kinandayu gadis cantik tapi tomboy terlihat semaunya dan jutek..tp ketika sdh kenal dekat dia adalah gadis yang caring sm semua teman2 nya dan sangat menyayangi keluarga nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happy fit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 15- dalam sunyi yang hangat
Udara pegunungan terasa segar begitu bus besar yang membawa rombongan siswa SMA Harapan Bangsa berhenti di pelataran luas yang dikelilingi pepohonan pinus tinggi. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah lembap dan rumput basah yang khas. Di kejauhan, kabut tipis menyelimuti puncak gunung, membuat suasana terasa seperti latar film romantis yang disponsori udara sejuk dan suara jangkrik.
“Waaah, adem banget!” seru Maya sambil menengadahkan wajah. “Kayak AC alami, gratis, gak perlu bayar listrik.”
Kinan tersenyum lebar, menurunkan tas ransel besarnya. Rambutnya dikepang satu sisi hari ini—praktis tapi tetap manis, dengan beberapa helai kecil terlepas di depan telinga, memberi kesan santai. Di luar seragam olahraga abu-putihnya, dia mengenakan sweater hijau sage yang sedikit kebesaran, membuat kulit putihnya terlihat makin kontras dan lembut.
“Kalau tiap hari belajar di tempat kayak gini, nilai Biologiku pasti naik,” kata Kinan sambil menatap sekitar.
Andi yang lewat langsung nyeletuk, “Iya, naik… tapi gara-gara oksigen kebanyakan, bukan otak makin pinter.”
“Eh, gak masalah. Yang penting sehat dulu. Otak butuh oksigen, bukan drama,” jawab Kinan cepat, disambut tawa teman-teman satu kelompoknya.
Guru pendamping mulai memberi instruksi pembagian tenda. “Anak-anak, cowok di sebelah kanan, cewek di kiri, jangan tukeran ya! Dan jangan ada yang naik ke area hutan sendirian, paham?”
“PAHAAM!” teriak semuanya kompak… kecuali Kinan, yang sibuk memindahkan sleeping bag sambil ngomel kecil, “Kenapa tenda cewek jauh banget dari toilet sih…”
Maya membantu membentangkan alas tenda, sementara Kinan mencoba memasang tiang tengah. Tapi, hasilnya malah tiangnya miring dan hampir roboh.
“Kinan! Itu mau bikin tenda atau mau pasang antena TV analog?” protes Maya.
Kinan pura-pura serius. “May, aku tuh sengaja bikin miring, biar kalau tidur miring, bisa nyatu dengan tendanya.”
“Ya Tuhan, logikamu kayak ranting bengkok,” sahut Maya sambil ngakak.
Dari seberang area, Danu memperhatikan sambil senyum tipis. Rambut hitamnya sedikit berantakan diterpa angin, tapi justru bikin makin keren. Dia memakai jaket biru navy di atas kaus putih, dan celana training hitam. Meski dari jauh, matanya beberapa kali secara refleks mencari sosok Kinan—dan selalu berhenti di sana. Entah kenapa, cewek itu kayak magnet yang nyeret fokusnya tanpa izin.
“Eh, liatin siapa tuh, Nu,” goda salah satu temannya, Dito, yang baru selesai masang tenda.
“Siapa?” Danu pura-pura gak paham.
“Yang sweater hijau sage, yang tadi hampir ditimpa tiang tenda.”
“Biasa aja,” jawab Danu datar, tapi kupingnya udah merah dikit.
Setelah semua tenda berdiri dengan (agak) stabil, kegiatan sore dimulai. Beberapa kelompok ditugaskan mencari ranting kering untuk api unggun. Kinan, yang terlalu semangat, langsung angkat tangan, “Saya ikut, Pak!”
Maya mendesah. “Kin, kamu tuh gak bisa diem ya?”
“Enggak bisa. Aku takut jadi jamur kalau kelamaan duduk.”
Akhirnya, Kinan bergabung dengan kelompok pencari ranting. Rafi, ketua OSIS, ikut di tim yang sama. Cowok itu selalu tampil rapi—jaket hitam polos, rambut disisir ke samping, tatapannya kalem tapi tegas. Sejak beberapa waktu terakhir, dia makin sering mendekati Kinan. Bukan cuma ngajak ngobrol, tapi juga mulai perhatian-perhatian kecil yang bikin Maya sering melirik curiga.
“Ati-ati ya, Kinan. Jalannya agak licin,” ujar Rafi ketika mereka mulai masuk ke jalur kecil di pinggiran hutan.
Kinan menoleh, tersenyum. “Tenang, aku udah biasa jatuh. Hidup aja kadang bikin kepeleset.”
Rafi tertawa kecil. “Kamu tuh ya… ngomongnya random tapi nyantol.”
Sementara itu, Danu di sisi lain ikut bantu bikin area api unggun. Tapi pikirannya gak tenang. Tatapannya terus ke arah jalur yang dilalui kelompok pencari ranting. Entah kenapa, ada perasaan gak enak yang gak bisa dijelaskan.
Beberapa menit kemudian, kelompok itu mulai kembali. Tapi satu orang belum kelihatan.
Guru pembimbing bertanya, “Itu, Kinan mana?”
Rafi langsung noleh cepat. “Tadi dia di belakang saya. Mungkin ke arah sungai kecil yang tadi kita lewatin.”
Wajahnya tegang. Tanpa pikir panjang, dia mau nyusul. Tapi Danu yang lebih dulu bergerak. “Biar aku cari, Pak. Aku hafal jalurnya.”
Guru cuma mengangguk. “Baik, tapi jangan jauh-jauh.”
Danu segera berlari menyusuri jalur tanah yang sedikit menurun, napasnya berpacu dengan rasa khawatir. Udara mulai dingin, matahari pelan-pelan turun di balik kabut tipis. Suara burung dan serangga terdengar bersahutan di antara pepohonan tinggi.
Beberapa menit kemudian, dia melihat sosok Kinan di pinggir sungai kecil, jongkok sambil mencoba menggapai ranting yang jatuh ke air.
“Kinan!” panggil Danu dengan nada setengah lega, setengah kesal.
Cewek itu langsung menoleh. “Danu? Eh, aku cuma mau ambil ranting bagus, nih…”
“Bagus apanya?! Kamu tau gak tadi semua panik nyariin kamu!”
Kinan berdiri, salah langkah, dan hampir terpeleset. Refleks, Danu langsung menangkapnya. Dalam sekejap, Kinan sudah dalam pelukannya. Jantung mereka sama-sama berdetak cepat.
“Eh… makasih,” bisik Kinan pelan, pipinya memanas.
Danu menatapnya lama, suaranya lembut tapi dalam. “Kamu tuh, selalu bikin orang deg-degan.”
“Deg-degan karena kesel atau karena sayang?” celetuk Kinan tanpa sadar, lalu buru-buru nutup mulut.
Danu terkekeh kecil. “Mungkin dua-duanya.”
Beberapa detik hening. Angin berhembus membawa daun-daun kering, air sungai mengalir pelan. Lalu dari kejauhan, suara langkah terdengar. Rafi muncul, napasnya memburu. Dan pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Danu memeluk Kinan.
Matanya langsung berubah tajam. “Kinan, kamu gak apa-apa?”
Kinan langsung menjauh dari Danu, canggung. “Aku gak papa, kok. Tadi cuma kepleset dikit.”
Rafi menatap Danu sebentar, lalu berbalik ke arah Kinan. “Lain kali jangan jalan sendirian. Aku udah bilang kan?”
Nada suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya. Danu menatap balik, tak menjawab, tapi dari ekspresinya jelas — ada sesuatu yang mulai menegang di antara mereka.
Malamnya, suasana api unggun seharusnya hangat dan penuh tawa. Tapi di sisi tenda Kinan, gosip sudah mulai beredar. Beberapa cewek, termasuk Nadia — siswi cantik yang terang-terangan suka Rafi — sengaja bersuara keras.
“Kinan tuh pinter banget ya… sampai cari perhatian ke dua cowok sekaligus,” sindir Nadia sambil pura-pura ketawa.
Kinan menoleh, berusaha santai. “Maksud kamu?”
“Oh enggak kok. Cuma kasian aja, Danu dan Rafi pasti bingung milih yang mana. Yang satu bikin tenda miring, yang satu nyasar di hutan.”
Maya langsung pasang muka galak. “Nad, mulutmu tuh kayak speaker rusak, suaranya nyaring tapi isinya noise.”
Tapi Kinan menepuk bahu Maya, menahan. “Udah, May. Biarin aja. Aku gak punya waktu buat kompetisi yang hadiahnya cuma salah paham.”
Meski berkata ringan, ada sedikit luka di balik senyumnya. Malam itu, saat semua tertawa di sekitar api unggun, Kinan hanya menatap bara api yang menyala pelan. Dari kejauhan, Danu memperhatikan. Begitu juga Rafi — tapi dari sisi lain, dengan ekspresi yang sama-sama rumit.
Dan entah siapa yang sadar duluan, sejak malam itu… suasana camping yang seharusnya jadi kenangan manis, mulai berubah jadi awal dari badai kecil yang pelan-pelan mendekat.
To be continued