Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadilah milikku seutuhnya
"Pakai itu malam ini!"
Perintah itu menggema di dapur yang tiba-tiba terasa terlalu besar. Tangan Naya yang tadi terulur untuk memeriksa dahi Arjuna, kini terkepal di depan dadanya. Panci di atas kompor, kini benar-benar terlupakan.
Kebingungan Naya bertabrakan dengan rasa malu yang baru saja reda.
'Wajah Mas Arjuna sangat merah.'
Dia mengira pria itu sakit, tertular demamnya. Tapi sentakan kasar dan bentakan itu, Naya sadar, ia salah besar. Itu bukan demam. Itu sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuatnya—seorang Arjuna yang angkuh—terlihat salah tingkah.
Pikirannya langsung tertuju pada kantong-kantong kertas di atas meja makan.
Naya menelan ludah, tangannya yang gemetar meraih kembali benda merah menyala yang tadi dijatuhkannya. Renda tipis dan tali-temali yang rumit. Jantungnya berdebar tidak karuan.
Maksudnya... suaminya ingin dia memakai ini? Malam ini?
Sebuah pikiran lugu pun melintas. 'Apa Mas Arjuna ingin haknya?'
Naya langsung menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan pikiran itu. Rasa panas yang berbeda menjalar di pipinya. Ini mustahil.
Ini adalah pria yang sama yang menatapnya dengan jijik. Pria yang di hari pertama pernikahan mereka mengatakan bahwa menyentuhnya adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan. Pria yang bahkan tidak sudi tidur satu ranjang dengannya.
‘Bukankah Mas Arjuna jijik jika aku sentuh?’ batinnya pilu.
Lalu, apa maksud semua ini? Apakah ini bentuk hukuman baru? Cara lain untuk mempermalukannya?
Naya menatap tumpukan kantong itu. Ada setidaknya sepuluh kotak di dalamnya. Dia tidak bisa membayangkan berapa harga semua ini.
Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan logikanya. Apa pun alasannya, pria itu kini ada di dalam kamar. Dan dia belum makan.
Tak ingin buang waktu, ia segera mematikan kompor. Dengan cekatan, ia menata makan malam yang sudah ia siapkan di atas meja—sup ayam hangat, tumis sayuran, dan beberapa potong ayam goreng.
Aromanya menguar, setidaknya membuat suasana sedikit lebih normal.
Setelah meja tertata, Naya berjalan menuju kamar utama. Kamar Arjuna. Tangannya terangkat, ragu-ragu. Dia menarik napas, lalu mengetuk pelan.
"Mas..." panggilnya lembut. "Makan malamnya sudah siap."
Tidak ada jawaban sesaat. Naya hendak mengetuk lagi ketika pintu itu tiba-tiba terbuka.
Dan semua udara di paru-paru Naya seolah tersedot habis.
Arjuna berdiri di ambang pintu. Dia baru selesai mandi.
Satu-satunya yang menutupi tubuhnya adalah handuk putih bersih yang melilit rendah di pinggangnya, tergantung dengan sangat berbahaya. Rambutnya yang hitam legam masih basah, meneteskan air ke bahu dan dadanya yang bidang. Tetesan air itu mengalir turun, melewati otot perutnya yang kencang, sebelum menghilang di balik lilitan handuk.
Penampilannya sangat seksi.
Naya memekik pelan dan segera memalingkan wajahnya, menatap dinding koridor di sebelahnya. Wajahnya terasa seperti terbakar.
"Maaf!" ucapnya cepat. "M-makan malamnya sudah di meja. S-saya tunggu di ruang makan."
Naya hampir berbalik untuk lari, tapi sebuah keraguan menahannya. Dia masih menatap dinding saat berkata, "Tapi... kalau Mas tidak suka masakanku, Mas bisa pesan dari luar. Tidak apa-apa, Mas. Saya mengerti."
Hening. Naya bisa merasakan tatapan pria itu padanya, yang membuatnya semakin gugup.
"Aku makan apa yang kamu masak," suara Arjuna terdengar, lebih dalam dan serak dari biasanya. "Beri aku lima menit."
Pintu tertutup. Naya akhirnya bisa bernapas. Dia bergegas ke meja makan, jantungnya berdebar seperti habis lari maraton.
Benar saja, lima menit kemudian, Arjuna muncul. Dia sudah berpakaian, untungnya. Kaus oblong abu-abu polos dan celana pendek selutut berwarna hitam. Pakaian santai yang di tubuhnya tetap terlihat seperti pakaian mahal.
Dia duduk di seberang Naya.
Meja makan itu terasa sangat panjang. Mereka mulai makan dalam keheningan. Hanya ada denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.
Naya gugup setengah mati. Dia ingin sekali bertanya mengenai pakaian dalam itu. Dia harus tahu apa maksud suaminya. Jika dia memang menginginkan "hak"-nya, Naya... Naya tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
Dia memberanikan diri mengangkat wajahnya. Arjuna sedang makan dengan tenang, seolah adegan handuk tadi tidak pernah terjadi.
"Mas..." Naya memulai, suaranya nyaris berbisik. "Soal... soal yang di kantong tadi..."
Arjuna berhenti mengunyah. Dia tidak mengangkat kepalanya, tapi gerakannya terhenti.
"Kamu tidak perlu memakainya kalau tidak mau," katanya datar, lalu kembali melanjutkan makannya.
Naya mengerjap. Dia menatap suaminya lekat-lekat.
Mulut Arjuna bilang tidak perlu. Tapi seluruh bahasa tubuhnya, wajahnya yang kaku itu, seolah berteriak sebaliknya. Dia berharap Naya memakainya.
Naya tidak berkata apa-apa lagi.
Setelah makan malam selesai, Arjuna langsung berdiri. "Aku ada beberapa berkas yang harus diperiksa," katanya singkat, lalu menghilang ke ruang kerjanya.
Naya ditinggal sendirian dengan piring-piring kotor dan pikirannya yang semakin kacau.
Pria itu menginginkannya.
Entah keberanian dari mana yang merasukinya, Naya mengeringkan tangannya. Dia berjalan, bukan ke kamar tamu, tapi ke kamar utama.
Dia masuk ke dalam kamar tidur yang megah itu. Kantong-kantong kertas itu masih tergeletak di lantai dekat pintu lemari.
Dengan jantung berdebar, Naya membukanya satu per satu. Wajahnya memerah karena malu. Sutra, satin, renda. Hitam, merah marun, biru tua. Semuanya sangat tipis, sangat terbuka.
"Seperti saringan tahu," gumamnya pada diri sendiri, merasa ngeri sekaligus penasaran.
Dia tidak pernah memakai sesuatu yang seperti ini seumur hidupnya. Dia mengambil satu set. Sebuah kimono tidur pendek dari sutra hitam yang lembut, dan pakaian dalam yang serasi di baliknya.
Dia memeluk pakaian itu ke dadanya, lalu melangkah masuk ke kamar mandi besar di dalam kamar itu.
Naya menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat, tapi matanya menyiratkan tekad. Dia menyalakan shower dan mandi dengan cepat, berusaha membersihkan sisa gugupnya.
Setelah kering, tangannya yang gemetar perlahan mengenakan set pakaian itu. Kain sutranya terasa dingin dan licin di kulitnya, membuatnya meremang. Kimono itu nyaris tidak menutupi apa pun.
Dia menatap pantulan dirinya lagi. Dia hampir tidak mengenali wanita di cermin itu.
Naya menarik napas dalam-dalam. Dia mematikan lampu kamar mandi, hanya menyisakan cahaya remang dari lampu tidur di kamar utama. Dia membuka pintu pelan-pelan, bersiap untuk duduk di sofa dan menunggu suaminya selesai bekerja.
Namun, dia terkesiap kaget saat keluar.
Arjuna sudah ada di sana.
Dia tidak sedang di ruang kerja. Dia sudah ada di atas ranjang, bersandar santai di kepala ranjang dengan laptop di sampingnya yang jelas-jelas diabaikan.
Dan dia sedang menatap Naya.
Naya langsung membeku. Semua keberaniannya menguap. Refleks, kedua tangannya menyilang di depan dada, berusaha menutupi apa pun yang bisa ditutupi—yang sebenarnya sia-sia.
"Mas... S-Saya kira... Mas masih kerja," ucapnya gagap. Rasanya dia ingin lari kembali ke kamar mandi dan mengunci diri.
Arjuna tidak berkata apa-apa. Matanya yang tajam menelusurinya dari ujung rambut sampai ujung kaki, membuat setiap jengkal kulit Naya terasa panas.
Lalu, pria itu menyingkirkan laptopnya dan beranjak dari ranjang.
Dia berjalan pelan menghampiri Naya, seperti predator yang mendekati mangsanya. Naya ingin mundur, tapi kakinya seolah terpaku di lantai.
Ketika Arjuna berdiri tepat di depannya, Naya harus mendongak untuk melihat wajahnya.
"Jangan," bisik Arjuna, suaranya serak.
Pria itu mengulurkan tangan, bukan untuk menyentuh tubuhnya, tapi untuk menarik kedua pergelangan tangan Naya yang menutupi dadanya. Dia menariknya pelan tapi tegas, menurunkannya ke sisi tubuh Naya.
Mata Arjuna terpaku pada apa yang ada di depannya. Naya gemetar hebat, antara malu dan takut.
"Kamu... cantik," gumam Arjuna, pengakuan itu terdengar berat, seolah dipaksa keluar dari tenggorokannya.
Arjuna menundukkan kepalanya, tapi bukan untuk mencium bibir Naya. Dia menelusuri rahang Naya dengan ibu jarinya, lalu menyusuri tulang selangkanya dengan sentuhan ringan yang membuat Naya merinding.
"Mas..." bisik Naya, hampir menangis karena campuran getaran yang tidak dia pahami.
Dengan satu gerakan yang mengejutkan Naya, Arjuna menyelipkan satu lengan di bawah lututnya dan satu lagi di punggungnya, mengangkatnya seolah Naya tak berbobot sama sekali.
Naya memekik, refleks mengalungkan lengannya di leher pria itu.
Arjuna membawanya ke ranjang dan membaringkannya di tengah-tengah seprai sutra yang dingin itu. Dia tidak langsung menindihnya. Dia menopang tubuhnya dengan kedua lengan kokoh di kedua sisi kepala Naya. Arjuna mengukungnya.
Napas mereka beradu. Naya bisa melihat tatapan Arjuna dari dekat. Tatapan dingin yang biasa ia lihat sudah lenyap total. Yang tersisa hanyalah api yang kelam, gairah yang tidak ditutup-tutupi, dan hasrat yang siap meledak.
"Malam ini, lupakan siapa aku. Lupakan siapa kamu. Lupakan pernikahan ini."
Dia mendekatkan bibirnya, napasnya yang panas menerpa telinga Naya, membuat seluruh tubuh wanita itu kaku.
"Jadilah milikku seutuhnya, Kanaya."
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin