Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bawel Vs Dingin
"Calista, lo di panggil Bu Mawar," ucap Citra sambil menepuk ringan meja Calista.
Calista yang sedang serius menulis langsung mengangkat kepala, mengangguk singkat. "Baiklah," jawabnya lalu merapikan buku-bukunya sebelum bangkit dan melangkah ke ruang guru.
Tok! Tok!
"Masuk," terdengar suara Bu Mawar dari dalam.
Calista membuka pintu dengan hati-hati, lalu setelah diarahkan.
"Ibu panggil Calista?" tanyanya sopan.
"Iya, Nak,"jawab Bu Mawar sambil mendekat dengan senyum hangat. "Bagaimana rasanya duduk sebangku dengan Xavier?"
Pertanyaan itu membuat Calista sempat bingung, tapi ia tetap berusaha menjawab. "Bagus kok, Bu. Walaupun wajahnya agak seram dikit, hehe."
Dari luar ruangan, Xavier yang kebetulan lewat tak sengaja mendengar. Langkahnya terhenti, matanya melirik sekilas ke arah jendela. Dari celah kaca, Calista dan Bu Mawar sedang berbincang.
"Tapi... meskipun dia terlihat seram, Xavier orangnya baik," lanjut Calista dengan senyum tipis.
Bu Mawar mengangguk lega. "Baguslah kalau kamu nyaman duduk dengan Xavier. Kalau ada yang bikin kamu nggak nyaman, langsung belang ke Ibu, ya."
"Baik, Bu," sahut Calista sambil menunduk hormat.
♡♡○♡♡
Sorak sorai penonton memenuhi lapangan basket. Bola, memantul keras di lantai kayu, bergema di antara suara teriakan dan tepukan tangan. Xavier bergerak lincah, tubuhnya melayang saat melompat, lalu bola masuk mulus ke dalam ring. Keringat menetes di pelipisnya, tapi tatapannya tetap tajam penuh semangat.
Sementara itu, di taman sekolah, Calista duduk sendiri di bangku, jemarinya sibuk membolak balik halaman buku. Dari kejauhan, Citra memperhatikannya. Dengan langkah ringan ia menghampiri.
"Calista," panggil Citra.
Calista menoleh, tersenyum tipis. "Hai."
Citra segera duduk di sampingnya. "Daripada lo sendirian di sini, mending lo ikut gue nonton basket di lapangan," ajaknya dengan antusias.
"Basket?" Calista mengangkat alis.
"Iya, Xavier hari ini tanding dengan kelas sebelah," jawab Citra mantap.
Calista terdiam. Sedari jam pertama tadi, Xavier tak terlihat di kelas. Ia sempat mengira cowok itu sakit, apalagi mengingat kemarin Xavier terjatuh dari motor.
"Tunggu....Xavier hari ini nggak masuk sekolah?" tanyanya heran.
Citra mendengus kecil. "Yaelah, Xavier mah udah biasa gitu. Bolos seenaknya, masuk sesuka hati." Ia tersenyum lebar sambil menepuk lengan Calista. "Ayo lah, masa lo betah sendiri terus?"
Calista menghela napas singkat, lalu mengangguk. "Ya udah, ayo."
Senyum Citra makin lebar. Ia segera menggandeng tangan Calista, mengajaknya berjalan menuju lapangan basket yang semakin riuh dengan sorokan.
Bola basket memantul cepat di lapangan, suara sepatu beradu dengan lantai kayu menambah riuh suasana. Keringat mengalir di pelipis Xavier, tapi matanya tetap fokus pada ring. Dengan lompatan ringan, ia berhasil memasukkan bola. Tepuk tangan kecil terdengar samar dari penonton, membuatnya spontan menoleh.
Di bangku penonton, Calista duduk dengan tenang dengan kedua tangannya bertumpu di pangkuan. Senyum tipis terukir di wajahnya saat pandangannya bertemu dengan Xavier.
"Seru kan?" bisik Citra di sampingnya.
"Iya, seru," jawab Calista singkat.
Namun... tiba-tiba perutnya terasa mual. Ia buru-buru menutup mulut dengan telapak tangan, sementara kepalanya mulai berdenyut. Barulah ia sadar, sudah lebih dari setengah jam ia duduk di bawah terik matahari, sesuatu yang seharusnya ia hindari.
Tanpa banyak bicara, Calista bangkit dan melangkah pergi.
"Calista, lo mau kemana?" teriak Citra.
"Toilet!" balas singkat Calista tanpa menoleh.
♡♡○♡♡
"Huek... huek..." Suara muntahan menggema di toilet. Calista duduk terlemas di lantai, tubuhnya lunglai sementara cairan bening terus keluar dari perutnya. Tangannya meremas kepala yang masih berdenyut hebat.
"Ya Tuhan..." desisnya lirih. Dengan gemetar, ia merogoh saku dan mengeluarkan obat, segera menelannya agar rasa sakit cepat mereda.
Sementara itu, pertandingan basket telah usai. Xavier menoleh ke arah bangku penonton tempat Calista duduk, tapi bangku itu kosong.
"Dimana tuh bocil..." gumamnya pelan sebelum hendak meninggalkan lapangan.
Namun langkahnya terhenti saat sebuah suara familiar memanggilnya.
"Xavier..."
Tanpa perlu menoleh, ia sudah tahu siapa pemilik suara itu.
"Xavier, ini untuk kamu," ucap Bianca sambil menyodorkan sebotol air mineral.
Xavier hanya melirik sekilas, lalu menatap Bianca dengan wajah datar. "Gue nggak butuh."
"Masa sih? Kamu habis tanding basket, pasti haus. Tenang saja, airnya nggak aku ngapa-ngapain kok," bujuk Bianca lagi, suaranya dibuat semanis mungkin.
Tatapan dingin Xavier tak berubah. Ia melangkah pergi tanpa menghiraukan.
"Arghh... sial! Gagal lagi... gagal lagi!" rutuk Bianca sambil menghentakkan kaki, wajahnya kesal sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.
♡♡○♡♡
Di sepanjang koridor, langkah Xavier terdengar mantap. Tatapannya menyapu setiap sudut, seolah sedang memburu sesuatu. Entah kenapa, firasat buruk terus mengusik pikirannya.
"Citra." suaranya datar namun dingin saat memanggil.
Citra yang masih berdiri di pinggir lapangan menoleh kaget. "A-ada apa?" tanyanya gugup, tubuhnya refleks menegang menghadapi aura Xavier yang terasa menekan.
"Calista di mana?" tatap Xavier menusuk, suaranya rendah tapi tegas.
Calista berkedip, mencoba mengumpulkan kata. "Calista... tadi waktu nonton basket, dia bilang mau ke toilet. Dari tadi gue nungguin, tapi dia belum balik juga."
Xavier terdiam beberapa detik. Rahangnya mengeras, lalu tanpa sepatah kata lagi ia berbalik dan pergi, meninggalkan Citra.
"Hhh..." Citra menghembuskan napas berat, merasa lega sekaligus merinding. "Aura Xavier... bikin gue kecekik udara, merinding nggak karuan." Namun sesaat kemudian, matanya membesar. "Tunggu, dia tadi... nyariin Calista?" senyum samar muncul di wajahnya, tapi segera menghilang ketika teringat sesuatu.
"Ya ampun, Calista belum balik dari toilet..." gumamnya panik. Tanpa pikir panjang, ia buru-buru berlari menyusul ke arah yang sama, takut sesuatu terjadi pada bocah itu.
•○•
Xavier menyusuri toilet wanita dengan langkah hati-hati. Namun Calista sama sekali tak terlihat. Hening, hanya suara tetesan air yang terdengar, membuat suasana terasa ganjil. Tatapannya bergerak dari satu pintu bilik ke pintu bilik lain, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan gadis itu.
Napasnya mulai terasa berat, dada kian sesak oleh rasa cemas yang datang tanpa diundang. Tangannya sempat menyentuh gagang pintu salah satu bilik, ragu untuk membuka. Pikirannya buruk berkelebat, membuat keningnya berkerut.
"Calista..." panggilnya pelan, nyaris tenggelam ditelan keheningan.
Tak ada jawaban.
Dengan gusar, Xavier akhirnya keluar. Lorong sekolah tampak sepi meski siang begitu terang. Cahaya matahari menembus kaca jendela, tapi entah mengapa udara terasa dingin, menekan. Bayangan tubuhnya sendiri di lantai seakan mengikuti langkah gusarnya, membuat perasaan tidak beres itu kian kuat.
"Xavier."
Refleks ia menoleh. Calista berdiri di belakangnya, menatap dengan wajah polos bercampur bingung.
"Kamu... ngapain di toilet cewek?" tanyanya, alisnya sedikit terangkat.
Xavier sempat salah tingkah. Mana mungkin ia mengaku kalau dia mencarinya. "Bukan urusan lo," jawabnya ketus. Namun matanya tak sengaja jatuh pada bibir Calista yang pucat. "Lo sakit?"
"Tadi iya, tapi sekarang udah nggak," jawab Calista dengan senyum tipis.
"Lo sakit apa?" tanyanya lagi, nada suaranya menurun.
"Cuma pusing aja," jawabnya Calista singkat. Ia jelas tak ingin mengungkapkan kondisi sebenarnya. "Oh iya, ini buat kamu." ia mengeluarkan sebotol air mineral dan menyodorkannya.
Xavier langsung meraih dan meneguk. Tenggorokannya memang terasa kering sejak tadi. "Thanks," ucapnya singkat.
"Sama-sama. Eh, kening kamu udah nggak apa-apa kan? Semalam lo mandi air hangat, kan?" tanya Calista, wajahnya penuh perhatian.
"Iya, bawel," sahut Xavier ketus lagi, lalu melangkah pergi. Calista tersenyum kecil dan ikut berjalan di sampingnya.
••
Dari kejauhan, Bianca memperhatikan interaksi keduanya. Matanya menyipit, terutama ketika melihat Xavier menerima air mineral dari tangan Calista tanpa ragu, bahkan meminumnya dengan cepat.
Berbeda jauh dengan dirinya, yang selalu di tolak mentah-mentah.
"Dasar sial..." gumamnya lirih. Tangannya mengepal. "Gadis polos itu menang lagi."