu ia bawa.

Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Jaket denim dan celana panjangnya membuatnya terlihat biasa saja. Rima tahu, dia sedang melangkah ke dalam bahaya. Namun, demi membongkar kebenaran dan mengamankan dirinya, ini adalah satu-satunya jalan.

................

Rima mengemudi dengan sangat hati-hati. Meskipun ia akan bertemu di kafe, trauma penguntitan semalam membuatnya paranoid.

Pukul 15.55, Rima tiba di Kafe Senja. Tempatnya memang kecil, dindingnya dipenuhi tanaman rambat. Interiornya temaram, hanya ada tiga meja terisi pelanggan yang tampak asyik dengan laptop masing-masing.

Rima memilih meja sudut yang menghadap langsung ke pintu masuk. Ia memesan kopi hitam dingin, menenangkan sarafnya yang tegang. Ponsel perekamnya sudah diaktifkan, tersembunyi di dalam tas yang ia letakkan di pangkuannya.

Tepat pukul 16.03, seorang pria bertopi baseball dan kacamata hitam, mengenakan jaket kulit yang agak lusuh, memasuki kafe. Posturnya tegap, tetapi gerak-geriknya tampak gelisah. Pria itu mengamati sekeliling.

Pria itu berjalan lurus ke arah meja Rima.

"Selamat sore. Anda datang sendiri?" tanya pria itu dengan suara yang sama seraknya dengan di telepon.

"Seperti yang diminta," jawab Rima singkat. "Apakah Anda membawa apa yang saya cari?"

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan sebuah flash drive hitam kecil dari saku jaketnya dan meletakkannya di atas meja, lalu mendorongnya perlahan ke arah Rima.

"Semua ada di sini. Rekaman, transfer dana, dan dokumen asli. Tapi dengar baik-baik," kata Pria itu, suaranya merendah menjadi bisikan tajam, "Anda mempertaruhkan nyawa Anda dengan ini. Mereka bukan main-main. Mereka sudah tahu Anda mencari."

Rima menatap flash drive itu, lalu beralih menatap wajah tegang si pria. "Siapa 'mereka'?"

"Anda akan tau setelah melihat File ini"

"Diki mengirim anda kan?"

"Ya, dia polisi yang jujur tapi malang" kata Pria itu kemudian berdiri dari duduknya.

Tanpa menoleh lagi, pria itu keluar kafe.

Rima duduk terpaku. Flash drive itu terasa berat di mejanya. Rima menyimpan flash drive itu, ke tasnya.

Diki, ya Diki Setyawan. Pria itu adalah rekan kerja Rima tapi ia tertangkap karena tuduhan kasus suap narkoba. Diki lah yang memberikan informasi tentang pria itu pada Rima.

Rima mengaduk lemontea dinginnya sebelum akhirnya meminumnya. Ia menarik nafas panjang, ia harus melihat isi drive itu.

****************

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!