Vanya sengaja menyamar menjadi sekretaris yang culun di perusahaan milik pria yang dijodohkan dengannya, Ethan. Dia berniat membuat Ethan tidak menyukainya karena dia tidak ingin menikah dan juga banyaknya rumor buruk yang beredar, termasuk bahwa Ethan Impoten. Tapi ....
"Wah, ternyata bisa berdiri."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
"Rasa kram memang normal terjadi saat awal kehamilan. Apalagi usia kandungannya masih sangat muda," jelas Dokter Mutia dengan suara menenangkan, sambil menggerakkan alat USG di perut Vanya. "Lihat, kantung janinnya sudah terlihat. Usianya sudah mencapai lima minggu. Masih sangat awal dan detak jantung masih belum terdengar jelas. Tapi perkembangannya normal."
Ethan terus menggenggam tangan Vanya, matanya terpaku pada layar monitor di depannya. Di sana, titik hitam kecil yang disebut Dokter sebagai kantung janin terlihat samar. Dia tersenyum lega, air mata kebahagiaan nyaris menetes di sudut matanya. Semua rasa mual dan pusingnya seolah dibayar lunas oleh pemandangan kecil itu.
"Calon anak kita sudah terlihat," bisik Ethan lirih pada Vanya, suaranya dipenuhi rasa takjub dan cinta. Rasa tanggung jawab yang dia rasakan kini berubah menjadi kebahagiaan yang meluap.
"Harus sangat hati-hati karena kandungannya masih cukup lemah. Sudah berapa kali merasakan kram?" tanya Dokter Mutia, menghentikan pemeriksaannya.
"Baru sekali ini, Dok," jawab Vanya. Ethan dengan sigap membantu Vanya merapikan bajunya.
"Tidak apa-apa," Dokter Mutia tersenyum lembut. "Hanya saja, ada satu hal yang penting. Untuk sementara, saya sarankan untuk tidak berhubungan intim dulu selama trimester pertama. Sekitar dua hingga tiga bulan ke depan. Ini untuk menghindari risiko kram terus berlanjut dan mengganggu kehamilan."
Vanya menatap Ethan, matanya menunjukkan ekspresi geli dan puas. Dia tahu persis apa yang ada di pikiran Ethan saat ini.
"Selama itu, Dok?" tanya Ethan, nadanya terdengar seperti seorang CEO yang baru saja mendapat penolakan kontrak besar. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang kentara, membuat Vanya harus menahan tawa.
"Iya, sabar ya, Pak Ethan," Dokter Mutia tertawa kecil. "Sembilan bulan memang berat bagi Ibu, tapi bagi Ayah juga butuh pengorbanan ekstra." Dokter itu kembali duduk di kursinya dan menulis resep serta hasil pemeriksaan. "Jika tidak ada keluhan lain, kembali satu bulan lagi. Jangan lupa vitaminnya diminum secara teratur, jangan terlalu stres, dan banyak istirahat."
"Baik, Dokter," Vanya mengambil lembar hasil USG yang baru saja diberikan. Dia menatap titik kecil itu dengan penuh kasih sayang. Rasa takutnya kini telah tergantikan oleh rasa takjub yang mendalam.
Ethan mencondongkan tubuhnya, berbisik di telinga Vanya. "Sekarang sudah tidak takut lagi kan?" Satu tangannya semakin mengeratkan genggaman pada tangan Vanya.
Vanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Dia tidak menyangka hidup yang awalnya penuh sandiwara akan berubah menjadi kenyataan seindah ini.
"Terima kasih banyak, Dokter." Setelah semua selesai, mereka berdua keluar dari ruang pemeriksaan.
Di depan ruang pemeriksaan itu tenyata sudah ada Bu Clara, Bu Ella, dan juga Pak Bima.
"Vanya, apa yang terjadi? Kamu tidak apa-apa kan? Kandungan kamu juga tidak apa-apa kan?" tanya Bu Ella sambil mendekati Vanya.
Vanya terkejut melihat kedua orang tuanya yang datang menemuinya. Dia belum menceritakan yang sebenarnya pada Ethan. Apa Ethan akan marah setelah tahu selama ini dia telah membohonginya.
"Pak Bima?" tanya Ethan tak mengerti. "Mengapa Anda di sini."
"Vanya, putri saya."
Seketika Ethan menatap Vanya. "Vanya? Bagaimana bisa? Jadi selama ini kamu membohongiku? Kalian semua juga?"
Ethan melepaskan rengkuhannya pada Vanya. Dia berjalankan pergi. Perasaannya sangat sensitif ditambah masalah ini semakin sensitif.
"Mama dan Papa mengapa ke sini juga? Aku belum bilang sama Ethan. Pasti dia marah." Vanya melihat Ethan yang berjalan pergi seorang diri.
"Mama dan Papa khawatir sama kamu. Kam takut terjadi apa-apa sama kamu karena katanya perut kamu sakit," kata Bu Ella.
"Biar aku jelaskan. Jangan ikut campur dulu." Vanya menyusul langkah Ethan. "Pak Ethan! Tunggu!"
Ethan akhirnya berhenti dan menoleh Vanya. Dia tidak ingin Vanya berlari mengejarnya. "Jangan jalan cepat-cepat." Akhirnya dia menggandeng tangan Vanya dan mengajaknya duduk di dekat taman rumah sakit.
Vanya menarik napas panjang untuk menenangkan detak jantungnya. Kemudian dia menatap Ethan. "Maaf, aku sudah bohong karena awalnya aku memang menolak perjodohan kita. Aku menyamar jadi sekretaris untuk membuat Pak Ethan kesal, dan segera membatalkan perjodohan. Sejak awal, aku memang tidak punya keinginan untuk menikah. Bukan karena aku tidak suka sama Pak Ethan atau aku punya pacar. Aku cuma ingin bermalasan dan bersantai di rumah sambil nonton drakor. Tapi Papa malah menyuruhku bekerja dan menikah."
Ethan hanya terdiam tanpa menatap Vanya sedikitpun. Iya, dia kesal karena telah dibohongi semua orang tapi dia benar-benar sudah jatuh cinta pada Vanya.
"Pak Ethan marah?"
"Mulai sekarang jangan panggil Pak Ethan lagi." Ethan kembali merengkuh pinggang Vanya.
Vanya tersenyum menatap Ethan. Ternyata Ethan tidak seburuk seperti yang dia bayangkan dulu. Setelah mengenalnya dan dekat dengannya, Ethan sangat baik dan perhatian.
"Awalnya aku juga menolak perjodohan kita tanpa mau bertemu kamu. Aku tidak menyangka, justru kamu yang bertindak lebih dulu sehingga membuatku jatuh cinta. Ya, aku memang kesal, mengapa semuanya membohongi. Sampai aku salah paham dengan Vian juga. Kamu sangat pintar berakting sampai menyewa tempat kos juga." Ethan mencubit kecil hidung Vanya karena gemas.
"Iya, semua harus totalitas. Aku juga tidak menyangka, jalan kita jadi seperti ini bahkan sekarang kita akan jadi orang tua."
Ethan meraih tubuh Vanya dan memeluknya. "Besok kamu datang ya ke acara peluncuran produk baru. Aku akan mengumumkan hubungan kita."
"Wah, semua orang pasti jantungan. Terutama Sadam dan Rosa."
Ethan melepas pelukannya dan semakin menatap Vanya. "Ada masalah apa kamu dan Sadam? Sebenarnya aku tidak mengerti mengapa mereka terus mengganggumu. Kalau kesalahan mereka fatal, aku akan memecat mereka."
"Entahlah, mungkin Rosa iri sama aku karena aku bisa dekat dengan kamu dan juga Kak Vian. Kalau Sadam, sepertinya dia alergi sama cewek jelek. Padahal dia mengejarku kalau aku jadi Vanya yang sebenarnya, sampai memberi obat diminumanku waktu di bar. Untungnya aku masuk ke kamar sama kamu."
Ethan terkejut mendengar pengakuan Vanya. "Jadi Sadam yang memberi kamu obat?" Kemudian Ethan tertawa. "Sepertinya, aku harus berterima kasih sama Sadam," canda Ethan.
"Apa? Memang kalau seandainya aku tidak di bar itu, kamu mau tidur sama siapa?" Vanya menunjuk Ethan penuh curiga.
"Ya, aku ...." Bibir Ethan tiba-tiba kaku melihat Vanya marah. Dia menjadi gagap untuk menjawabnya. "Aku ...."
"Jangan-jangan kamu sering ke bar untuk menyewa wanita?"
"Tidak, bukankah aku sudah bilang kalau kamu yang pertama buatku." Ethan memeluk Vanya lagi dan bersandar di bahunya. "Ya sudah, tidak perlu bahas masa lalu. Kita bahas masa depan kita saja."
Vanya hanya tersenyum dan mengusap rambut Ethan.
Tak jauh di belakang mereka, para orang tua berbisik melihat tingkah laku pasangan itu.
"Mengapa Ethan manja sekali? Biasanya dia tidak bersikap begitu," kata Bu Clara.
"Kata Vian, Ethan yang mengidam. Lucu kan mereka." Bu Ella merasa gemas melihat mereka berdua.
Tiba-tiba saja Bu Clara menangis. "Ethan sangat mirip dengan papanya. Waktu aku hamil Ethan dulu, yang mengidam juga papanya."
Mendengar bisik-bisik itu, Ethan dan Vanya kompak menoleh.
"Sampai lupa kalau ada mereka di sini," gumam Ethan. Dia berdiri dan mendekati mamanya. "Mama mengapa menangis?"
Bu Clara menggelengkan kepalanya dan menghapus air matanya. "Mama hanya bahagia."
"Mama ingat sama Papa?"