JIWA ASEP DI TUBUH PEWARIS PRATAMA
Aksa Pratama. Pewaris triliuner. Ganteng. Lemah. Dan... KOMA setelah disiksa ibu tiri sendiri.
Semua orang menunggu Aksa mati agar harta Pratama Group bisa dijarah.
Tapi yang bangun BUKAN Aksa. Melainkan ASEP SUNANDAR.
Pemuda Sunda dari kampung, jago Silat Cimande (Paling Jago Se-Jawa Barat!), humoris kayak Kabayan, dan Savage-nya minta ampun!
simak kisahnya ada gaya action, romansa, komedi ada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31: JERAT YANG MENGENCANG
subuh belum dateng.
Asep duduk di lantai kamar, punggung bersandar ke ranjang. Dingin nusuk sampe tulang walau AC mati. Tangan masih gemetar—udah sejam lebih dia duduk kayak gini, cuma merem melek, napas pendek-pendek.
Foto narkoby itu terus muter di kepala.
Plastik kecil berisi bubuk putih. Tangannya—tangan Aksa—ngegang itu. Tempat parkiran mall yang dia bahkan gak inget pernah dateng.
"Gue gak pernah ke sana..."
Suaranya serak. Tenggorokan kering kayak diamplas.
[Rendra pasti nyewa orang buat pake baju mirip lo, terus difoto dari jauh. Klasik tapi efektif.]
Sistem Hunter muncul—suaranya lebih pelan dari biasanya, gak nyolot.
"Efektif apaan... Papa gak bakal percaya walau gue tes darah bersih..." Asep ngelus muka kasar. Matanya perih, kelopak berat. "Rendra udah ngeracunin pikiran Papa dari awal..."
[Lo harus buktiin foto itu editan. Cari ahli forensik digital atau—]
"Pake duit apa?" Asep ketawa pahit. "Papa udah blokir kartu ATM gue. Gue gak bisa keluar rumah tanpa izin. Terus gimana?"
Sistem diem. Gak ada jawaban.
Asep nunduk, dagu nempel ke dada. Napasnya keluar pelan, bergetar.
"Gue capek..."
Bisikan itu nyaris gak kedengeran.
"Gue capek jadi orang lain... Capek dibikin kayak sampah... Capek—"
TOK TOK TOK.
Ketukan pintu. Pelan tapi jelas.
Asep angkat kepala. "...Siapa?"
"Aku, Kak..."
Suara Arkan.
Asep langsung berdiri—kaki sempoyongan dikit, kepala pusing. Dia buka pintu. Arkan berdiri di depan pake piyama dinosaurus, matanya sembab merah.
"Arkan... Kenapa belum tidur?"
"Arkan gak bisa tidur..." Arkan nunduk, jari-jari mainan ujung baju. "Arkan denger Papa bentak Kakak tadi... Arkan takut..."
Dadanya nyesek.
Asep jongkok, samain tinggi. Tangan ngusap rambut adiknya pelan.
"Gak papa. Papa cuma lagi marah. Nanti juga baikan."
"Bohong..." Arkan nangis, suaranya patah-patah. "Kakak bilang gitu kemarin juga... Tapi Papa makin marah terus... Arkan gak mau Kakak pergi..."
"Kakak gak kemana-mana—"
"JANGAN BOHONG!" Arkan tiba-tiba teriak, nangis makin keras. "Arkan denger Papa bilang mau masukin Kakak ke rehab! Arkan tau itu tempat buat orang sakit! Kakak sakit ya?! Kakak mau ninggalin Arkan?!"
Asep langsung peluk Arkan erat. Bocah itu nangis di bahu—badan kecil gemetar keras.
"Maaf... Maaf Kakak bikin Arkan takut..." Asep ngelus punggung Arkan, napasnya gak teratur. "Kakak janji gak akan kemana-mana. Kakak di sini. Selalu di sini."
Mereka pelukan lama. Arkan pelan-pelan tenang, cuma sesenggukan kecil.
"Janji...?"
"Janji."
Tapi Asep tau—itu janji yang mungkin gak bisa ditepatin.
Pagi itu jam 7, Asep dipanggil ke ruang makan. Papa Arjuna udah duduk di ujung meja, wajah datar kayak patung. Mama Ratna duduk di samping, matanya merah bengkak—pasti abis nangis semalam.
Rendra ada juga, duduk santai sambil sruput kopi. Senyum tipis di bibir.
"Duduk." Papa Arjuna nunjuk kursi kosong di seberang.
Asep duduk. Tangan ditaroh di pangkuan, ngepal erat biar gak keliatan gemetar.
Papa Arjuna dorong kertas ke tengah meja.
"Ini jadwal tes urin dan darah. Hari ini jam 10 di rumah sakit Medistra. Sopir akan antar kamu."
Asep natap kertas itu. Huruf-huruf kabur—matanya masih panas.
"Papa..." suara Mama Ratna pelan, bergetar. "Apa ini benar-benar perlu? Aksa bilang dia tidak—"
"Ratna, jangan ikut campur." Papa Arjuna potong, dingin. "Ini demi kebaikan Aksa."
"Kebaikan?" Mama Ratna naikkin suara dikit—jarang banget dia lawan Papa. "Atau demi harga diri Papa yang merasa dipermalukan?"
Papa Arjuna natap istrinya tajam. "Kamu tidak mengerti situasinya."
"Aku mengerti Aksa lebih dari siapapun di rumah ini!" Mama Ratna berdiri, tangan gemetar. "Anak itu tidak mungkin pakai narkoby! Dia bahkan takut minum obat sakit kepala!"
Rendra nyeletuk, santai. "Mama, orang yang kecanduan itu pintar menyembunyikan. Mungkin Aksa sudah lama pakai, cuma kita baru tau sekarang."
Mama Ratna noleh ke Rendra—tatapan tajam, penuh benci.
"Kamu... Kamu yang ngatur semua ini, kan?"
Hening.
Rendra senyum—senyum tipis yang bikin Asep pengen hajar.
"Mama ngatain aku tanpa bukti? Itu fitnah, loh."
"CUKUP!" Papa Arjuna berdiri, mukul meja. Piring-piring bergetar. "Semua diam! Aksa, berangkat jam 10. Tidak ada penolakan."
Asep cuma angguk. Tenggorokan terlalu kering buat ngomong.
Jam 9 pagi, Asep di kamar lagi. Ganti baju—tangan masih gemetar waktu kancing kemeja. Otak kosong. Napas pendek.
[Lo harus tenang. Tes darah lo bakal bersih. Lo gak pernah sentuh narkoby.]
"Terus kenapa gue masih takut?"
[Karena lo takut Papa tetep gak percaya walau hasilnya negatif. Lo takut Rendra punya rencana lain.]
Bener.
Asep duduk di tepi ranjang, kepala ditopang tangan. Napas pelan tapi berat.
HP bunyi. Pesan masuk.
Dari Alina.
"Aksa, aku denger dari Arkan. Kamu mau tes hari ini? Aku ikut ya. Gak terima penolakan."
Asep senyum tipis—senyum pertama pagi ini.
Dia bales cepet.
"Lo gak usah repot. Ini urusan keluarga."
Balasan langsung masuk.
"Kamu ITU keluarga aku sekarang. Aku tunggu di rumah sakit. Jangan coba kabur."
Asep ngerasain dadanya yang sesak, sedikit longgar.
Rumah sakit Medistra. Gedung putih bersih yang bikin Asep inget pertama kali dia bangun di tubuh Aksa. Dingin. Steril. Mencekam.
Sopir parkir di basement. Asep turun—langkah berat, napas gak teratur. Dia masuk lewat pintu samping, langsung ke lab lantai 2.
Di ruang tunggu, Alina udah duduk. Begitu liat Asep, dia langsung berdiri, lari kecil.
"Aksa!"
Asep kaget. "Lo... Lo beneran dateng?"
"Gue bilang mau ikut kan?" Alina pegang tangan Asep—tangan yang dingin banget. Dia kaget. "Tanganmu dingin... Lo takut ya?"
Asep mau jawab, tapi tenggorokan kayak ketutup.
Alina gak nanya lagi. Dia cuma genggam tangan Asep lebih erat, ngajak duduk.
Mereka duduk bersebelahan. Alina gak lepas genggamannya.
"Gue di sini. Lo gak sendirian."
Asep ngerasain air mata mau keluar lagi. Tapi dia tahan. Cukup. Udah cukup nangis.
Nama dipanggil. Perawat keluar, senyum ramah.
"Aksa Pratama?"
Asep berdiri. Kaki lemes.
Alina ikut berdiri. "Aku ikut masuk boleh?"
Perawat angguk. "Boleh, kalau pasien setuju."
Asep ngangguk cepet. Dia gak mau sendirian.
Di ruang lab, Asep duduk di kursi. Lengan baju digulung. Perawat siapin jarum suntik buat ambil darah.
Asep natap jarum itu—kepala langsung pusing, napas makin pendek.
"Lo takut jarum?" Alina bisik, berdiri di samping.
"Dikit..." Asep ketawa kecil, getir. "Asep dulu sering disuntik waktu sakit. Traumanya gak ilang."
Alina diam—dia tangkep Asep nyebut nama "Asep" lagi. Tapi dia gak nanya. Dia cuma pegang bahu Asep, ngasih kekuatan.
Jarum masuk. Asep ngepalin tangan—sakit tapi dia diem.
Darah diambil. Urin dikumpulin. Selesai.
"Hasilnya keluar 2 jam lagi. Bisa tunggu di ruang tunggu atau pulang dulu," kata perawat.
"Gue tunggu," jawab Asep cepet.
Dua jam paling lama dalam hidup Asep.
Mereka duduk di taman rumah sakit. Alina beli kopi dari vending machine—dua gelas. Mereka minum dalam diam.
"Aksa..." Alina ngomong pelan. "Tadi lo nyebut 'Asep'. Siapa itu?"
Asep beku. Tangannya ngepal gelas kopi.
"...Temen lama. Udah meninggal."
"Lo... Lo deket sama dia?"
"Sangat."
Alina diam. Dia gak nanya lebih lanjut—dia ngerti ada luka yang belum siap dibuka.
"Gue di sini buat lo. Apapun yang terjadi."
Asep natap Alina—mata yang jernih, tulus, tanpa embel-embel.
"Kenapa lo sebaik ini sama gue?"
Alina senyum tipis. "Karena lo pantas dapet orang yang baik, Aksa. Lo terlalu lama ngadepin orang jahat."
Jam 12 siang. Hasil tes keluar.
Perawat kasih amplop tertutup. "Hasilnya di dalem. Negatif semua."
Asep langsung lemes—napas panjang, berat diangkat dari dada.
"Negatif... Gue bersih..."
Alina senyum lebar, peluk Asep dari samping. "Kan gue bilang! Lo pasti bersih!"
Asep pegang amplop itu erat. Ini bukti. Bukti nyata kalau dia gak pernah sentuh narkoby.
Tapi...
[Jangan seneng dulu. Rendra pasti punya rencana B.]
Sistem Hunter ngingetin—dingin, realistis.
Dan bener aja.
Begitu Asep keluar dari rumah sakit, ada mobil polisi parkir di depan. Dua polisi turun—seragam lengkap, borgol di pinggang.
"Aksa Pratama?"
Asep beku. "I-iya..."
"Anda ditahan atas dugaan kepemilikan narkoby. Ikut kami ke kantor polisi."
"APA?!" Alina langsung maju. "Dia baru aja tes! Hasilnya negatif! Ini salah tangkap!"
Polisi itu natap Alina datar. "Kami punya bukti lain. Silakan ikut, atau kami paksa."
Asep ngerasain dunia berputar. Kaki lemes. Napas pendek.
Ini perangkap.
Rendra... Rendra nyewa polisi palsu.
Borgol dikaitkan di tangannya. Dingin. Keras.
"AKSA!" Alina nangis, coba ikut tapi ditahan polisi lain.
Asep noleh—natap Alina terakhir kali.
"Hubungin... Hubungin Mama Ratna..."
Terus dia dibawa masuk mobil.
Pintu ditutup.
Gelap.
BERSAMBUNG