Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Sembilan hari tersisa.
Restoran itu adalah antitesis dari ruang komando. Di sini, segalanya adalah kebohongan yang indah.
Di sini, di sebuah kafe fusion yang tenang dan minimalis di distrik bisnis, udaranya beraroma espresso segar dan croissant mentega yang baru dipanggang. Dindingnya berwarna krem yang menenangkan, dihiasi karya seni abstrak yang harganya mungkin bisa membayar gaji Daniel setahun. Cahaya matahari sore masuk dengan lembut, memantul di atas perabot kayu yang dipoles mengilap. Suara yang terdengar hanyalah denting pelan sendok perak di atas porselen dan obrolan sopan dari para eksekutif yang makan siang terlambat.
AKP Daniel Tirtayasa membenci setiap detiknya.
Rasanya salah. Tidak senonoh. Duduk di sini, di tengah "normalitas" yang mahal dan palsu, sementara sembilan hari lagi ultimatumnya jatuh tempo. Denting pelan sendok perak itu terdengar seperti pecahan kaca di telinganya, sangat kontras dengan detak jantungnya yang berdebar tidak teratur. Aroma espresso yang kaya itu membuatnya mual, sangat berbeda dengan bau kopi gosong yang sudah biasa di ruang komando.
Dia merasa kotor. Dia merasa tidak pada tempatnya. Seorang polisi yang kelelahan, duduk di tengah surga yang steril, sementara di kepalanya, dia tahu dia sedang berbagi meja dengan iblis.
Dia tidak bisa berhenti memikirkan peta digital buatan Reza. Radius 1 kilometer. Rumah Sakit Bhayangkara. Dan dia tidak bisa berhenti memikirkan kebohongan kejam yang dia ucapkan pada Reza, menyangkal petunjuk itu.
Makan siang ini adalah ide Samuel. Sebuah "undangan" yang tidak bisa ditolak.
Pagi itu, di depan Adit dan Hasan yang tampak lelah, Samuel berjalan menghampiri Daniel di ruang komando. "Kau tampak mengerikan, Daniel," katanya, suaranya penuh perhatian palsu yang terdengar sangat tulus. "Kita semua tegang. Kita butuh istirahat. Menjernihkan pikiran. Sedikit normalitas. Aku traktir kau makan siang yang layak, jauh dari papan tulis itu."
Itu adalah perintah yang dibungkus sebagai kebaikan. Sebuah jebakan sosial yang sempurna.
Jika Daniel menolak, itu akan menjadi sebuah sinyal. Itu akan menunjukkan bahwa dia curiga. Itu akan menunjukkan bahwa "Gembala" itu takut. Jadi, Daniel tersenyum kaku, merasakan gelombang mual di perutnya, dan berkata, "Tentu, Sam. Ide bagus."
Dan sekarang, inilah dia. Terperangkap di meja untuk dua orang. Sebuah "kencan" profesional yang terasa seperti interogasi paling intens dalam hidupnya.
"Kau harus makan, Daniel," kata Dr. Samuel Adhinata dari seberangnya. Suaranya tenang, penuh perhatian. Seperti seorang dokter yang tulus berbicara pada pasien yang keras kepala. "Kau tidak bisa memburu monster jika kau membiarkan dirimu kelaparan. Timmu butuh kau tetap bugar."
Daniel memaksakan diri menelan sepotong sandwich ayam yang terasa seperti abu di mulutnya. Dia mengunyah, tapi dia tidak merasakan apa-apa. Tenggorokannya terasa kering dan kencang. Dia harus berjuang secara fisik untuk menelan, memaksakan gumpalan makanan itu melewati kerongkongannya yang menyempit. Dia meraih gelas air putihnya, memegangnya erat-erat. Gelas itu dingin dan berat, dan dia menggunakannya sebagai jangkar untuk menghentikan tangannya agar tidak gemetar.
"Aku harus akui," Samuel memulai, meletakkan serbetnya dengan rapi setelah menghabiskan salad-nya (tentu saja salad, pikir Daniel, klinis dan bersih). "Aku terkesan dengan timmu."
Daniel hanya mengangguk, waspada. Menunggu pisaunya keluar.
"Ipda Adit," lanjut Samuel, "dia punya mata yang bagus. Penemuan jurnal Lukas itu... sangat tajam untuk seorang rookie."
Jantung Daniel berdebar sedikit lebih kencang. Dia tahu. Dia tahu kita punya jurnalnya. Tentu saja dia tahu, Daniel telah mempresentasikannya di depan seluruh tim. Dia harus. Dia tidak bisa menyembunyikannya tanpa menimbulkan kecurigaan.
"Dan Dr. Maya," Samuel tersenyum tipis. "Dia... sangat bersemangat dengan teorinya, bukan? '7 Dosa Mematikan'. Sangat puitis. Hampir seperti novel."
Nada suaranya meremehkan. Menghina. Seolah teori itu adalah fantasi kekanak-kanakan. Dia menguji Daniel. Memintanya memilih sisi.
"Dia profesional," kata Daniel datar, menyeruput air putihnya. "Teorinya memberi kita kerangka kerja."
"Tentu saja," kata Samuel. "Kerangka kerja."
Samuel bersandar di kursinya. Keheningan yang nyaman bagi Samuel menggantung di antara mereka. Dia menyesap espresso-nya, matanya memandang ke luar jendela. Lalu, dia meletakkan cangkir kecil itu dengan pelan. Sangat pelan.
"Jadi," katanya, nadanya kini bergeser. Tidak lagi obrolan ringan. Ini adalah nada dosen dari ruang autopsi. "Apakah kau sudah sempat menyelesaikan buku yang kuberikan?"
Daniel merasa tenggorokannya mengering seketika. The Scales of Nemesis. Buku yang kini terkunci di laci mejanya seperti granat.
"Sedang saya pelajari," jawab Daniel. "Berat."
"Memang," kata Samuel. "Filsafat itu berat. Terutama ketika kita menyadari betapa tidak memadainya sistem 'pengampunan' kita saat ini di hadapan 'logika' murni."
Dia menatap Daniel, matanya di balik kacamata tipis itu berkilat dengan intensitas seorang akademisi yang bersemangat.
"Aku penasaran, Daniel. Murni dari sudut pandang profesional."
Samuel menoleh ke luar jendela lagi, seolah sedang merenungkan sebuah pertanyaan filosofis yang acak.
"Kau dan aku, kita melihat hal terburuk dari manusia setiap hari. Sahroni, Riana... kebusukan yang tak terbayangkan. Korupsi moral yang total. Dan kau... kau seorang 'Gembala'. Kau orang yang beriman. Aku harus bertanya..."
Dia berbalik, matanya mengunci mata Daniel.
"Bagaimana Anda bisa terus percaya pada keadilan Ilahi, jika setiap hari Anda melihat orang-orang jahat bebas dari konsekuensi di dunia ini?"
Pertanyaan itu menghantam Daniel seperti pukulan fisik di ulu hati.
Napasnya tercekat. Suara denting piring dan obrolan sopan di kafe itu lenyap. Yang terdengar hanyalah desisan pelan mesin pendingin udara dan suara darah yang menderu di telinganya.
Ini bukan pertanyaan. Ini adalah gema.
Ini adalah pertanyaan yang sama persis yang dia ajukan pada dirinya sendiri, di dalam kepalanya, di depan Romo Benyamin. Ini adalah inti dari keraguan yang ditanamkan buku itu.
Samuel tidak sedang bertanya. Dia sedang mengkonfirmasi bahwa racunnya telah bekerja.
Gelombang paranoia yang dingin melanda Daniel. Dia tahu. Dia tahu aku ke gereja. Dia tahu aku ragu. Dia bisa membaca pikiranku.
Dia harus menjawab. Dia tidak bisa menunjukkan rasa takut. Dia tidak bisa menunjukkan kecurigaan.
"Tugas saya bukan mempertanyakan keadilan Ilahi, Sam," kata Daniel, suaranya dia paksa agar tetap stabil, meskipun terdengar serak di telinganya sendiri. "Tugas saya adalah menegakkan keadilan manusia."
"Dan saya percaya," lanjut Daniel, mengutip kata-kata yang kini terasa hampa, "bahwa pada akhirnya, semua orang akan mendapatkan ganjarannya. Di dunia ini, atau di dunia selanjutnya."
Itu adalah jawaban yang lemah. Jawaban seorang Gembala yang kelelahan. Jawaban yang bahkan tidak dia percayai lagi.
Samuel Adhinata tersenyum.
Bukan senyum hangat. Bukan senyum profesional. Itu adalah senyum tipis, dingin, dan penuh kemenangan. Senyum seorang dokter bedah yang baru saja mengkonfirmasi diagnosisnya: tumor itu ganas dan sudah menyebar.
"Ah. 'Di dunia selanjutnya'," kata Samuel, seolah mencicipi kata-kata itu. "Itu... nyaman."
Dia mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya kini hampir berbisik.
"Tapi bagaimana dengan sekarang? Bagaimana dengan para korban sekarang, Daniel? Bukankah 'menyerahkannya pada Tuhan' adalah sebuah bentuk... kemalasan spiritual?"
Waktu berhenti.
Kata-kata itu menggantung di udara yang beraroma espresso. Kemalasan spiritual.
Itu bukan kata biasa.
Di kepala Daniel, sebuah papan tulis putih meledak. Nafsu (Lust), Kerakusan (Gluttony), Iri Hati (Envy), dan...
Kemalasan (Sloth).
Itu adalah salah satu dari 7 Dosa Mematikan yang tertulis di papan tulis rahasia Daniel. Teori yang dia dan Maya diskusikan di ruang komando yang seharusnya aman.
Darah serasa terkuras dari wajah Daniel. Dia bisa merasakan detak jantungnya sendiri di telinganya, berdebar begitu keras hingga mengalahkan semua suara kafe.
Dia tidak hanya tahu. Dia pamer bahwa dia tahu.
Dia tidak hanya tahu nama "Gembala". Dia tidak hanya tahu tentang jurnal Lukas. Dia tidak hanya tahu tentang teori Maya.
Dia tahu segalanya. Dia ada di ruangan itu. Dia mendengarkan.
Dan dia baru saja menggunakan teori itu untuk menyerang iman Daniel. Dia mengambil senjata Daniel dan menusukkannya ke perutnya.
"Sebuah cara," lanjut Samuel, matanya tak berkedip, menikmati setiap detik dari teror yang baru saja dia ciptakan, "untuk menghindari tanggung jawab yang sulit? Sebuah pembenaran untuk tidak bertindak?"
Daniel meletakkan serbetnya di atas piringnya yang nyaris tak tersentuh. Dia harus keluar dari sini. Udara di kafe ini terasa tipis. Dia tidak bisa bernapas.
"Ini bukan debat filsafat, Sam," kata Daniel, suaranya lebih serak dari yang ia inginkan. "Ini interogasi, ya?"
Itu adalah sebuah kesalahan. Sebuah lelucon yang menunjukkan terlalu banyak rasa takut.
Samuel tertawa. Sebuah tawa ringan yang tulus. Tawa dari seseorang yang baru saja memenangkan permainan. Tawa superior dari seseorang yang menganggap perlawanan kecil lawannya itu menggemaskan.
"Tentu saja tidak, Daniel," katanya, juga meletakkan serbetnya. "Hanya... rasa ingin tahu profesional. Aku sudah bilang padamu. Kau adalah subjek studi yang menarik. Seorang 'Gembala' di tengah kandang serigala."
Samuel memeriksa arlojinya. "Waktunya kembali. Kebenaran tidak akan menemukan dirinya sendiri, bukan?"
Dia berdiri, meninggalkan uang tunai yang lebih dari cukup di atas meja.
Daniel mengikutinya, kakinya terasa seperti timah. Saat dia berjalan keluar dari kafe yang sejuk itu kembali ke panas Jakarta yang brutal, dia merasa telanjang.
Dia tidak hanya makan siang dengan seorang kolega.
Dia baru saja di-autopsi saat dia masih hidup.
Dia kini tahu, dengan kepastian 100%, bahwa Samuel adalah Sang Hakim. Dan Samuel, dengan kepastian 100%, tahu bahwa Daniel tahu.
Dan Samuel tidak peduli.
Permainan ini telah memasuki babak akhirnya.