Hidden Desire

"Kepalaku pusing sekali." Mira mengeluh saat bangun tidur. Ia benar benar tidak ingat dengan apa yang terjadi semalam. Juga bagaimana caranya ia bisa berpindah dari ruang keluarga ke dalam kamar.

Mira berjalan gontai ke arah ruang keluarga. Karpet bulu putih di bawah sofa mewahnya terkena anggur, membuat mata Mira membelalak. Botol anggur sudah kosong, sedikit isinya menetes keluar dan membuat karpetnya terkena noda.

"Oh tidak!! Kenapa aku harus baper dan minum anggur sih??" Mira mengerutuki diri sendiri, seharusnya ia bisa menahan diri. Salahnya sampai karpet mewah itu ternoda oleh anggur.

"Aku harus ke bawah dan mencari cairan penghilang noda. Semoga saja bisa hilang." Mira menyukai karpet bulu yang mirip dengan bulu binatang itu. Ardan tak mengijinkannya memelihara kucing atau anjing, karpet bulu ini sangat nyaman seakan tengah memeluk anjing peliharaan.

.

.

Mira sudah berdandan cantik seperti biasanya, hari ini dia memadukan v neck blouse lengan panjang berwarna maroon dengan rok pensil ketat warna hitam. Sepatu heel runcing dan tas Chanel hitam melengkapi penampilannya. Rambut panjang ikal berkilauan menambah kesan cantik dan manis.

Hari itu hari sabtu, mall sangat ramai di akhir pekan. Apalagi sedang ada weekend sale dari beberapa brand yang cukup diminati oleh masyarakat, membuat mall berlipat kali jauh lebih ramai dan padat dari pada biasanya.

"Mallnya ramai sekali," keluh Mira yang harus antri panjang hanya untuk membayar sebotol cairan pembersih noda.

Setelah membayar, Mira bergegas menuju kembali ke apartemennya. Ia menekan tombol lift naik, saat pintu lift terbuka di dalamnya ada Raksa yang juga tengah menaiki lift menuju ke rooftop untuk mengambil senjatanya. Kebetulan juga jam istirahat siangnya baru saja di mulai.

Raksa terkejut melihat kedatangan Mira. Sebuah kebetulan, mereka bisa naik di dalam satu lift yang sama. Mira kenal dengan Raksa, dia adalah satpam yang mimisan kemarin.

"Apa masih sakit?" tanya Mira.

"Ya??" Raksa terkejut karena Mira mengajaknya bicara lebih dahulu.

"Kemarin hidungmu kena kepalakukan?" Mira menaruh tangannya di depan kening, gestur ringan untuk menegaskan maksud ucapannya.

"Ah ... itu ... ehm ... sudah tidak apa apa kok." Raksa mengangguk, itu mimisan bukan karena terantuk, tapi karena hal lainnya.

Pintu lift kembali terbuka, gelombang manusia masuk ke dalam lift, memenuhi lift sampai Mira terdesak ke belakang dan mentok ke tubuh Raksa. Lift langsung full, semua pengunjung berdesak desakan sampai lift berkapasitas lima belas orang itu penuh.

Raksa langsung berkeringat dingin tak kala ia berada sedekat ini dengan Mira. Mira terlihat tidak nyaman karena desakan dari depan dan ia terus mundur sampai mentok pada tubuh tinggi Raksa. Tangan Raksa refleks melingkar di pinggang Mira.

Mira berusaha menutupi dadanya dengan tas agar tidak tergencet oleh orang lain. Namun belahan dada itu justru terlihat dari atas, secara tubuh Raksa jauh lebih tinggi dari Mira meski pun gadis itu memakai high heels.

Raksa menelan ludahnya saat ia melihat benda putih mulus nan kenyal itu dengan jelas dari kerah V neck blouse.

Godaan di bawah sana lebih mengerikan lagi, pantat sekal Mira menempel erat pada adik kecilnya. Membuat Raksa semakin tidak bisa menahan diri untuk tidak berkeringat.

Shit!! Shit!! Bagaimana ini?? Pasti akan berdiri!! jerit Raksa dalam hatinya.

Berada di dalam lift sesak itu membuat hasrat Raksa semakin tidak terbendung lagi. Dan bila adik kecilnya on, sudah pasti Mira akan merasakan tusukan tajam di bagian pantat. Apalagi rok Mira adalah model rok pensil yang melekat ketat mengikuti bentuk tubuh.

Raksa meremas erat erat tangannya sendiri, berusaha untuk tidak tergoda, berusaha untuk tidak berdiri meski pantat Mira menggesek burung pejantan miliknya.

Ting ... Lift terbuka dan semua orang keluar ke lantai foodcourt. Mira langsung maju ke depan, Raksa bisa bernapas lega kembali. Benar benar semenit yang berasa tahunan.

Wajah Raksa memerah, ia bergegas keluar juga meski belum sampai ke rooftop. Mira mengangguk sebagai wujud perpisahan. Raksa mengangguk balik, wajah cantik yang polos itu tidak tahu betapa tersiksanya Raksa di dalam Lift karena dirinya. Malah senyam senyum tak berdosa lagi, bikin gemes.

Mira kembali ke kamar apartemennya sementara Raksa masih menghapus keringat dingin di wajahnya yang tampan.

......................

Villa di distrik Osmantus.

Tiara sedang sibuk mencetak banyak alamat. Alamat alamat dari panti asuhan, dinas sosial, dan juga bagan amal lain yang tergolong bersih dan kekurangan. Satu alamat mendapatkan uang sejumlah seratus juta yang rencananya akan di kirim lewat jasa paket.

Raksa baru saja pulang setelah bekerja, wajahnya kusut seperti kertas gorengan lepek.

"Kenapa, Kak?" Tiara khawatir melihat Raksa lemas seakan nyawanya terhisap keluar.

"Seharian ini kakak bekerja sebagai apa sih?? Satpam atau kuli pasar?? Kok sepertinya kelelahan sekali?"

Raksa bergeleng, seperti biasa ia tak mau menjawab karena hal ini merupakan aib baginya. Raksa bergegas menuju ke kamar dan membanting diri di atas ranjang empuknya. Sepertinya malam ini dia juga akan butuh sabun batangan lagi.

"Kenapa akhir akhir ini sabunnya cepat habis well..." Delfi berseru pada Galih.

"Kak Raksa yang pakai, bukan aku, akhir akhir ini mandinya lama banget," jawab Galih.

"Kak Raksa??" Wajah mereka semua memerah sambil menoleh ke arah Raksa yang masih pw di atas ranjang.

"Apa jangan jangan Kak Raksa punya pacar??" Tiara berbisik.

"Aku lebih baik percaya buaya tidak makan daging dari pada mengatakan Kak Raksa punya pacar. Masa iya orang dingin, kaku, kolot, alot kek dendeng sapi baru dijemur itu bisa jatuh cinta dan punya pacar." Galih bergeleng, merasa tidak setuju begitu pula dengan Delfi.

Lantas apa yang membuatnya begitu galau sampai susah makan susah tidur??

"Ah ... aku tahu!! Mungkin Kak Raksa sembelit!! Susah BAB." usul Delfi yang disambut tawa oleh ketiganya.

......................