Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Percikan Pertama Erietta
...Chapter 15...
Dan setiap kali Aldraya pergi setelah menyampaikan kalimatnya yang ganjil, udara di sekitarnya terasa lebih berat, seolah meninggalkan gema samar dari sesuatu yang ingin menembus lapisan realitas.
Theo mulai curiga, bahwa interaksi itu tidak semata hasil dari keingintahuan pribadi Aldraya.
Ada pola di dalamnya, ada hubungan yang tak kasat mata, menyerupai arus halus nan menghubungkan Aldraya dengan dirinya tanpa ia pahami secara penuh.
Mungkin, pikir Theo, semua itu berawal dari Erietta Bathee.
Dari caranya berbicara terlalu lembut di hadapan Theo, dari tatapan yang kadang tidak memandang Ilux Rediona sebagaimana mestinya, melainkan mengarah pada dirinya yang berdiri di balik cerita.
Jika benar begitu, maka kedekatan Erietta telah menjadi percikan pertama, dan Aldraya—dengan segala misteri mekanis—hanyalah api kedua nan menyusul.
‘Saatnya menghadapi Erietta.
Toh aku masih punya janji untuk duel dengannya, sekaligus mengobrol soal latihan Inti Lu di ranah kegelapan.
Mestinya sederhana, selama dia tidak muncul dengan sikap aneh seperti kemarin.
Tapi sekarang, mengapa perempuan ini malah ikut berjalan di samping?
Dia tidak bilang apa-apa, tidak tanya apa-apa, tapi entah kenapa, rasanya seperti dikuntit, bukan didampingi.'
Huuuuuh!
'Dan seperti dugaan, di saat seperti ini, siapa yang muncul?
Erietta.
Dengan tatapan “aku-lihat-kalian-jalan-bareng” itu.
Oh, betapa sempurnanya.
Sekarang dia pasti berpikir aku dan Aldraya sedang kencan pagi.
Demi semua naskah yang pernah aku tulis, ini bukan itu.
Benar-benar bukan seperti itu.’
Masalah rumitnya juga bermula dari sini.
Langit seperti lembaran abu-abu yang ditarik di antara dua dunia, samar tapi cukup untuk menimbulkan rasa ganjil di dada siapa pun yang menatapnya.
Di halaman barat Akademi Bintang, embun yang belum sempat mengering masih menggantung di ujung rumput, mencerminkan cahaya lembut nan menembus sela awan.
Di sanalah Theo Vkytor berdiri, ditemani Aldraya Kansh Que yang melangkah setenang bayangan di sisi kiri jalan setapak.
Tak ada percakapan di antara mereka, hanya suara langkah dan deru lembut angin nan menggesek dinding batu akademi.
Theo tahu bahwa pagi ini seharusnya bukan milik Aldraya, melainkan milik Erietta Bathee—hari di mana janji latihan tanding itu seharusnya ditepati, hari ketika Theo akan menunjukkan bagaimana mengatur aliran Inti Lu dengan cara yang tidak tertulis di panduan akademi.
Namun, seperti nasib yang gemar bergurau, sesuatu selalu terjadi di luar rencana, dan hari itu menjadi salah satunya.
Erietta Bathee datang lebih cepat dari waktu yang disepakati.
Gadis itu berjalan dari arah taman tengah, membawa tas kecil yang disampirkan miring di bahu, rambutnya berayun lembut tertiup angin, dan di matanya terpantul semangat yang tak mudah dipadamkan.
Ia mencari sosok Theo, dengan keyakinan sederhana bahwa janji yang diucapkan tak akan tertunda.
Namun langkahnya terhenti ketika jarak antara dirinya dan Theo memperlihatkan sesuatu yang tak ia sangka.
Dua sosok berdiri berdekatan di bawah atap batu berlumut, satu di antaranya adalah Aldraya Kansh Que.
Tak ada kedekatan, tak ada sentuhan, bahkan jarak di antara mereka menunjukkan ketegangan nan sunyi—tapi bagi mata yang baru tiba, bayangan dua orang yang berjalan bersama di pagi yang mendung itu cukup untuk menciptakan pertanyaan tanpa bisa dijawab dengan mudah.
Theo sempat melihat ke arah Erietta dari kejauhan.
Ia tahu, dari cara gadis itu mematung di ujung taman, ada sesuatu yang telah ia rasakan sebelum sempat dipahami.
Mungkin curiga, mungkin kecewa, atau sekadar bingung mengapa sosok yang dijanjikan untuk berlatih bersamanya justru berjalan bersama seorang guru yang tidak pernah terlihat dekat dengan siapa pun.
Sementara itu, Aldraya tetap melangkah tenang, tanpa menoleh, tanpa bicara, seolah keberadaan Erietta bukan bagian dari perhitungannya.
Udara di sekitar mereka tiba-tiba menjadi hening, seperti dunia enggan mengganggu momen canggung nan membelah jarak di antara tiga manusia itu.
‘Sialan! Ini bukan kesalahanku, kenapa aku yang jadi pemicu konflik antara dua perempuan berbahaya itu?!
Hei, Ilux! Bukankah seharusnya kau yang menjadi sumber masalah di sini, hah?! Bukankah kau yang ditakdirkan memicu pertikaian dengan Erietta dan Aldraya?!’
Fuuuuuh!
‘Ya Tuhan, aku hanya ingin mengajak duel, hanya ingin mengobrol soal latihan Inti Lu.
Tapi sekarang dua wanita itu saling menatap seperti ingin saling menghabisi, dan kau—tokoh utama yang seharusnya ada di antara mereka—malah asyik di perpustakaan?!
Di perpustakaan! Siapa yang akan percaya Ilux Rediona sedang belajar?!
Tokoh seperti kau bahkan tak bisa membedakan buku panduan sihir dengan buku resep masakan!’
Shuuuuhh!
'Astaga, demi naskahku yang sudah lenyap dari dunia, mengapa protagonis dunia ini harus seburuk itu?!’
Ada hawa dingin yang tidak berasal dari cuaca, menjalar pelan di tulang belakang Theo Vkytor.
Ia berdiri di antara dua sosok nan sama-sama terdiam, sama-sama menyimpan sesuatu di balik tatapan mereka.
Bukan tatapan marah karena cemburu.
Bukan pula kekecewaan akibat janji yang terlewat.
Tatapan itu lebih dalam, lebih gelap, menyerupai dua kekuatan purba yang menolak untuk berada dalam satu ruang yang sama.
Erietta Bathee, dengan aura lembut yang biasanya menenangkan, kini menatap Aldraya Kansh Que seolah tengah menatap bayangan dirinya di masa depan yang dibenci.
Sedangkan Aldraya, tetap tenang dan dingin, namun di balik ketenangan itu tersimpan sesuatu nan menyerupai kebencian kuno, sesuatu yang tak pantas dimiliki oleh makhluk yang seharusnya netral dan tanpa emosi.
Udara di antara keduanya bergetar halus, dan Theo tahu betul bahwa ia berada di tempat nan salah, pada waktu yang salah, di tengah dua kutub yang tidak seharusnya bersinggungan.
Theo mencoba mengalihkan pandang, namun tubuhnya justru kaku.
Ia tahu benar bagaimana dua karakter itu seharusnya berperan dalam cerita yang telah ia kenal luar-dalam dari balik layar permainan.
Dalam skenario asli, benih pertikaian antara Aldraya dan Erietta muncul karena satu nama.
Ilux Rediona.
Tokoh utama yang diatur sebagai pusat dari segala orbit, sosok yang harusnya menjadi alasan setiap konflik, cinta, dan tragedi.
Namun kini, yang menjadi sumbu justru dirinya. Theo Vkytor, karakter yang bahkan tidak seharusnya memiliki garis naskah.
Ia merasa seperti kesalahan dalam algoritma yang mulai disadari oleh dunia yang orang lain ciptakan.
Pikiran Theo berputar cepat.
Ia mencoba menelusuri kembali ingatannya—kapan tepatnya Ilux menyimpang dari perannya?
Seingat Theo, baru beberapa hari lalu Ilux terlihat di perpustakaan akademi, memegang buku tebal berdebu, dan itu saja sudah cukup janggal.
Karena Ilux Rediona, dalam versi game yang seharusnya berjalan, adalah seseorang yang menolak kata “belajar” seperti menolak racun.
Ilux hidup dari naluri, dari kebencian dan obsesi, bukan dari pengetahuan yang teratur.
Maka ketika Theo melihat Ilux duduk diam di bawah cahaya redup sambil membaca buku tentang arus Inti Lu, nalurinya berteriak bahwa sesuatu telah salah sejak saat itu.
Bahwa skenario tidak lagi menuruti naskah, dan dunia yang seharusnya dipahami kini menulis ulang dirinya sendiri.
Maka di bawah langit yang tampak terlalu pucat untuk disebut pagi itu, Theo hanya bisa berdiri diam, merasakan bagaimana peran Ilux seakan berpindah ke tubuhnya tanpa izin.
Ia ingin marah, ingin menertawakan ironi nan kini menjeratnya—bagaimana sang penulis terdampar di dalam cerita dan dipaksa memainkan peran yang bukan miliknya.
Dalam hati kecil, ia menjerit dengan getir yang tak bisa disuarakan.
‘Betapa bodohnya Ilux Rediona, betapa sia-sianya tokoh utama yang tak tahu caranya bersinar tanpa membuat dunia ikut terbakar.’
Bersambung….