"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PINJAM 100
Pak Totok mengambil alih kemudi atas perintahku. Awalnya, Mas Pandu bersikukuh untuk tetap mengendarai mobil, tapi setelah kulihat Mas Pandu tak berkonsentrasi dan sudah beberapa kali hampir menabrak pengendara motor, akhirnya aku memutuskan untuk menyuruh Pak Totok menggantikan. Ia sempat marah, tapi akhirnya menurut setelah kukatakan padanya. "Masih beberapa jam lagi pembukaan sempurna dan anakmu baru akan lahir setelah pembukaan Viona sempurna."
Ia pun terdiam, lalu bersedia duduk di bangku belakang. Bukan sok tahu. Tapi, aku sering membaca banyak artikel tentang persiapan melahirkan hingga persalinan. Apa aku terlalu mendamba akan mengalami hal itu atau memang aku kurang kerjaan. Aku sendiri tak mengerti.
Ia duduk di sebelahku, raut wajahnya terlihat terlihat begitu cemas. Sesekali aku menggenggam tenangnya, dingin.
Harusnya aku biarkan saja orang ini sendiri, tapi entah kenapa aku justru semakin peduli dan ikut merasakan ketegangan yang ia rasakan saat ini. Payah.
"Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Aku berusaha
Menenangkan Mas Pandu.
"Kalau saja semalam aku menemaninya," ujarnya tanpa menatapku, entah sadar atau tidak, yang jelas kata-kata itu tajam, menusuk tepat di jantungku.
Aku tak menjawab, hanya sebuah anggukan sebagai bentuk sadar diri. Nyatanya aku ikut andil dalam hal keteledoran Mas Pandu. Aku hanya bisa menghela napas sabar.
"Lebih cepat, Pak," ujarku pada akhirnya. Sebab, Mas Pandu terlihat semakin gelisah.
Berkali-kali ia mengeluarkan gawai dan menghubungi Miranti, namun terus gagal karena tak ada jawaban.
Kegusarannya pun semakin bertambah setiap ponsel berakhir dengan jawaban dari operator. Ia sempat mengumpat bahkan memukul kaca jendela sebagai bentuk kekesalan.
"Iya, Nya."
Pak Totok menambah kecepatan. Sekitar setengah jam, plank UGD rumah sakit pun terbaca.
"Saya turun di depan lobby." Permintaan Mas Pandu begitu mobil memasuki gerbang.
"Baik, Pak."
Mobil melambat lalu berhenti sama sekali di depan lobby seperti permintaan Mas Pandu. Tanpa mengatakan atau menunggu aku turun, Mas Pandu bergegas keluar mobil terlebih dahulu dan berlari masuk ke gedung rumah sakit. Bisa kulihat keinginan untuk bertemu Viona begitu menggebu.
"Siapa yang tidak khawatir saat istri mau melahirkan. Mungkin dia juga akan melakukan hal yang sama jika aku yang ada di dalam sana. Tapi, sayangnya itu tidak akan terjadi," batinku mencoba menenangkan perasaan dengan memberi pengertian pada diri sendiri.
"Mari, Nya," seru Pak Danu yang ikut turun bersamaku. Rupanya mereka sangat patuh pada perintah Mas Pandu untuk terus mengikutiku.
Aku mengangguk lalu kubawa tas yang Mas Pandu tinggalkan di dalam mobil. Ya, begitu tergesa sampai-sampai semua ia tinggalkan termasuk aku. Menyedihkan.
Pak Danu segera mengambil tas dari tanganku lalu berjalan mengekori langkahku.
Sejuta rasa berkecamuk di dalam sini, ketika langkahku mengayun menuju ruang bersalin. Langkah ini melambat lalu terhenti sama sekali saat kudapati semua sudah ada di kursi depan ruang bersalin. Ibu, Mas Tama, Mbak Rani, dan yang sudah pasti Miranti, semua tampak mondar-mandir di depan pintu ruangan tersebut. Tak ketinggalan Mbok Darsih turut serta. Aku tak melihat Mas Pandu, tapi sudah bisa kupastikan bahwa dia ada di dalam sana. Menemani maduku.
"Maira?" Mas Tama berujar ketika melihat kedatanganku. Sontak semua mata menoleh ke arahku.
Aku membungkukkan badan lalu tersenyum,
menyapa mereka.
"Nyah." Mbok Darsih melangkah maju. Lalu tak lama. Ibu pun bergegas menghampiriku.
"Ngapain ke sini? Kalau Viona lihat kamu dia akan stress. Darahnya biasa naik dan akan mempersulit persalinan." Ibu berujar tanpa sungkan, sedikit pun tak ada rasa peduli.
"Maira hanya menemani Mas Pandu yang nggak tenang tadi, Bu," jawabku singkat.
"Bu Mirna. Biar saja, kemarilah Maira." Miranti berseru lalu dengan senyuman ia menyuruhku untuk melangkah maju, tepatnya di depan pintu.
"Sini." Ulangnya melambaikan tangan. Ah, kenapa lagi ini, tak biasanya dia bersikap manis.
Karena seorang Maira tak boleh kalah dengan ibu dari maduku. Tanpa ragu aku pun melangkah ke arah pintu. Berdiri di sebelah wanita itu.
"Lihat, Maira. Sekarang kamu bisa melihat bahwa Pandu begitu mencintai Viona. Lihat, wajah Pandu sekarang, pernahkah kau melihat Pandu seperti itu," ujarnya seolah ingin memperlihatkan hal yang mampu membuat jiwa ragaku hancur untuk kesekian kali.
Aku hanya bergeming, netraku terus menatap dua insan yang sedang berjuang dari balik jendela kaca, terlihat Mas Pandu mengusap kepala Viona, mengecup pucuk kepala, dan pipi Viona berulang kali. Viona meraung kesakitan, Mas Pandu pun meneteskan air mata. Lalu detik selanjutnya tirai penutup jendela kaca pun tertutup rapat.
Dadaku sesak, mataku pun mulai memanas, tapi tak akan kubiarkan air mata ini keluar di hadapan lawan.
"Ya... Alhamdulillah kalau dengan kelahiran anak Viona, Mas Pandu bisa memberi Viona perhatian. Saya ikut senang, soalnya saya juga kasihan, sih, kalau lihat Viona diabaikan terus sama Mas Pandu. Biar bagaimanapun, kan, Viona bukan cuma mesin pencetak anak." Dengan santai aku berujar, sekuat tenaga kutekan gemuruh di dalam dada. Aku tak akan membiarkan air mataku keluar di hadapan mereka.
Miranti pun terbelalak, menatapku geram. Kedua tangannya mengepal kuat. Namun, semua itu tak membuat nyaliku menciut sedikitpun.
"Dasar, Mandul!" celetuknya dengan nada menghina, suaranya memang lirih, tapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas, dan kata-kata itu membuat mataku melebar.
Kuhela napas dalam, kutekan amarah yang seolah terus dipancing oleh wanita tua ini. Sebenarnya sudah lelah menghadapi kata-kata pedas wanita ini. Namun, aku tetap harus terlihat elegan, tak akan terpancing. Aku tak ingin ada keributan yang berakhir pada pengusiran. Itu terlalu kampungan.
"Jika mandul saja Mas Pandu tergila-gila dan nggak
mau jauh dari seorang Maira. Bahkan, dia lebih memilih menghabiskan waktunya bersama Maira saat anak Anda berjuang, lalu bagaimana jika aku mengandung, Nyonya? Apa Nyonya ini sudah siap untuk jadi gelandangan? Setidaknya kekuranganku ini bisa menolong kalian!"
tandasku.
"Maira ...."
"Pak Danu, saya haus." Aku berlalu, setelah kupastikan wanita itu mati kutu dan tak bisa lagi menghinaku.
Aku berlalu, meninggalkan tempat yang sudah seperti neraka. Ocehan ibu ibu tak tahu malu, tangisan Mas Pandu, smua membuat kepalaku pening. Berulang kali aku menghela napas dalam untuk melonggarkan sesak di dada. Biar bagaimanapun, aku tetap wanita, yang hatinya akan terluka jika disinggung soal anak. Kuakui aku kalah dalam hal ini.
Aku melangkah gontai, menuju entah ke mana. Pak Danu dan Mbok Darsih mengikutiku, begitu juga dengan Pak Totok yang sudah kembali dari parkiran.
"Nya, mau minum apa?" tanya Mbok Darsih setelah kami berada di depan ruang periksa.
"Saya nggak bawa duit, Mbok," jawabku karena memang seperti itu.
"Ayo, Mbok belikan. Kantinnya ada di sana, Nya."
Mbok Darsih meraih tanganku, tapi aku enggan melangkah pergi.
Aku menghempaskan diri di kursi.
"Lah, kok malah duduk?"
"Kalian aja yang beli, saya tunggu di sini?"
Mereka tak beranjak namun hanya saling pandang. Aku tahu, apa yang ada di dalam kepala mereka saat ini.
"Saya nggak akan kabur."
"Ya udah, Mbok aja yang beli, Pak Danu sama Pak Totok temenin Nyonya."
Mereka berdiskusi, aku berdecak. "Mau lari aja susah banget," gerutuku.
Aroma kopi tercium oleh indera penciumanku, baunya yang harum, membuatku menelan saliva. Aku mencari dari mana asal aroma tersebut. Ternyata satu cup kopi tepat di meja sebelahku. Tanpa sadar aku meraih lalu menyeruputnya.
"Lah, Nya, punya siapa?" Pak Danu berseru dengan wajah cemas seraya mengangkat kedua tangannya. Aku tersadar, tapi kopi sudah masuk ke dalam kerongkongan. Entah berapa kali tegukan. Yang jelas sudah tinggal setengahnya.
"Saya nggak tau, cuma saya pengen kopi yang itu. Pak Danu beli lagi aja, gimana?"
"Itu kopi bukan dari kantin atau sekitaran sini tapi, Nya. Kopi mahal kayaknya." Pak Totok menyela.
Dahiku mengerut, lalu mengamati cup koplo tersebut.
"Ini ada alamatnya, pesen aja." Kutunjukkan alamat beserta nomor telepon yang tertera di cup kopi. Tapi mereka hanya diam.
"Kenapa? Saya nggak ada hp, nggak bawa uang. Nanti saya ganti sampe rumah," lanjutku. Mereka saling pandang. Lalu seorang wanita berseragam putih menghampiri kami. Matanya terbelalak.
"Astaga, kopinya mana, kok setengah?!" Ia bertanya pada diri sendiri seraya memeriksa kopi yang sudah kuminum tadi. Aku, Pak Totok, dan Pak Danu saling pandang. Memikirkan jawaban yang paling tepat.
"Lari atau gimana ini, Nya?" Pak Totok berbisik, tentu saja aku menolak. Terlebih, saat kulihat mata wanita di hadapanku ini mulai mengembun.
"Maaf, Mbak. Saya nggak sengaja minum kopi, Mbak. Tapi saya akan ganti, mohon bersabar, sebentar lagi juga datang."
Seketika ia menoleh, lalu menatapku.
"Biasa aja lah, Mbak. Kopi doang." Aku membatin setelah sadar tatapan itu berubah bagaikan api yang menyala dan siap membakar semua yang ada di dekatnya.
"Saya minum kopi kan, Pak? Bukan air tujuh rupa dari tujuh sumur yang nggak dijual?" tanyaku lirih pada Pak Danu. Ia terkikik.
"Nggak sengaja minum? Mbak tau nggak itu kopi pesennya susah, pesennya butuh waktu lama karena antri,belum lagi pakai kurir. Nunggunya lama." Wanita itu menjelaskan dengan sombongnya.
"Iya, maaf, Mbak. Kan, saya ganti." Aku mencoba tetap sabar. Kerena memang aku yang salah.
"Bukan masalah gantinya, tapi ini yang pesen bisa marah sama saya! Saya bisa dipecat jadi asisten!" terangnya lagi. Dengan nada yang semakin tinggi.
"Terus saya musti gimana? Kan, udah terlanjur."
"Nah nah, mati. Orangnya udah datang lagi,"
gerutunya. "Tunggu, tanggung jawab, kamu," ujarnya lalu bergegas menghampiri seorang lelaki berkemeja biru.
"Gimana, Nya?" Pak Danu bertanya dengan wajah gugup. Security macam apa yang dibayar Mas Pandu, kena masalah seperti ini saja wajahnya sudah seperti itu.
"Biar saya yang ngomong, salah saya juga. Orang itu aja yang lebay," ujarku pada Pak Danu.
"Tadi saya taruh di meja, ambil map dulu, terus Mbaknya ini minum gitu aja. Bukan salah saya, kan?"
Wanita itu terus menjelaskan dan mengajak lelaki yang baru saja datang tersebut menemuiku.
Ia mengambil cup kopi yang sudah kuminum, aku menundukkan kepala. Meski wajah itu masih tertutup masker, tapi dari perawakan dan tatapannya, dia garang.
"Saya minta maaf, maaf sekali...," ucapku dengan nada penuh rasa bersalah.
"Sultan?!" Lirih, namun terdengar menghina dia sempat tertawa kecil. Seketika aku menatapnya dengan tatapan tajam. Meski masker masih ia kenakan, tapi telingaku cukup peka dan tidak mungkin salah dengar. Ah, ini pasti gara-gara dua orang berseragam hitam di belakangku.
Kuturunkan egoku untuk melawan, setelah sadar ini bukan pasar tempat preman mencari lawan. Melainkan rumah sakit, di mana orang butuh ketenangan.
"Udah, deh, kopi doang kenapa diributin? Saya ganti, paling mahal juga 50 ribu ples ongkir, kan?"
"Ini masalah etika, bukan uang." Pria bertubuh tinggi itu berujar, ia semakin tak terima.
"Saya salah, terus etikanya salah kan minta maaf. Saat sudah minta maaf, Mas. Sekarang di mana lagi salah saya? Serba salah."
Ia semakin geram, melepas masker yang menutupi wajahnya pun sangat kasar. Pertanda bahwa dia tidak terima dengan ucapanku. Lalu ... Terperangah lah aku. Di balik masker berwarna biru nyatanya, tersimpan aura mematikan, hidung bangir, mata tajam, alis tebal, bibir merah, pun kulit bersih bak porselein. Menawan tapi ingusan. Rupawan, tapi aku tak suka.
Segera aku mengalihkan pandangan. Tak mau terlihat kagum.
"Sini, Pak. Kasih 100 ribu," ujarku pada Pak Totok seraya menengadahkan tangan. Aku tak ingin
memperpanjang masalah. Masalahku sudah berat, sekarang ditambah lagi masalah kopi yang seolah dibesar-besarkan.
"Saya teh buru-buru, nggak bawa dompet, Nya." Aku terkesiap, ini sungguh di luar dugaan.
Terlihat pria itu tersenyum remeh. Tak mau menanggung malu, aku beralih pada Pak Danu.
"Saya tadi baru saja selesai mandi pas Bapak marah, jadi saya nggak sempet bawa apa-apa juga." Jawaban Pak Danu semakin membuatku kehilangan harga diri.
Kulihat sekilas ke arah pria dan wanita di hadapanku.
Pria itu menggelengkan kepala sembari tersenyum, mengejekku.
Aku berdehem mengurangi ketegangan. "Sebentar. Tunggu ibu saya dulu kalau gitu," putusku pada akhirnya, masih dengan nada sesantai mungkin. Saat ini harapanku hanya Mbok Darsih. Semoga saja dia membawa uang. Bukankah dia bisa pergi ke kantin? Jadi apa yang harus aku cemaskan lagi.
Mereka terus menatapku. Sedangkan aku sama sekali tak berani menatap mata pria yang berada di hadapanku ini. Bukan apa-apa, hanya takut dosa.
Meski tak berani menatap, namun, bisa kuhidu aroma tubuhnya yang wangi. Aroma Citrus bercampur buah terus memanjakan indera penciuman ini.
"Nya, ini minumnya." Suara Mbok Darsih terdengar,
cepat aku menoleh ke arah suara. Terlihat Mbok Darsih berjalan ke arahku, dengan beberapa cup kopi di tangan. Hatiku pun lega seketika. Kuhembuskan napas yang sejak tadi terasa menyiksa sebab orang ini seolah memperlakukan kamu seperti pencuri, tak mau melepaskan kami.
"Mbok, Mbok, Mbok... pinjam seratus." Aku menyambut Mbok Darsih dengan tangan terbuka.
"Hah? Seratus." Mbok Darsih mengeraskan suara, ia tampak kebingungan. Aku segera meletakkan telunjuk dibibir. Setelah kulirik pria dan wanitanya itu sempat melihat ke arah kami.
"Pinjem seratus gimana?" Mbok Darsih kembali bertanya, kali ini lebih pelan, hampir tak terdengar.
"Uang, Mbok. Saya nggak bawa apa-apa, nanti saya
ganti sampe rumah," bisikku lagi.
"Ealah. Saya ke sini semalam, diajak sama ibu Miranti.
Jadi mana mungkin saya bawa uang, wong Si Mbok juga buru-buru, dibangunin. Saya ikut tok, Nyah."
"Lah, ini?" tanyaku menunjuk pada kopi di tangannya.
"Ini sisa dari beli sarapan tadi pagi, disuruh Nyonya.
Sekarang sudah ndak ada lagi."
Aduh, matilah aku.
"Dok, ada pasien henti napas." Seruan cukup keras dari petugas rumah sakit yang tiba-tiba datang membuat kedua orang di hadapanku menoleh. Tak terkecuali aku,
Mbok Darsih, dan kedua security tak berguna ini.
"Saya segera ke sana," ujar Pria garang di hadapanku.
Seketika, mataku membulat, kaget. Aku dan Mbok Darsih saling tatap. Dokter? Ah, Matilah aku. Kenapa pake dokter segala?!
Perlahan aku melangkah, mendekati dokter yang hendak melangkah pergi. "Ehm... ambillah, kapan-kapan pasti akan saya ganti. Maaf, Dokter," ujarku sedikit gelagapan seraya menyerahkan satu kopi yang dibeli Mbok Darsih pada Dokter muda tersebut. Tanpa suara, ia menerima, lalu bergegas pergi bersama wanita tadi.
Selamat.
"Ganteng, ya, Nyah." Mbok Darsih berujar seraya tersenyum genit.
Dahiku mengerut.
"Garang."