NovelToon NovelToon
Sebelum Segalanya Berubah

Sebelum Segalanya Berubah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Dunia Masa Depan / Fantasi / TimeTravel
Popularitas:771
Nilai: 5
Nama Author: SunFlower

Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."

Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.

Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.

Manakah yang akan di pilih oleh Rania?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#20

Happy Reading...

.

.

.

Setelah cukup lama merenungi semuanya.. Menyusun kepingan ingatan yang berserakan, Rania masih mencoba memahami sosok seperti apa dirinya. Lelah dengan semua itu akhirnya Rania memutuskan untuk membersihkan dirinya saja. Ia merasa kepalanya berat dan tubuhnya lelah, seolah segala perasaan yang sejak tadi menumpuk membuatnya sulit bernapas.

Masuk ke kamar mandi, ia membiarkan air hangat mengalir di kulitnya putihnya. Meski begitu, setelah keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan tubuh yang lebih rileks, rasa sesak itu tetap ada tidak hilang sepenuhnya.

Rania berjalan ke arah wardrobe untuk mengambil salah satu baju tidur. Tapi begitu membuka pintunya, kedua matanya membulat lebar.

“Apa… ini?” gumamnya terkejut.

Tidak ada satu pun pakaian tidur tertutup yang biasa ia gunakan. Yang ada hanya baju kerja formal miliknya dan Arkana, lalu tumpukan kaos longgar serta celana pendek milik Arkana. Sementara pakaian rumah miliknya, itu pun jika masih bisa disebut pakaian. Kaos singlet tipis dan celana pendek super pendek yang.. Rania yakin bahkan panjangnya tidak akan bisa menutupi sebagian pantatnya.

Ia memandangi pakaian itu dengan napas tercekat. Dan lebih mengejutkan lagi, di bagian bawah laci ia menemukan tumpukan lingerie, dengan berbagai model, warna dan bahan. Semuanya tampak terlalu berani untuk ia lihat, apalagi digunakan.

“Rania... aku benar-benar membenci kamu,” ucapnya pada dirinya sendiri, wajahnya memerah karena malu dan marah bersamaan.

Ia tidak tahu harus merasa apa. Jijik pada dirinya sendiri? Malu? Atau marah karena dirinya di masa lalu tampak tidak memiliki batas sama sekali?

Akhirnya Rania menghela napas panjang dan menutup lemari dengan sedikit tekanan lebih keras dari biasanya. Ia memutuskan untuk mengambil kaos polos milik Arkana yang tentu saja akan kebesaran di tubuhnya serta celana pendek Arkana yang panjangnya hampir selutut untuk dirinya.

Setidaknya pakaian itu tidak akan membuatnya merasa telanjang.

Setelah mengenakannya, Rania berjalan keluar kamar menuju dapur. Perutnya sejak tadi menggerutu minta diisi, dan ia tidak ingin memikirkan Arkana atau drama- drama lainnya lagi. Yang ia butuhkan saat ini hanya makanan.

Sayangnya, ia tidak menyadari bahwa Arkana masih berada di sana. Duduk di sofa sambil bersedekap dada menatap ke arahnya dengan pandangan intens yang membuat udara seolah menegang. Namun Rania terlalu lelah untuk menyadari tatapan itu.

Ia berjalan menuju kulkas, mengambil beberapa bahan masakan sederhana, lalu mulai memotong dan memasaknya. Gerakannya rapi, teratur, seolah ia sudah benar- benar terbiasa.

Arkana memperhatikannya dari jauh tanpa suara.

Setelah selesai memasak, Rania membawa makanan itu ke meja makan. Bau masakannya menyebar ke seluruh ruangan, membuat suasana apartemen terasa lebih hidup. Namun saat ia hendak menelan suapan pertama, suara deheman membuatnya kaget hingga tersedak.

“Kh—!” Rania memegangi tenggorokannya, terbatuk beberapa kali.

Dalam hitungan detik, Arkana sudah berdiri di sebelahnya. Ia menuangkan segelas air putih dengan cepat lalu menyodorkannya tanpa berkata apa pun.

Rania menerima air itu dan langsung meminumnya sampai habis.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Arkana, suaranya tenang tetapi ada nada khawatir terselip.

Rania menatapnya dengan alis terangkat. “Kenapa Bapak masih di sini? Aku pikir Bapak sudah pergi.”

Arkana sedikit memiringkan kepala. Pertanyaan itu lagi, seolah pertanyaan itu terdengar terasa aneh di telinganya. “Kamu berharap aku akan pergi ke mana? Ini apartemenku...”

Rania terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Entah kenapa ia merasa pertanyaan Arkana masuk akal, tapi tetap saja sangat menyebalkan.

Arkana menatap piringnya. “Kamu benar-benar memasak?”

“Tentu saja.” jawab Rania sambil kembali menyuapkan makanannya.

“Aku pikir kamu membohongiku tadi pagi.” sindir Arkana, suaranya terdengar santai namun menyebalkan.

Rania langsung menatapnya tajam. “Selain menjual diriku, apa menurut Bapak aku juga seorang pembohong?”

Arkana hanya mengedikkan bahunya dengan santai, seakan ucapan Rania tidak begitu penting. Reaksi itu membuat darah Rania mendidih. Ia mengepalkan tangannya di atas meja.

“Bapak itu...!” Rania menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang lebih kasar. “Tolong jangan menghakimi aku berdasarkan diriku yang aku sendiri tidak ingat! Setidaknya hargai aku yang sekarang!”

"Berhenti memanggilku bapak.. aku bukan bapak kamu." Tegur Arkana.

"Lalu aku harus memanggil apa? Mas, kakak, atau om?"

Arkana menatapnya lama. Sangat lama. Namun sebelum Arkana sempat menjawab, Rania kembali fokus pada makanannya, menandakan bahwa ia tidak ingin pembicaraan itu berlanjut.

Tidak ada lagi percakapan yang terjadi setelah itu. Suasana ruang makan kembali hening, hanya diisi oleh suara sendok Rania yang beradu dengan piring. Rania melahap makanannya dengan lahap, seolah sejak pagi ia belum menyentuh apa pun. Namun meski ia tampak fokus pada makanannya, ia masih bisa merasakan tatapan Arkana yang terus mengarah kepada dirinya.

Tatapan itu membuat Rania sedikit risih, namun ia memilih pura-pura tidak peduli. Ia sudah cukup lelah untuk kembali berdebat atau menanggapi tingkah Arkana yang selalu membuat emosinya naik turun.

Setelah beberapa suapan, perlahan Rania mengangkat kepalanya, mendongak sedikit untuk memastikan apakah benar Arkana menatapnya. Dugaan itu ternyata benar. Arkana berdiri tidak jauh dari meja makan, kedua lengan terlipat, matanya tidak pernah lepas dari diri Rania.

“Kenapa menatap seperti itu?” tanya Rania pelan.

Arkana tidak menjawab secara langsung. Ia justru menarik kursi dan duduk di hadapan Rania. Kemudian dengan suara datar, ia berkata, “Aku juga lapar.”

Rania mematung beberapa detik, tidak yakin apakah ia harus menanggapinya atau tidak. Namun pada akhirnya ia bertanya dengan nada sedikit bersalah. “Bapak mau?”

“Tentu saja,” jawab Arkana cepat, kini terdengar jelas kesal. “Aku belum makan malam karena menunggu kamu pulang.”

Kalimat itu, entah bagaimana membuat dada Rania terasa hangat. Ia tidak tahu apakah Arkana mengatakan itu karena sungguh khawatir atau hanya karena terbiasa mengatur hidupnya. Tetapi tetap saja, ada kehangatan halus yang menyelinap di sela-sela rasa lelahnya.

“Kalau begitu, aku ambilkan dulu...” ucap Rania sambil bangkit, namun belum sempat ia berdiri tegak, pergelangan tangannya sudah ditahan oleh Arkana.

“Tidak usah.”

Rania terkejut, matanya membulat. “Lho, tapi... "

Tanpa ragu, Arkana menarik piring makanan Rania dan langsung menyuapkan makanan itu ke mulutnya sendiri.

Rania spontan menganga. “Pak! Itu makanan saya!”

“Memangnya kenapa?” tanya Arkana santai sambil terus makan. Ia tampak sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan ia makan dengan lahap, seolah itu memang makanannya sejak awal.

Rania menatapnya tidak percaya. “Paling tidak.. ganti sendoknya! Itu bekas saya pak!”

Arkana berhenti sejenak hanya untuk menatap Rania. Tidak lama, sudut bibirnya naik tipis. “Tidak masalah.” ujarnya ringan. “Lagi pula kita juga sudah sering bertukar air liur.”

Ucapan itu membuat Rania membeku.

Ia sempat tidak mampu merespons selama beberapa detik. Setelah kesadarannya kembali, ia langsung menutup mulutnya dengan satu tangan. Kedua pipinya memanas hebat. Tatapannya mengeras saat ia menatap Arkana yang tampaknya sengaja tidak melihat ke arahnya secara langsung.

Seolah Arkana tahu apa yang ia lakukan, pria itu hanya melirik sekilas dari ekor matanya. Senyumannya semakin jelas, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan berpura-pura fokus pada makanannya.

Rania merasa kepalanya pusing.

“Pak Arkana!” tegurnya dengan suara tertahan, lebih karena malu daripada marah. “Bapak itu... tidak bisakah berbicara seperti orang normal?!”

Arkana mengangkat bahu sedikit. “Aku berbicara normal.”

“Itu tidak normal!” Rania hampir memukul meja, tapi ia menahan diri.

Arkana terus makan tanpa berhenti, seolah perdebatan itu hanyalah angin lalu. Ia tampak sangat lapar, bahkan mungkin lebih lapar dari yang ia tunjukkan. Perlahan piring itu nyaris kosong, piring yang beberapa menit sebelumnya masih Rania nikmati.

Rania memelototinya. “Itu.. makanan saya..”

“Aku tahu,” ujar Arkana tenang, masih menyuapkan suapan terakhir. “Kamu bisa masak lagi.”

Rania membuka mulutnya, ingin protes tetapi tidak ada kata yang keluar. Perasaan saling bertabrakan di dalam dirinya antara kesal, malu, bingung dan entah kenapa... ada sedikit rasa hangat yang sulit ia pahami.

Arkana meletakkan sendok, lalu menatap Rania dengan ekspresi datar. “Kalau kamu masih lapar, bilang saja. Aku bisa membantu....”

Rania hampir tersedak udara. “Bapak bisa masak?” Potong Rania.

“Tentu tidak.” balas Arkana tanpa rasa bersalah. “Tapi aku bisa membantu kamu untuk menghabiskannya lagi.." Jawabnya tanpa rasa bersalah.

Rania memijit pelipisnya.

Arkana hanya menatapnya. Ada sesuatu yang berbeda di sorot mata itu. Lebih lembut, meski samar dan tertutup arogansi khasnya.

Arkana berdiri mengambil gelas lalu meneguk air. Tanpa menatap Rania lagi, ia berkata pelan. “Kalau mau makan lagi, masak saja yang baru. Aku akan menunggu di ruang tamu.”

Dan tanpa menunggu jawaban, Arkana berjalan pergi meninggalkan Rania yang masih terpaku dengan wajah memerah dengan perasaan kesalnya...

.

.

.

Jangan lupa tinggalkan jejak...

1
Puji Hastuti
Seru
Puji Hastuti
Masih samar
Puji Hastuti
Semakin bingung tp menarik.
Erni Kusumawati
masih menyimak
Puji Hastuti
Menarik, lanjut kk 💪💪
Erni Kusumawati
duh.. semoga tdk ada lagi kesedihan utk Rania di masa depan
Puji Hastuti
Masih teka teki, tapi menarik.
Puji Hastuti
Apa yang akan terjadi selanjutnya ya, duh penasaran jadinya.
Puji Hastuti
Gitu amat ya hidup nya rania, miris
Erni Kusumawati
luka bathin anak itu seperti menggenggam bara panas menyakitkan tangan kita sendiri jika di lepas makan sekeliling kita yg akan terbakar.
Erni Kusumawati
pernah ngalamin apa yg Rania rasakan dan itu sangat menyakitkan, bertahun-tahun mengkristal dihati dan lama-lama menjadi batu yg membuat kehancuran untuk diri sendiri
Erni Kusumawati
mampir kk☺☺☺☺
chochoball: terima kasih kakak/Kiss//Kiss//Kiss/
total 1 replies
Puji Hastuti
Carilah tempat dimana kamu bisa di hargai rania
Puji Hastuti
Ayo rania, jangan mau di manfaatkan lagi
Puji Hastuti
Bagus rania, aq mendukungmu 👍👍
chochoball: Authornya ga di dukung nihhh.....
total 1 replies
Puji Hastuti
Memang susah jadi orang yang gak enakan, selalu di manfaatkan. Semangat rania
Puji Hastuti
Kasihan rania
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!