NovelToon NovelToon
Senandung Hening Di Lembah Bintang

Senandung Hening Di Lembah Bintang

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:319
Nilai: 5
Nama Author:

Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.

26

Kania dan Bara melepaskan pelukan. Keduanya tersenyum lega dan bahagia, meskipun mata mereka masih sedikit basah.

Bara menatap Kania, penuh cinta. “Jadi…Ini bukan mimpi? Aku tidak perlu kembali ke stasiun dan memesan tiket pulang?”

Kania tertawa kecil, menyeka air matanya. “Tidak, Tuan pemilik kebun kopi. Kamu tidak perlu pulang. Tapi kamu juga tidak bisa hanya berdiri di gerbang rumahku ini sepanjang hari.”

Kania memegang tangan Bara, menariknya sedikit ke arah rumah. “Aku harus bekerja hari ini. Aku ada deadline kerjaan yang harus kuselesaikan. Aku biasanya bekerja di cafe.” Kania mengangkat alis, menantang Bara dengan lembut. “Mau ikut? Kamu harus mulai terbiasa dengan duniaku yang bising, sebelum kamu menyeretku kembali ke senyapnya Ranu Asri.”

Bara menggenggam tangan Kania erat. “Tentu saja aku akan ikut. Aku akan menemanimu, seperti saat kamu bekerja di kedai Senja Ranu.”

Kania tersenyum lebar. “Deal. Lets,go..kita bekerja Tuan Bara.”

Kania mengambil tasnya dari teras dan, sambil bergandengan tangan, mereka berjalan meninggalkan rumah mewah itu menuju mobil Kania. Langkah Bara kini tidak lagi ragu atau takut, tetapi penuh harapan.

Bara duduk di sebuah meja kecil di pojok cafe, mengamati Kania yang duduk di seberangnya, fokus mengetik di laptopnya. Bara menyesap tehnya, menikmati pemandangan Kania yang bekerja secara profesional. Ia belajar mencintai Kania di dunia ini juga.

Kania masih fokus pada laptopnya, jemarinya lincah mengetik, sementara Bara menyesap tehnya, mengamati orang-orang yang sibuk di sekeliling mereka.

Kania berbisik pelan, hanya terdengar Bara oleh Bara di tengah kebisingan cafe. “Mas, Bara.”

“Ya.” Bara mendongak menatap Kania.

Dengan sedikit rasa bersalah Kania bertanya. “Mas tidak bosan? Hanya menemaniku di sini. Dan apa mas tidak rindu kebun kopi, tidak ada senandung hening. Hanya suara bising, aroma gula bakar, dan lagu pop yang berulang.”

Bara tersenyum, senyum yang jauh lebih rileks dan tulus daripada senyumnya di Desa Ranu Asri beberapa waktu lalu.

“Awalnya, iya. Suara klakson di jalanan membuat telingaku sakit. Aku merindukan udara dingin di kebun kopi.”

Bara mencondongkan tubuh sedikit, memandang Kania dengan lembut. “Tapi kamu tahu? Meskipun tempat ini seramai dan sebising ini, disinilah aku merasa paling tenang, Kani.”

“Kenapa?”

“Karena aku bersamamu. Dan yang lebih penting, aku tahu kamu bahagia di sini. Aku tidak perlu cemas atau mencurigai apa yang kamu lakukan. Aku sudah memenuhi janjiku, aku mempercayaimu.”

“Aku bisa kembali kapan saja. Tapi aku tidak bisa mendapatkan ketenangan ini tanpa berada di dekatmu. Jadi, tidak. Aku tidak bosan. Aku sedang belajar mencintai dunia baruku, dunia yang ada kamu di dalamnya.”

Kania sangat terharu. Ia meraih tangan Bara yang ada di meja. Inilah bukti nyata perubahan Bara. “Terima kasih, mas. Karena sudah berusaha sejauh ini.”

Bara membalas genggaman tangan Bara, lalu kembali ke laptopnya, kembali bekerja dengan hati yang kini dipenuhi rasa aman. Bara, sambil menyesap tehnya, dengan senang hati menunggu di tengah kebisingan kota.

Kania menutup laptopnya dengan suara puas di cafe yang kini mulai sedikit sepi. Ia meregangkan tubuh, tampak lega setelah menyelesaikan pekerjaannya. “Akhirnya! Selesai. Deadline aman.” Kania tersenyum lebar.

Bara, yang sejak tadi sabar mengamati dan sesekali membaca buku, langsung menutup bukunya. “Syukurlah. Kamu terlihat seperti baru memenangkan pertempuran besar.”

“Memang! Dan pemenang pantas mendapatkan hadiah. Ayo, Tuan Bara. Aku akan memperkenalkanmu pada sisi kota yang tidak mewah dan tidak dingin.”

Bara bangkit berdiri. “Ke mana? Aku akan ikut kemana pun kamu pergi.”

“Kita akan makan malam di warung nasi langgananku. Letaknya di gang kecil. Rasanya seribu kali lebih enak dari semua masakan restoran terkenal sekalipun.”

Tiba di warung nasi langganan Kania. Mereka duduk di bangku panjang warung sederhana di pinggir jalan yang ramai. Aroma sambal dan masakan rumahan memenuhi udara. Tempat itu bising, penuh tawa, dan berisik dengan lalu lintas, sangat kontras dengan ketenangan Desa Ranu Asri.

Kania memesankan Bara makanan favoritnya. Mengamati suasana, Bara tersenyum. “Aku tidak tahu kamu suka tempat seperti ini. Kamu lebih suka tempat yang rapi dan tenang.”

Kania sudah menyantap makanannya dengan lahap. “Justru itu. Aku butuh tempat yang ramai untuk mengingatkanku betapa aku sudah lelah berpura-pura tenang. Aku datang ke sini saat aku ingin merasa paling jujur dan paling ‘aku’. Sama seperti aku memilihmu. Aku memilih kejujuran, kenyamanan, bukan hanya ketenangan yang palsu.”

Bara menatap Kania, benar-benar menghargai sisi ini dari Kania yang ia lihat. “Aku senang kamu membawaku ke sini. Ini adalah bagian dari dirimu yang baru ku ketahui, dan aku ingin tahu semuanya, Kani.”

Mereka melanjutkan makan malam dengan tawa dan obrolan ringan, menyelesaikan babak perjalanan penebusan di kota.

Bara dan Kania berjalan kaki dari warung nasi langganan menuju tempat mobil Kania diparkir. Jalanan sudah tidak seramai tadi, hanya tersisa suara motor yang berlalu lalang.

Kania menggandeng lengan Bara. “Terima kasih, mas Bara. Seharian ini…rasanya aneh. Kamu ada di duniaku, melihat betapa gilanya hidup di sini.”

“Aku senang kamu membawaku. Aku melihat betapa cerdas, sibuk, dan kuatnya dirimu disini. Dan aku melihat betapa banyak yang harus aku percayai.”

Kania menatapnya. “Dan kamu sudah melakukannya. Kamu lulus ujian, Tuan Petani Kopi-ku tersayang.”

Mereka tiba di depan gerbang kompleks rumah mewah Kania. Lampu-lampu taman yang redup menerangi mereka.

Bara memegang kedua tangan Kania. “Lalu sekarang? Kita akan kembali ke Senja Ranu?”

Kania mencondongkan tubuh, menatap Bara dengan tatapan penuh kepastian. “Tapi, dengan satu syarat.”

“Apapun..”

“Aku tetap akan mengambil kerjaan freelance. Kamu tidak boleh lagi berdekatan dengan wanita manapun, selain aku atau Ibu. Dan, tunggu kepulangan orang tuaku.”

“Sepertinya itu sudah lebih dari satu syarat.” Kekeh Bara. “Baiklah, aku tidak akan melarang mu pengambilan pekerjaan freelance, aku juga tidak akan berdekatan dengan lawan jenis selain yang kamu ijinkan. Dan, aku akan menunggu orang tua-mu, meminta ijin mereka membawa anak gadisnya tinggal di desa bersama-ku.”

Kania memeluk erat Bara. “Besok, sarapan di sini ya.” Ajak Kania.

“Dengan senang hati. Sekarang, masuklah. Sampai besok pagi, sayang. “ Bara kemudian mencium kening Kania dengan sayang. Lalu berbalik, dan berjalan menjauh, menuju penginapannya. Langkahnya ringan, membawa kebahagiaan yang sejati.

Keesokan paginya, Bara sudah duduk di meja panjang Kania. Desain dapur dan ruang makan itu modern dan minimalis, jauh berbeda dari meja kayu sederhana di Kedai kopi Senja Ranu. Bara terlihat sedikit canggung, tetapi ia berusaha terlihat biasa saja.

Sedangkan Kania, sibuk menyiapkan sarapan sederhana—roti bakar dan telur orak-arik.

Bara terus mengamati desain dapur. “Dapurmu bagus sekali, Kani. Tidak ada aroma kayu bakar atau biji kopi yang baru di sangrai.”

Kania tertawa kecil. “Tentu saja. Di sini semua serba otomatis. Tapi, sumpah deh, kopimu jauh lebih enak.”

Kania meletakkan sepiring sarapan di depan Bara dan secangkir teh panas. Ia duduk di seberangnya. “Sepi ya, hanya ada aku dan mba di rumah sebesar ini.”

Bara mengambil napas. “Di mana orang tua-mu, Kani?”

“Masih dinas di Luar Negeri, mas.”

Begitu mereka selesai sarapan, Kania dan Bara berbagi ruang kerja di rumah Kania. Kania duduk di depan laptopnya, sementara Bara duduk di sebelahnya, membaca buku tentang pemasaran kopi. Rumah mewah Kania, yang kemarin terasa asing buat Bara, kini terasa lebih hidup dan hangat.

“Ibu baru saja mengirim pesan, dia bilang panen tahun ini menjanjikan.”

Kania mengalihkan pandangan dari layar. “Apa kamu mau pulang duluan, mas? Tapi, maaf aku tidak bisa ikut denganmu.”

Bara menggenggam tangan Kania. “Aku tahu. Asal pulang bersamamu. Aku bisa menunggu.”

Bara berdiri. “Aku akan membuatkanmu kopi. Kopi instan sachet tidak apa-apa kan?” Bara berjalan menuju dapur mewah rumah Kania.

Kania mengangguk, senang melihat Bara bisa beradaptasi di sini.

Kami belum kembali ke Desa Ranu Asri. Menunggu waktu yang tepat, setidaknya menunggu orang tua Kania kembali dari tugas kantornya. Meminta ijin yang sepantasnya pada orang tua Kania.

1
Yuri/Yuriko
Aku merasa terseret ke dalam cerita ini, tak bisa berhenti membaca.
My little Kibo: Terima kasih kak sudah menikmati cerita ini 🙏
total 1 replies
Starling04
Membuatku terhanyut.
My little Kibo: Terima kasih kak 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!