NovelToon NovelToon
Voice From The Future

Voice From The Future

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Romansa Fantasi / Teen School/College / Time Travel / Romansa / Enemy to Lovers
Popularitas:50
Nilai: 5
Nama Author: Amamimi

Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Frekuensi Cemburu

Malam itu, bulan bersinar terang di luar jendela kamar Renjiro. Jam menunjukkan pukul 22.00.

Ren baru saja menyelesaikan tugas "pekerjaan rumah" dari Marika—bukan PR sekolah, tapi PR menghafal kode inventaris gudang OSIS. Kepalanya pening. Dia berbaring di kasur, menatap langit-langit, memikirkan kejadian aneh di kantin tadi siang.

Takae Yumi. Si kapten basket yang garang itu tiba-tiba berubah haluan menjadi gadis manis yang bicara pakai "aku-kamu" dan memberinya minuman isotonik.

"Dunia makin aneh," gumam Ren. "Ketua OSIS jadi tsundere, preman basket jadi shoujo."

Tangannya meraba meja nakas, mencari benda perak yang menjadi satu-satunya penghubung warasnya (atau mungkin paling tidak waras) dengan realitas ini. MP3 player itu terasa dingin di tangannya.

Ren memasang earphone. Dia butuh perspektif orang dewasa. Dia butuh bicara dengan istrinya.

"Marika-san?" panggil Ren pelan. "Kamu... lagi sibuk?"

Hening sejenak. Hanya suara statis lembut yang menenangkan.

Lalu, suara itu muncul.

"Halo, Ren-kun. Tidak, aku tidak sibuk. Aku cuma lagi...  sendirian. Kenapa?"

Suaranya terdengar sedikit... beda. Sedikit lebih berat, mungkin lelah. Tapi nadanya hangat.

"Aku mau laporan," kata Ren, merasa seperti agen rahasia. "Hari ini ada kejadian aneh. Takae Yumi... kamu ingat dia?"

Hening.

Statis itu tiba-tiba berbunyi ciiiit tajam sejenak, seolah ada lonjakan emosi dari seberang.

"Takae..." Suara Marika dewasa mendesis. Nadanya berubah 180 derajat. Dari hangat menjadi dingin menusuk, lalu berapi-api.

Ren kaget sampai hampir menjatuhkan MP3-nya.

"Jangan sebut nama itu!" Marika dewasa menggerutu, suaranya terdengar sangat kesal, jauh dari citra Marika remaja yang selalu tenang. "Perempuan itu... ugh! Aku ingat dia! Sangat ingat! Dia wanita paling menyebalkan di seluruh angkatan kita!"

Ren menahan tawa. "Santai, Marika-san. Kamu terdengar... cemburu?"

"Aku TIDAK cemburu!" bantah Marika dewasa cepat (sangat tsundere, sifat aslinya tidak hilang). "Aku cuma... terganggu! Dia itu tidak punya sopan santun! Dia selalu seenaknya masuk ke GOR, melanggar jadwal, dan... dan dia selalu menempel padamu!"

"Dia nggak nempel kok," bela Ren. "Tadi siang dia cuma kasih minuman. Dan... ini yang aneh. Dia tiba-tiba ngomong pake 'aku-kamu'. Katanya biar sopan karena aku anak OSIS."

Di seberang sana, terdengar suara gelas diletakkan dengan keras di meja. TAK!

"APA KATAMU?!" pekik Marika dewasa. "AKU-KAMU?! Dia?! Si preman yang kosa katanya cuma 'woi', 'sini', dan 'gol' itu?!"

Ren terkekeh. "Iya. Aneh banget, kan?"

"Itu bukan aneh, Ren! Itu taktik!" Suara Marika dewasa terdengar panik dan gemas. "Itu namanya Dia mencoba memikatmu dengan kontras sifatnya! Dasar wanita licik! Ular berbisa berkedok pemain basket!"

Ren tertawa lepas. Dia tidak pernah menyangka Marika dewasa se-ekspresif ini. Marika yang sekarang (17 tahun) hanya akan menatap dingin dan bilang "tidak efisien". Tapi Marika yang ini... dia meledak-ledak.

"Dengar ya, Ren!" lanjut Marika dewasa, sekarang terdengar seperti sedang mengomel. "Jangan tertipu! Dia itu cuma mau manfaatin kamu buat bersihin lapangan! Atau... atau lebih parah! Dia mau kamu jadi pacar main-mainnya!"

"Pacar main-main?"

"Iya! Tipe cewek kayak dia itu... dia suka cowok yang kelihatan 'jinak' buat ditaklukin. Dan kamu..." Suaranya melembut sedikit, lalu kembali kesal. "Kamu itu target empuk! Kamu baik, kamu penurut, dan kamu punya mata yang... ah, sudahlah! Pokoknya jangan mau!"

"Marika-san," potong Ren lembut, masih tersenyum geli. "Kamu sadar nggak? Kamu beda banget sama Marika yang di sekolah."

"Beda gimana?"

"Marika di sekolah... kalau dia cemburu, dia cuma bakal kasih aku tugas tambahan atau nginjek kakiku. Dia nggak bakal ngomel panjang lebar kayak gini. Dia... jaim banget."

Helaan napas panjang terdengar dari seberang.

"Yah... itu karena aku yang sekarang sudah tua, Ren. Aku sudah nggak punya tenaga buat jaim. Dan lagi..." Suaranya merendah, terdengar sedih dan rindu. "Aku kangen rasa cemburu itu."

Ren terdiam. Tawa di bibirnya memudar.

"Dulu... waktu umur 17, aku terlalu gengsi. Aku melihat Takae mendekatimu, dan aku cuma bisa diam. Aku cuma bisa marah-marah soal jadwal GOR, padahal aslinya aku pengen teriak 'Jauh-jauh dari Ren-ku!'."

Marika dewasa tertawa kecil, tawa yang getir.

"Aku iri sama dia, Ren. Serius. Aku iri banget."

"Iri kenapa?" tanya Ren heran. "Kamu Ketua OSIS. Kamu pinter, cantik, dikagumi semua orang. Takae cuma..."

"Takae itu bebas," potong Marika. "Dia bisa lari sepuasnya. Dia bisa ketawa keras-keras di kantin tanpa mikirin imej. Dia bisa ngomong apa yang dia mau ke kamu tanpa takut ditolak. Dia... dia bersinar, Ren. Seperti matahari. Sedangkan aku? Aku cuma bulan yang dingin, yang terikat orbit aturan ibuku."

Suara Marika dewasa terdengar rapuh.

"Aku selalu takut... kalau suatu hari kamu sadar bahwa matahari lebih hangat daripada bulan. Bahwa cewek yang asik diajak lari lebih menyenangkan daripada cewek yang cuma bisa ngasih perintah di ruang tertutup."

Ren mencengkeram erat MP3 player-nya. Dadanya sesak mendengar pengakuan itu. Ternyata, di balik topeng "robot"-nya, Marika menyimpan insidenuritas sebesar ini.

"Marika," panggil Ren tegas.

"Hm?"

"Dengerin aku. Aku nggak butuh matahari," kata Ren mantap. "Matahari itu panas. Bikin keringetan. Bikin capek."

Ren menatap langit-langit kamarnya, membayangkan wajah Marika (17) yang merah padam saat dia puji.

"Aku lebih suka bulan. Bulan itu tenang. Bulan itu... bikin adem. Dan kamu tau? Bulan itu yang nemenin aku pas malam gelap. Matahari nggak ada pas malam."

Di seberang sana, hening. Hanya ada suara napas yang tertahan.

"Jadi," lanjut Ren, mencoba mencairkan suasana lagi. "Nggak usah iri sama Takae. Dia mungkin bisa lari cepat, tapi dia nggak bisa bikin bubur hambar yang paling enak sedunia."

"Pffft..." Marika dewasa menyemburkan tawanya (atau mungkin minumannya). "Jahat! Bubur itu dibuat dengan penuh cinta tau!"

"Cinta dan nol gram garam," ledek Ren.

"Berisik! Awas ya kamu!" Marika dewasa tertawa, dan kali ini tawanya terdengar ringan. Beban kesedihan tadi terangkat sedikit.

"Tapi serius, Ren," kata Marika setelah tawanya reda. "Terima kasih. Kamu... selalu tau cara bikin aku merasa lebih baik. Dulu maupun sekarang."

Suasana kembali hening, tapi kali ini hening yang nyaman.

"Ren," panggil Marika tiba-tiba, nadanya kembali serius tapi tidak sepanik sebelumnya. "Soal Takae... ada satu hal yang harus kamu tahu. Sesuatu yang terjadi di masa depanku, yang mungkin akan terjadi juga di waktumu sebentar lagi."

Ren menajamkan telinganya. "Apa itu? Dia bakal nge-dunk di kepalaku?"

"Bukan," kata Marika. "Minggu depan. Pertandingan persahabatan basket antar sekolah. Takae akan mengalami cedera."

Ren tersentak. "Cedera? Parah?"

"Di waktuku... dia memaksakan diri. Kakinya sudah sakit saat latihan, tapi dia nekat main karena ingin pamer... ke seseorang." Marika dewasa memberi jeda yang bermakna. "Akibatnya, ligamen lututnya putus di kuarter terakhir. Dia... dia tidak bisa main basket lagi sampai lulus. Beasiswanya dicabut. Dia jadi sangat depresi."

Ren terbelalak. Takae yang energik itu? Berhenti main basket? Itu akan membunuhnya pelan-pelan.

"Ren, aku memang cemburu sama dia. Aku benci dia nempel-nempel kamu," aku Marika jujur. "Tapi... melihat sainganku hancur seperti itu, aku juga nggak tega. Takae tanpa basket itu... menyedihkan. Seperti burung patah sayap."

"Jadi... aku harus apa?" tanya Ren.

"Cegah dia," perintah Marika. "Kamu sekarang 'aset' OSIS, tapi kamu juga... teman anehnya. Dia dengerin kamu. Perhatikan kakinya saat latihan. Kalau dia mulai pincang, paksa dia berhenti. Jangan biarkan dia main di pertandingan itu kalau kondisinya nggak 100%."

Ren mengangguk mantap, meski Marika tak bisa melihatnya. "Siap. Laksanakan."

"Bagus," kata Marika. "Tapi ingat ya! Cuma selamatin kakinya! Jangan selamatin hatinya! Jangan sampai dia baper dan nembak kamu! Kalau itu kejadian, aku bakal... aku bakal hantuin kamu dari masa depan!"

Ren tertawa. "Iya, iya. Ampun, Bu Ketua."

"Ya sudah. Tidur sana. Besok kamu harus nemenin Marika kecil rapat anggaran. Jangan telat. Love you."

KLIK.

Koneksi terputus.

Ren meletakkan MP3-nya sambil tersenyum lebar. "Love you". Dia bilang "Love you".

Meskipun itu dari versi masa depan, rasanya tetap membuat perut Ren mulas karena senang.

Tapi kemudian senyumnya memudar saat teringat info tentang Takae.

Cedera lutut. Karir hancur. Depresi.

Takae yang selalu ceria dan kuat itu ternyata sedang berjalan menuju jurang, sama seperti Marika yang berjalan menuju jurang kesepian (yang untungnya sudah Ren cegah).

"Kenapa sih cewek-cewek di sekitarku pada nekat semua?" keluh Ren sambil menarik selimut.

Besok, dia punya misi baru. Bukan sebagai Sekretaris OSIS, tapi sebagai teman Takae. Dia harus menghentikan Takar menghancurkan dirinya sendiri.

Dan dia harus melakukannya tanpa membuat Marika (17) meledak karena cemburu.

"Misi bunuh diri," gumam Ren sebelum tertidur.

1
Celeste Banegas
Bikin nagih bacanya 😍
Starling04
Gemes banget sama karakternya, ketawa-ketiwi sendiri.
Murniyati Mommy
Asyik banget bacanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!