NovelToon NovelToon
Obsesi Tuan Adrian

Obsesi Tuan Adrian

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Diam-Diam Cinta / Mafia / Cintapertama / Balas Dendam
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Azona W

Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.

Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.

Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hati-hati, Elena

Pagi di Petunia Hill terasa berbeda hari itu.

Tidak ada suara langkah Adrian di lorong, tidak ada instruksi dari Clara, tidak ada tatapan kamera yang terlalu menekan. Semua tampak seperti jeda singkat dari badai yang terus menerpa.

Elena duduk di balkon kamarnya bersama Luna, menatap kabut pagi yang menutupi kota Verona. Udara dingin menggigit, tapi pikirannya untuk pertama kali terasa jernih.

Ia teringat percakapannya semalam. Tentang Isabella. Tentang bagaimana luka lama bisa melahirkan penjara baru.

Jika aku terus menjadi korban, aku hanya memperpanjang rantai yang sama.

Pikiran itu menyalakan sesuatu di dalam dirinya. Bukan keberanian penuh, tapi percikan kecil yang hangat.

...

Siang itu, Clara datang membawa pakaian seperti biasa. Namun kali ini Elena menatapnya lebih lama.

“Clara,” katanya pelan, “apa Adrian mempercayaimu sepenuhnya?”

Pertanyaan itu membuat pelayan tua itu berhenti sejenak. “Saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan ‘sepenuhnya’, Nona. Tapi dia tahu saya tidak akan pergi ke mana pun.”

“Karena takut?” tanya Elena.

Clara mengangkat wajahnya. Untuk sesaat, ada sesuatu di matanya yang bergetar, sesuatu yang menyerupai kelelahan bertahun-tahun. “Karena janji,” katanya akhirnya. “Janji lama yang membuat saya tetap di sini.”

Elena menatapnya, lalu tersenyum samar.

“Mungkin sudah saatnya seseorang mematahkan satu janji di rumah ini.”

Clara menunduk, tidak menjawab. Tapi dari cara tangannya bergetar saat menata pakaian, Elena tahu kata-katanya meninggalkan bekas.

Sore menjelang malam. Elena berjalan di taman sendirian, melewati jalan setapak batu yang lembab. Ia memperhatikan setiap sudut rumah, setiap kamera kecil yang tersembunyi, setiap celah yang mungkin bisa memberinya ruang bernapas.

Namun kali ini, tujuannya bukan sekadar mencari jalan keluar. Ia ingin tahu bagaimana sistem yang Adrian bangun bekerja—agar suatu hari nanti, ia tahu bagaimana menghancurkannya tanpa membuat ayahnya dalam bahaya.

Langkahnya berhenti di depan dinding taman yang ditutupi tanaman merambat. Dari sela daun, ia melihat sesuatu berkilat: sepotong logam kecil. Sensor.

Adrian bahkan menempatkan alat pengawasan di taman. Ia benar-benar tidak meninggalkan ruang untuk kebebasan.

Tapi justru saat itulah Elena menyadari sesuatu.

Adrian mengontrol segalanya… karena ia takut.

Dan rasa takut adalah celah pertama yang bisa retak.

Malamnya, saat Clara membawa makan malam ke kamar, Elena menatapnya dan berkata dengan nada tenang, “Kau tidak harus menjawab, tapi aku tahu satu hal. Bahkan di rumah ini, tidak ada yang benar-benar ingin tetap di sini.”

Clara menatapnya lama. Tatapannya kosong seperti biasa, tapi Elena menangkap sesuatu yang berbeda. Sekilas rasa simpati.

“Berhati-hatilah, Nona. Retakan kecil bisa memicu reruntuhan besar.”

Elena tersenyum tipis. “Mungkin itu yang memang kubutuhkan.”

....

Malam turun perlahan di Petunia Hill.

Elena duduk di depan cermin, menyisir rambutnya perlahan. Gerakan yang sederhana, tapi kali ini berbeda. Biasanya ia membiarkan rambutnya terurai, seperti yang Adrian suka. Karena katanya, “rambutmu terlihat indah saat jatuh di bahumu.”

Malam ini, Elena mengepangnya.

Pekat malam di luar jendela memantulkan wajahnya yang baru. Tenang, dingin, tapi matanya penuh tekad.

Kalau dia ingin mengatur setiap hal, aku akan mulai mengubahnya sedikit demi sedikit.

***

Keesokan paginya, Adrian muncul di ruang makan. Ia jarang sarapan bersama, tapi hari ini rupanya berbeda. Clara segera menunduk, sementara Elena tetap duduk dengan tenang di kursinya.

Adrian berhenti sejenak saat melihatnya. Rambut kepang, pakaian sederhana tanpa warna lembut yang ia pilihkan, dan tidak ada perhiasan.

Ia menatap Elena beberapa detik, lalu duduk di seberang meja.

“Kau terlihat… berbeda.”

Elena menatapnya tenang. “Aku hanya ingin merasa seperti diriku sendiri hari ini.”

Adrian tidak menjawab. Ia hanya memotong roti di piringnya pelan. Tapi Elena bisa merasakan atmosfer di antara mereka berubah. Sesuatu yang halus, seperti tali yang menegang tapi belum putus.

Hari itu Elena melanjutkan “perlawanan kecil”-nya. Ia berjalan lebih jauh di taman daripada jadwal yang biasa diberikan Clara. Ia membaca buku sampai larut malam, tidak mematikan lampu meski peraturan rumah melarangnya lewat jam tertentu.

Dan ketika Clara menegurnya, Elena hanya tersenyum lembut.

“Aku hanya butuh waktu sedikit lebih lama untuk merasa hidup.”

Clara tidak menjawab. Tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang baru. Campuran antara khawatir dan kagum.

Beberapa hari kemudian, Adrian memanggil Elena ke ruang kerja.

Ia berdiri di depan jendela besar, punggungnya tegak, siluetnya kontras dengan cahaya sore yang redup.

“Kau mulai suka melanggar aturan,” katanya tanpa menoleh.

Elena menjawab tanpa gentar, “Mungkin karena aku mulai bosan menjadi boneka yang hanya menunduk.”

Adrian menoleh, matanya dingin tapi ada sesuatu yang lain di sana. Seperti seseorang yang sedang menghadapi sesuatu yang tak bisa ia kendalikan untuk pertama kalinya.

Ia mendekat perlahan. “Kau mulai berani.”

Elena menatap balik, tak bergeming. “Atau mungkin aku baru sadar, tidak ada yang bisa kau kendalikan sepenuhnya. Bahkan aku.”

Keheningan turun di antara mereka.

Adrian berdiri begitu dekat hingga Elena bisa merasakan detak napasnya, tapi kali ini ia tidak mundur. Tatapan mereka saling bertaut, dua dunia yang sama-sama mencoba memahami siapa sebenarnya yang lebih kuat. Penguasa, atau tawanan yang menolak hancur.

Akhirnya Adrian berkata lirih, “Hati-hati, Elena. Api kecil pun bisa membakar seluruh rumah.”

Elena tersenyum tipis. “Mungkin itu yang harus terjadi, agar seseorang akhirnya merasa hangat.”

....

Malam turun perlahan. Petunia Hill diselimuti kabut tipis. Lampu taman memantul di genangan hujan, menciptakan bias cahaya yang lembut namun dingin.

Adrian duduk sendirian di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk pelan meja kayu. Di layar monitor, tampak Elena di kamar, membaca buku, rambutnya dikepang, wajahnya tenang tapi penuh sesuatu yang baru. Keteguhan.

Ia menatap lama, lalu mematikan layar. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia tidak ingin mengawasi. Ia ingin memahami.

Ketika pintu ruang kerjanya terbuka, Clara masuk membawa berkas.

“Tuan,” katanya hati-hati, “Nona Marcellis tidak mengikuti jadwal malam ini.”

Adrian hanya mengangguk. “Biarkan.”

Clara menatapnya ragu. “Tuan biasanya—”

“Aku bilang biarkan.” Suaranya rendah, tapi tidak marah. Ia menatap keluar jendela, matanya kosong namun berkilau samar. “Aku ingin tahu sejauh mana dia akan pergi.”

Clara menunduk dan keluar tanpa kata.

Sementara itu, di kamar atas, Elena menulis di buku catatannya.

Bukan catatan penuh air mata seperti dulu, tapi kalimat-kalimat singkat yang terasa seperti napas baru.

Aku tidak lagi ingin lari. Aku hanya ingin menemukan diriku sendiri, bahkan di tempat yang tak mengenal kebebasan.

Ia menutup buku itu, menatap Luna yang tertidur di sudut ranjang. “Kita akan keluar dari sini suatu hari nanti,” bisiknya. “Tapi kali ini, aku ingin keluar sebagai seseorang yang tahu siapa aku.”

Beberapa jam kemudian, Elena berjalan menyusuri lorong rumah yang gelap. Ia berhenti di depan ruang kerja Adrian. Pintu itu sedikit terbuka, dan cahaya temaram menyemburat keluar.

Adrian duduk di meja, menatap secangkir kopi yang sudah dingin.

“Elena,” katanya tanpa menoleh, “kau tidak pernah tidur tepat waktu akhir-akhir ini.”

Elena bersandar di ambang pintu. “Mungkin karena pikiranku terlalu ramai.”

“Dan apa yang ada di sana?”

“Pertanyaan.” Ia melangkah masuk, menatapnya dengan tatapan yang tenang. “Apakah kau benar-benar bahagia mengendalikan segalanya, Adrian? Atau kau hanya takut kehilangan lagi?”

Adrian mengangkat wajahnya perlahan. Tatapan mereka bertaut. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti.

Akhirnya ia berkata pelan, “Mungkin aku tidak tahu bedanya.”

Keheningan menebal di ruangan itu. Tidak ada amarah, tidak ada ketakutan. Hanya dua orang yang berdiri di sisi berbeda dari luka yang sama.

Elena mendekat satu langkah, dan untuk pertama kalinya, ia bukan gadis yang terjebak, melainkan seseorang yang mulai memahami cara melawan tanpa harus berteriak.

Adrian tersenyum samar, tatapannya tajam tapi nyaris lembut. “Hati-hati, Elena. Semakin kau membuatku penasaran, semakin sulit bagiku untuk melepaskanmu.”

Elena menatapnya, lalu menjawab lirih, “Mungkin itu yang harus kau pelajari. Melepaskan bukan berarti kehilangan.”

Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Adrian sendiri di ruang kerja yang sunyi.

Adrian menatap pintu yang tertutup pelan, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia tidak tahu apakah ia baru saja kehilangan kendali… atau baru mulai benar-benar hidup.

1
Mentariz
Penasaran kelanjutannya, ceritanya nagih bangeett 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!