Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 34
Wajah Dila terlihat murung ketika mendapati, untuk kesekian kalinya, hasil tespek yang ia lakukan kembali menunjukkan satu garis. Negatif—lagi. Tangannya gemetar saat memandang alat kecil itu. Meski sudah beberapa bulan sejak kegugurannya, luka itu ternyata belum betul-betul sembuh. Ia sudah mengikuti semua prosedur pemulihan, minum vitamin, menjaga pola makan, hingga menghindari stres. Tapi tetap saja… hasil yang ia tunggu tak juga muncul.
Di depan pintu kamar mandi, Bu Liana menunggu dengan wajah cemas. Beliau sudah menginap dua hari di rumah itu karena merasa Dila butuh teman dan dukungan.
“Bagaimana, Nak?” tanya Bu Liana pelan, seolah tak ingin menyakiti hati menantunya dengan nada yang terlalu keras.
Dila menarik napas panjang sebelum menunjukkan tespek itu. “Masih negatif, Bu…” suaranya pecah di akhir kalimat.
Raut kecewa jelas terpahat di wajah perempuan itu. Bu Liana langsung meraih bahunya, menuntunnya ke tempat tidur.
“Kamu sabar ya, Nak. Kita tidak pernah tahu kapan Tuhan memberikan lagi. Kadang butuh waktu,” ujar Bu Liana lembut, mengusap lengan Dila dengan pelan.
Dila menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang mulai mendesak keluar. Namun perkataan yang selama ini ia tahan akhirnya lolos juga.
“Tapi kapan, Bu?” napasnya bergetar. “Aku takut, aku benar-benar takut kalau Mas Arga sampai berpaling dari aku hanya karena aku belum bisa hamil lagi.”
Ucapan itu membuat Bu Liana terdiam sejenak. Hatinya ikut nyeri. Ia tahu tekanan yang Dila rasakan bukan hanya dari diri sendiri, tapi juga dari keluarga besar Arga, dan harapan-harapan yang terus menumpuk.
Bu Liana memegang kedua pipi Dila, menatapnya langsung. “Dila, Nak… kamu dengar Mama baik-baik ya.” Suaranya berubah lebih tegas namun tetap hangat. “Arga itu mencintaimu. Ia menikah denganmu bukan hanya karena ingin punya anak. Kamu istrinya. Kamu pasangan hidupnya. Satu tespek tidak akan mengubah perasaan dia.”
“Tapi aku sudah mengecewakan semua orang.” Dila terisak kecil.
“Tidak.” Bu Liana menggeleng sambil mengusap air mata di pipi Dila. “Kamu bukan mesin yang hanya dinilai dari bisa tidaknya kamu hamil. Kamu manusia, Dila. Kamu sudah berusaha. Kamu menjaga diri. Kamu menjalani semua proses dengan sabar. Itu sudah lebih dari cukup.”
Dila menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku cuma, takut tidak bisa memberi Mas Arga apa yang dia inginkan.”
Bu Liana meraih tangan Dila, menggenggamnya erat. “Kalau Arga tahu kamu sesedih ini, dia yang akan merasa bersalah. Anak itu sayang sekali sama kamu, Nak. Kamu jangan menyiksa dirimu sendiri. Kadang Tuhan memberikan hal di waktu yang tepat. Kadang bukan sekarang. Tapi itu bukan berarti kamu gagal.”
(🤮 Pas nyakitin Lara nggak mikir kau, ngiliran anak kau yang nggak hamil2 bijak pulak kau berkata-kata. Maaf pemirsa, author ngedek ama nih Tante2 sok bijak.)
Dila mulai terisak lebih keras. Bu Liana menarik tubuhnya, memeluknya erat Dila.
****
“Morning, sayang… Morning, Ma,” sapa Liam sambil melangkah masuk ke dapur. Rambutnya masih sedikit berantakan, tanda ia baru bangun, tetapi senyum mengantuknya membuat suasana pagi terasa lebih hangat.
“Pagi juga, sayang,” jawab Lara tanpa menoleh, karena ia sedang sibuk membalik omelet di wajan.
“Morning, ma chérie,” balas Madame Dayana sambil tersenyum cerah. Ia sedang mengiris buah, dan seperti biasa, menggunakan pisau seolah itu alat seni. Irisannya rapi seperti potongan restoran hotel bintang lima.
Liam mendekat, memeluk Lara dari belakang tanpa peduli ia sedang memasak. “Ini aroma apa? Kamu memasak sesuatu yang nikmat lagi?”
Lara tertawa kecil. “Kalau kamu begini, omeletnya bisa gosong.”
“Tidak apa-apa. Yang gosong tetap akan kumakan kalau itu buatan istriku,” jawab Liam sambil mencium pipinya.
Madame Dayana tertawa geli. “Liam, lepaskan dulu istrimu. Dia sedang bekerja keras di dapur, bukan sedang membuat film romantis.”
Liam mengangkat kedua tangannya, pura-pura menyerah. “Baik, baik. Tapi aku tetap mau mencicipi duluan.”
Lara menoleh sekilas sambil menyempilkan senyum. “Kamu sabar sebentar, ya. Lima menit lagi matang.”
Setelah omelette yang matang, Liam langsung mengambil piring.
“Awas dulu!” Lara menahan tangannya. “Sarapan belum lengkap. Masih ada roti dan jus.”
Liam memasang ekspresi dramatis. “Astaga, istri dan ibuku bekerja sama untuk membuatku tambah gemuk.”
“Itu namanya well-fed,” sahut Madame Dayana sambil meletakkan roti panggang. “Pria yang makan dengan baik itu tanda dia dicintai.”
“Aku sangat dicintai berarti,” ujar Liam bangga.
Lara meletakkan jus jeruk di meja lalu duduk di samping Liam. “Kalau kamu terus begini, nanti celana kerja kamu tidak muat.”
Liam pura-pura terkejut. “Kalau begitu… aku harus beli celana baru.”
“Tentu saja,” celetuk Madame Dayana. “Dan Lara berhak memilihkan modelnya.”
Lara tertawa sampai bahunya ikut bergerak. “Jangan-jangan nanti aku pilih celana yang sangat ketat biar kamu sadar.”
“Oh, aku justru menantangmu,” Liam memamerkan ekspresi nakal.
Madame Dayana menggeleng sambil menyicipi omelet. “Kalian ini… sarapan pagi seperti sitkom setiap hari. Mama tidak bosan melihatnya.”
Lara menoleh ke mertuanya. “Mama senang?”
“Mama sangat senang, Sayang,” jawab Madame Dayana dengan mata yang hangat. “Tentu saja mama senang."
Lara merasakan dadanya menghangat. Ada sesuatu tentang kebersamaan itu, pagi yang cerah, aroma roti panggang, saling menggoda, tawa yang ringan, semuanya terasa seperti lembar baru yang lebih tenang dalam hidupnya.
Liam menyentuh jemari Lara di bawah meja secara diam-diam. “Aku suka pagi seperti ini.”
Lara tersenyum lembut. “Aku juga.”
Madame Dayana menepuk tangan mereka berdua. “Kalau selesai sarapan, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Mama ingin lihat suasana sekitar. Katanya di dekat sini banyak cafe lucu.”
Lara mengangguk cepat. “Tentu, Ma. Aku sudah cari beberapa tempat yang Mama pasti suka.”
Liam yang sejak tadi memperhatikan mereka menutup tas kerjanya pelan. “Maaf sayang, aku tidak bisa ikut. Hari ini aku ada pertemuan dengan klien untuk membahas konsep bangunan yang mereka inginkan.”
Lara mengangguk mengerti. “Tidak apa-apa, sayang. Kerjakan saja yang perlu kamu kerjakan.”
Lara mendekat sedikit, merapikan kerah kemeja Liam dengan gerakan spontan. “Semoga lancar, ya,” ucapnya lembut.
"Terima kasih sayang.." ucap Liam lalu mengambil tangan istrinya dan menciumnya lembut.
CUMA MENTOK DISITU DOANG, GUE JAMIN SIH YANG BACA NYA UDAH BORING DULUAN
jd malas bacanya