Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Harsya merasa dadanya sesak, ruangan seluas itu terasa sempit.
ia mengambil ponselnya, lalu keluar ke balkon.
Udara malam menusuk dingin, tapi entah kenapa rasanya lebih damai berada disini daripada di kamar dnegan segala kemewahannya
Ia menyalakan rokok.
Asap dilepas perlahan… seolah ingin membuang seluruh kekacauan di kepalanya.
.ia menggulir kontak Alma
Jempolnya ragu sebentar — bukan karena takut ketahuan, tapi karena ia tahu betapa salahnya semua ini.
Namun ia putuskan untuk mengetik pesan.
Sudah tidur?mimpi indah ya.”Tulisnya tidak lupa menyematkan emoticon love
Ia tidak tahu apakah ini yang dinamakan dengan jatuh cinta?atau puber kedua yang ia tahu
Bahkan hanya melalui pesan… Alma berhasil membuatnya merasa dilihat.
Harsya bersandar di pagar balkon,
Ia memandangi lampu kota di kejauhan.
Ia mengembuskan asap panjang, sambil membiarkan pikirannya berkata jujur di dalam kepala
Kedewasaannya… kesederhanaannya… caranya bertanya “Mas gimana harinya?” tanpa menuntut apa-apa… dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku merasa dianggap… didengar… dihargai.
Ia menunduk.
Menyadari betapa berbahayanya rasa itu.
Aku tahu ini pengkhianatan, pikirnya getir.
Tapi kenapa… hanya bersama dia aku merasa hidup?.
Saat ia tengah sibuk dengan perasaannya
Harsya menangkap seseorang mendekat. Refleks, ia menutup layar ponsel meletakannya di meja samping.
Nadine memperhatikan gelagat itu.
Alisnya naik sedikit, senyum sinis terbit di bibirnya.
“Kenapa gugup begitu?” suaranya terdengar setenang malam bukan marah, tapi jelas menyelidik.
Harsya berdehem pelan.
“Siapa yang nggak gugup, kalau kamu tiba-tiba muncul begitu?.”Kilahnya.
“Kalau tidak ada yang disembunyikan, kenapa harus gugup?."Nadine melangkah lebih dekat, menatap lurus ke mata suaminya.
Ada ketegangan yang menggantung diudara
Harsya menarik napas panjang, memalingkan wajah lurus kedepan.
“Jangan mulai,Nadine. Mas capek.”
“Kita semua capek.”Jawab Nadine cepat.
“Capek tebak-tebakan apa yang Mas sembunyikan. Capek pura-pura semua baik baik saja."
Harsya terdiam , ia menjentikan abu rokok kedalam asbak dan menghisap dalam dalam tapi ekspresinya tetap datar — bukan karena tidak peduli, tapi karena terlalu banyak yang berpotensi pecah jika ia buka suara.
Nadine melanjutkan ucapannya
“Aku nggak akan tanya siapa, tapi cuma mau agar anak anak tidak tahu apa yangterjadi diantara kita."
Perkataan itu tidak meledak ledak tapi
Justru lebih menyakitkan kejujuran seorang istri yang sudah terlalu lama mencium ada yang tidak benar.
Harsya akhirnya menjawab — pelan, hampir terdengar seperti gumaman.
“Nadine… bisa kamu biarkan Mas ini merasa tenang sebentar saja?,kalau bukan dirumah ini dimana lagi Mas harus cari ketenangan?."«
Nadine menatapnya beberapa detik lagi.
Tidak berusaha mendebatnya, namun dari sorot matanya jelas bahwa ia tahu sesuatu.
“Aku sudah selesai bicara.”
Ia berbalik, masuk kedalam
Tepat sebelum menutup pintu ia menambahkan tanpa menoleh
“Aku cuma berharap… apa pun yang Mas cari di luar sana… sepadan."
Malam itu ia tidak sepenuhnya terlelap , kepalanya terasa penuh, saat membuka mata ia refleks memeriksa notifikasi di ponselnya , ada banyak notifikasi disana namun bukan itu yang ia inginkan.
Hatinya gelisah, pesan yang ia kirim tetap centang dua abu abu, rahangnya mengeras
muncul justru rasa tidak tenang… rasa yang Harsya sendiri enggan untuk mengakui ketergantungan.
Keresahan itu meledak, keluar dalam bentuk yang salah.
“Axel, cepat! Kakakmu sudah nunggu!Jangan bikin semuanya terlambat!” bentaknya dari ruang makan.
Langkah Nadine terdengar menuruni tangga dengan cepat. Ia kaget, karena Harsya jarang sekali meninggikan suara di pagi hari.
“Apa sih Mas? Pagi-pagi sudah teriak-teriak?” Nadine bertanya dengan nada kesal bercampur heran.
Tidak ada jawaban.
Harsya duduk di meja makan, tapi tidak benar-benar makan.Tapi rahangnya mengeras, tegang, dan matanya melirik kearah ponselnya pandangannya setiap beberapa detik.
“Jangan jadikan anak anak sebagai pelampiasan Mas.”Suara nadine terdengar datar.
Harsya tetap diam hatinya sibuk bertanya tanya
Kenapa Alma belum balas?.
Anak-anak akhirnya datang, sarapan berlangsung canggung.
Semuanya terasa berat — bukan karena pertengkaran, tapi karena sesuatu yang tidak dikatakan.
Saat Nadine dan anak-anak bersiap ke mobil, Nadine berpamitan mesku nada syaranya datar
"Kami duluan Mas."
Jawaban Harsya pendek, cepat
"Ya.”
Begitu mereka keluar pintu, Harsya meraih ponselnya lagi.
Jari-jarinya mengetuk layar, membuka chat Alma masih tidak ada perubahan
Ia mengembuskan napas kasar lalu bersandar di kursi, menutup mata. Ia menekan nomor Alma berdering namun tidak segera diangkat.
Sementara itu di tempat yang berbeda sinar matahari menembus tirai dan jatuh tepat ke wajahnya. Alma menggerakkan tangan, meraih bantal dan menutupinya untuk menghalangi silau. Ia jarang sekali bangun selambat ini… tubuhnya terasa ringan tapi kepalanya penuh.
Hening pagi itu pecah oleh getaran dan dering ponsel yang begitu nyaring.
Alma mengerjab—kaget. Ia meraih ponsel itu dan jantungnya langsung berdegup cepat saat melihat nama yang terpampang di layar.
Harsya!
Refleks, tanpa sempat menimbang apa pun, ia menekan tombol accept pada ponselnya
“Ya, Mas?” suaranya serak, jelas kentara ia baru bangun.
Ada hembusan napas berat dari seberang, seperti orang yang menahan cemas dari semalam.
“Al… kamu baik-baik aja kan? Mas cemas, tahu nggak?.”Cecar Harsya begitu mereka tersambung.
Alma terdiam sepersekian detik,mencoba mencerna Alma menarik napas pelan sebelum menjawab.
“Aku baik-baik saja, Mas.”
“Kenapa kamu tidak jawab pesan Mas?.”
Suara Harsya terdengar dari seberang, bukan marah—lebih seperti resah yang ia berusaha sembunyikan.
Alma sedikit mengerutkan alis. Karena sejal semalam ia tidak membuka ponselnya
Tapi ia tidak ingin membuat situasinya menjadi terlalu besar.
“Aku… dari semalam nggak sempat buka ponsel, Mas.” jawab Alma pelan, jujur tapi tidak menyudutkan siapa pun.
“Aku capek banget, ketiduran.”
Hening sejenak.
Cuma beberapa detik, tapi cukup untuk memberi tahu Alma betapa Harsya memikirkan ini semalaman.
“Oh.”
Respon Harsya pendek — tapi dari caranya menghembuskan napas, Alma bisa menangkap sesuatu kecewa.
“Syukurlah kalau kamu baik-baik aja,” lanjutnya. Suaranya kini lebih tenang, tetapi ada sedikit nada yang terasa… takut kehilangan.
“Mas cuma… khawatir.”
“Maaf kalau bikin Mas khawatir, tapi semalam aku benar benar lelah."Ucapnya pelan
“Tidak apa-apa,oh iya hari ini apa jadwalmu?,"
"Ada kelas tapi ini hari terakhir."
"Oouh ok, ya sudah Mas kekantor dulu,"ujarnya dan panggilan pun berakhir.
Harsya memandang layar ponselnya yang perlahan meredup.
Ada rasa lega — Alma baik-baik saja.
Tapi juga ada rasa yang lain… yang tak ia akui kecewa.
Harsya menghela napas panjang betapa berbahanya rasa ini seseorang yang baru ia kenal bisa membuat harinya kacau.
Akhirnya ia bangkit, lalu berangkat ke kantor
Sepanjang perjalanan ia menyalakan musik hanya untuk menenggelamkan pikirannya.
Tapi tetap saja, imaji tentang Alma muncul berkali-kali — tawanya, ketenangannya, caranya mendengarkan.
Bukan soal cinta atau fantasi.
Lebih mirip ketergantungan… nyaman yang tidak pernah ia temukan di rumah.
Dan itu menakutkan.