Irsyad mendapat tugas sulit menjadikan Bandung Medical Center sebagai rumah sakit pusat trauma di Bandung Timur.
Kondisi rumah sakit yang nyaris bangkrut, sistem yang carut marut dan kurangnya SDM membuat Irsyad harus berjuang ekstra keras menyelesaikan tugasnya.
Belum lagi dia harus berhadapan dengan Handaru, dokter bedah senior yang pernah memiliki sejarah buruk dengannya.
Bersama dengan Emir, Irsyad menjadi garda terdepan menangani pasien di Instalasi Gawat Darurat.
Terkadang mereka harus memilih, antara nyawa pasien atau tunduk dengan sistem yang bobrok.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Biarkan Aku Mati!
"Kenapa kalian menyelamatkan ku? Kenapa?!" berang Ivana yang tiba-tiba emosi.
"Tenanglah, Ivana," Novi berusaha menenangkan Ivana yang histeris.
Gadis itu berusaha melepaskan infusan yang menancap di tangannya, namun dengan cepat Aida menahan tangan Ivana dan semakin membuat gadis itu histeris.
"Lepaskan aku!! Lepaskan aku!!"
Teriakan Ivana terdengar ke seantero IGD dan menarik perhatian Emir yang tengah memeriksa salah satu pasien. Usai memeriksa pasien, Emir bermaksud melihat Ivana.
"Kenapa kalian menyelamatkan ku?! Seharusnya kalian membiarkan mu mati!!"
"Tenanglah Ivana," Aida berusaha menenangkan gadis itu.
"Aku mau pergi!! Jangan halangi aku!!"
"Kamu tidak bisa kemana-mana, Ivana. Kondisi mu belum pulih benar," Aida berusaha menahan Ivana yang terus berusaha melepaskan infusan dan hendak keluar dari ruangan.
"Lepaskan aku!! Aku mau pergi!! Biarkan aku mati!!"
"Berhentilah bersikap konyol!! Aku tidak tahu apa masalah yang menimpa mu. Tapi bersikap seperti ini bukanlah solusi. Apa yang kamu lakukan menyulitkan kami semua! Kalau kamu mau mengakhiri hidup, lakukan dengan benar!" kesal Novi.
Dokter magang itu tidak bisa menahan diri lagi. Baru kali ini dia menangani pasien seperti Ivana. Bukannya bersyukur sudah diselamatkan nyawanya, malah menyalahkan petugas medis yang sudah melakukan tugasnya.
Emir yang sudah berada di dekat ruangan bisa mendengar apa yang dikatakan dokter magang tersebut. Pria itu berdiri di depan pintu ruangan lalu menggerakkan jarinya, meminta Novi untuk keluar. Dokter magang tersebut segera keluar kemudian mengikuti Emir yang berjalan sedikit menjauh dari ruangan.
"Apa seperti itu sikap mu sebagai seorang dokter?" tegur Emir.
"Maaf, dok. Saya tidak bisa menahan emosi. Pasien sama sekali tidak bersyukur sudah diselamatkan. Dia malah ingin pergi dan menyalahkan kami," jawab Novi dengan kepala tertunduk.
"Tapi tidak seperti itu juga cara mu menangani pasien. Sekali lihat kamu pasti langsung tahu kalau kondisi mentalnya tidak stabil. Bisa-bisanya kamu menyuruhnya melakukan bunuh diri dengan benar!"
"Maaf, dok."
"Bilang pada suster Farah untuk menghubungi Lidya. Minta dia menemui pasien Ivana. Dan kamu tidak usah menemuinya lagi."
Hanya anggukan kepala yang dilakukan Novi. Dokter magang itu segera menuju nurse station, menyampaikan pada Farah apa yang diminta oleh Emir.
Sementara itu Emir melanjutkan langkahnya menuju ruang tindakan di mana Ivana berada. Suster Aida masih berada di kamar. Perawat wanita itu masih berusaha menenangkan Ivana. Emir mendekati ranjang gadis muda itu.
"Ivana," sapa Emir.
"Kenapa dokter menyelamatkan nyawa ku? Harusnya dokter membiarkan ku mati saja."
Suara Ivana terdengar serak karena terus berteriak dan menangis. Emir menarik kursi ke dekat ranjang. Dokter residen itu memberi isyarat pada Aida untuk meninggalkan ruangan.
"Aku seorang dokter, Ivana. Ketika ada pasien yang masuk ke rumah sakit, maka sudah kewajiban ku menolongnya. Tidak peduli siapa orangnya, bagaimana keadaannya dan alasan kenapa dia sampai masuk rumah sakit. Tugas kami itu menyelamatkan nyawa. Dan apa kamu tahu bagaimana perasaan kami kalau kami sampai kehilangan pasien? Itu memberikan kesedihan juga bagi kami."
Kepala Ivana tertunduk begitu mendengar kalimat panjang lebar Emir. Tangan gadis itu terus bergerak, mengusap buliran bening yang terus keluar dari kedua matanya.
Emir bangun dari duduknya lalu menuju nurse station. Tak lama kemudian dia kembali dengan sekotak tisu di tangannya. Dia memberikan tisu itu pada Ivana.
"Siapa yang mengantarkan ku ke sini, dok?"
"Asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mu."
"Bi Nipah," gumam Ivana pelan.
"Bi Nipah, apa itu nama asisten rumah tangga di rumah mu?"
"Iya."
"Apa kamu tahu bagaimana cemasnya dia saat mengantarkan mu ke sini? Dia bukan hanya panik tapi juga takut. Takut kalau kamu tidak bisa diselamatkan. Takut kalau akan disalahkan oleh kedua orang tua mu seandainya terjadi sesuatu pada mu. Apa kamu tidak peduli padanya? Tidak kasihan padanya?"
Kepala Ivana menggeleng dengan airmata yang terus keluar. Gadis itu mulai terisak. Belakangan ini hanya Bi Nipah yang peduli padanya. Kedua orang tuanya jarang berada di rumah. Kalau pun bertemu di rumah, tidak ada saling sapa, tidak ada lagi perhatian atau kepedulian. Keduanya seakan menjalani hidup masing-masing tanpa mempedulikan satu sama lain.
Tiga bulan lalu Ivana mengetahui kalau Ayahnya berselingkuh di belakang Ibunya. Bahkan Ayahnya sudah menikah lagi dengan selingkuhannya. Seketika Ivana seakan kehilangan figur sang Ayah yang begitu dikagumi olehnya.
Yang lebih membuatnya terpuruk, ternyata selama ini Ibunya sudah tahu perselingkuhan sang Ayah. Alih-alih mencoba menyelesaikan permasalahan rumah tangga, Ibunya justru menyibukkan diri dengan pekerjaan. Dan Ivana juga tahu kalau Ibunya diam-diam menjalin hubungan dengan pria lain.
Kecewa dengan kedua orang tuanya, Ivana yang sejatinya anak baik mulai berulah. Dia sengaja pulang malam, terkadang beberapa hari tidak pulang ke rumah. Bahkan dia mulai mencoba merokok dan minum minuman keras. Namun ternyata usahanya sia-sia belaka. Kedua orang tuanya seakan tidak peduli lagi dengan dirinya.
Ivana adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Dia memiliki seorang Kakak laki-laki dan sudah menikah. Saat ini sang Kakak berada di Jakarta, karena pekerjaannya memang di sana. Awalnya Ivana ingin menceritakan masalah yang terjadi di rumah, namun dibatalkan olehnya. Gadis itu sungkan pada Kakak Iparnya.
"Apa kamu mau menghubungi kedua orang tua mu?"
"Tidak usah. Mereka tidak peduli pada ku lagi."
"Kami harus bertemu dengan kedua orang tua atau wali mu. Ada yang harus kami bicarakan dengan mereka terkait kondisi mu."
"Apa kondisi ku buruk? Apa aku akan segera mati?"
"Dokter Emir."
Perbincangan antara dokter dan pasien terhenti ketika Lidya memasuki ruangan. Pekerja sosial medis itu segera datang ke IGD setelah mendapat telepon dari Farah.
"Ivana, kenalkan ini Lidya. Dia adalah pekerja sosial medis di rumah sakit ini. Kamu bisa berbincang dan berkonsultasi dengannya. Kamu butuh tenaga profesional untuk mengatasi beban di hati mu. Aku akan meninggalkan kalian berdua."
Emir segera meninggalkan ruangan tersebut setelah kedatangan Lidya. Wanita berusia tiga puluhan itu menarik sebuah kursi di dekat ranjang lalu mendudukkan diri di sana.
"Apa ada yang mau kamu ceritakan, Ivana?"
"Soal apa?"
"Apa alasan mu meminum banyak obat penenang? Kita bisa mulai perbincangan dari sana."
Tidak ada jawaban dari Ivana. Gadis itu malah mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Dengan sabar Lidya menunggu sampai gadis itu mau bicara dengannya.
"Aku hanya ingin tidur nyenyak."
"Apa hanya itu alasan mu? Tidak ada hal lain?"
"Tidak ada. Apa aku bisa minta tolong pada mu?"
"Katakan saja."
"Bisakah Ibu menghubungi Kakak ku? Bisa minta dia ke sini? Aku hanya butuh Kakak ku. Aku tidak butuh orang tua ku."
"Baiklah. Berikan saja nomor Kakak mu. Aku akan menghubunginya."
"Tapi ponsel ku di rumah. Aku tidak hafal nomor Kakak ku."
Kekecewaan nampak jelas di wajah Ivana. Kenapa dia malas sekali menghafal nomor sang Kakak. Wajahnya kembali berubah sendu.
Kepala Ivana terangkat ketika mendengar suara yang familiar. Bi Nipah, asisten rumah tangga yang selalu setia menemaninya mendatangi ruang tindakan. Setelah menyelesaikan ibadah shalat Dzuhur, wanita itu langsung mendatangi Ivana saat tahu gadis itu sudah sadar.
"Non Vana."
"Bi Nipah."
"Ya Allah, Non."
Bi Nipah langsung menghambur pada Ivana. Wanita paruh baya itu memeluk Ivana. Matanya nampak berkaca-kaca. Ikut sedih dengan apa yang menimpa anak majikannya.
"Non baik-baik saja?"
"Iya, Bi."
"Syukurlah. Non Vana jangan berbuat nekad lagi. Bibi takut, Non."
"Maafkan aku, Bi. Apa Bibi bisa menghubungi Bang Bayu?"
"Iya, Non."
Dengan cepat Bi Nipah mengambil ponselnya dari dalam tas. Dia segera mencari nomor Bayu, Kakak dari Ivana. Saat panggilan tersambung, dengan terbata Bi Nipah menceritakan keadaan Ivana. Gadis itu menolak berbicara dengan Bayu karena pasti akan langsung menangis begitu mendengar suara sang Kakak.
Terkejut mendengar apa yang terjadi pada adiknya, Bayu memutuskan langsung pergi ke Bandung. Apalagi ketika mendengar kedua orang tuanya masih belum bisa dihubungi.
"Den Bayu mau ke sini, Non."
"Makasih, Bi."
"Saya tinggal dulu. Kalau kamu sudah siap bicara, bisa katakan pada suster untuk menghubungi saya."
Kepala Ivana mengangguk pelan. Lidya memilih keluar dari ruangan. Memaksa Ivana untuk berbicara dengannya bukanlah hal yang tepat. Dia membiarkan Ivana bersama dengan orang membuatnya nyaman.
Sekeluarnya dari ruang tindakan nomor dua, Lidya mendekati Emir yang berada di nurse station. Kepalanya menggeleng ketika Emir melihat padanya.
"Dia masih belum mau bicara?"
"Ya. Tapi dia sedang ditemani asisten rumah tangganya. Dia juga sudah menghubungi Kakaknya. Apa pengobatannya sudah selesai?"
"Ya, tapi aku menginginkan dia dirawat dulu di rumah sakit. Kalau dia pulang sekarang, khawatir dia akan mengulangi hal yang sama."
"Ya, kamu benar. Dia terlihat rapuh sekali."
Kompak Emir dan Lidya melihat ke ruangan nomor dua. Di sana Ivana hanya berbaring dengan pandangan kosong. Sementara Bi Nipah setia menungguinya.
"Oh ya, bagaimana dengan orang tua Satria?"
"Mereka masih belum bisa mengikhlaskan anaknya. Saat ini mereka sedang berkonsultasi dengan dokter saraf. Mereka ingin melakukan serangkaian tes lagi."
"Hasilnya akan tetap sama."
"Ya. Tapi pihak rumah sakit tentu saja tidak bisa menolak permintaan keluarga pasien. Apalagi serangkaian tes yang dilakukan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Itu keuntungan bagi rumah sakit."
"Wow aku tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulut mu."
"Aku ini pekerja sosial di sini. Aku sering berhadapan dengan keluarga pasien yang kesulitan membayar biaya perawatan. Tentu saja aku sangat peduli dengan keadaan mereka. Dan aturan rumah sakit akhir-akhir ini sangat tidak berpihak pada pasien."
Semua yang berada di nurse station membenarkan apa yang dikatakan Lidya. Terkadang mereka harus melepaskan pasien atau memintanya pulang jika tidak memiliki kesiapan finansial ketika berobat.
Sejak rumah sakit dipegang oleh Gary Gumintang tiga tahun lalu, BMC mengalami kemerosotan. Pria itu mengkorupsi uang rumah sakit yang akan digunakan untuk menambah fasilitas dan biaya operasional rumah sakit.
Hal itu diperparah dengan tindakan Iskak Nasir, dewan komisaris terdahulu. Pria itu menggelapkan pajak penghasilan rumah sakit. Bekerja sama dengan perusahaan farmasi, mengambil uang milik mereka hingga membuat pihak farmasi menuntut rumah sakit.
Iskak melimpahkan semua kesalahan pada Gary. Rapat anggota dewan pun digelar dan memecat pria itu dari jabatan sebagai direktur rumah sakit. Iskak kemudian mengangkat Handaru sebagai direktur baru. Baru dua bulan menjabat, Iskak kabur membawa kabur uang investasi yang didapat untuk mengembangkan rumah sakit.
Iskak menjadi buronan polisi dan sekarang jabatan dewan komisaris dialihkan pada yang lain. Dewan yang baru membuat kebijakan baru dengan tujuan mendapatkan profit sebanyak mungkin walau harus menekan biaya operasional, termasuk mengurangi staf. Dan salah satu departemen di BMC yang menjadi incaran dewan komisaris adalah IGD.
Mereka menghentikan perbincangan ketika Ayah dari Satria mendekat. Wajah pria itu nampak kuyu. Sejak semalam dia belum juga memejamkan matanya.
"Dokter," panggil pria itu.
"Ya, Pak. Apa anda sudah mengambil keputusan?"
"Hasil tes sudah keluar, dan hasilnya tetap sama."
Wajah pria itu nampak sendu ketika mengatakan itu. Setelah melakukan beberapa tes yang cukup menguras kantong, ternyata hasilnya tetap menunjukkan kalau sang anak dalam keadaan mati otak.
"Apa yang bisa saya lakukan?"
"Bisakah kalian memberikan waktu sedikit lagi untuk kami mengucapkan selamat tinggal pada anak kami?"
"Tentu saja."
"Kalau boleh, saya juga ingin bertemu dulu dengan dengan dua dokter yang menangani Satria sebelumnya?"
***
Besok aku libur🤗
Ini penampakan dokter Emir versi ku
yg ada pasien bedah kecantikan malah jadi pasien bedah jantung n jadi pasien kejiwaan gegara liat pasien lain yg masuk IGD dengan kondisinya beneran gawat n darurat juga bikin yg liat stress 😂😂