Ana yang baru masuk ke tempat kerja baru, terpikat dengan Aris, pemuda yang tampan, baik, rajin bekerja dan sopan. Sempat pacaran selama setahun sebelum mereka menikah.
Di tahun kedua pernikahan mereka, karakter Aris berubah dan semakin lama semakin buruk dan jahat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Frans Lizzie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 - Naik level?
Mereka berjalan kaki sekitar 10 menit dari kedai mereka makan sampai ke hotel pertama.
Begitu sampai Aris, Hendra dan Ana segera mendatangi meja reception untuk menanyakan ketersediaan kamar bagi mereka.
Tetapi semua kamar standard dan deluxe sudah penuh terisi oleh peserta lokakarya yang sedang berlangsung di Tanjung Pinang. Tinggal family room dan suite room yang masih tersedia.
Bertiga mereka keluar lagi dari hotel pertama. Lalu berdiri di tepi jalan menunggu taksi untuk menuju ke hotel ke dua.
Di hotel kedua malah lebih sial, karena malah sudah fully booked sampai 2 hari ke depan karena ada group wisata dan konferensi.
Dengan hati berdebar-debar karena cemas, Ana berjalan mengikuti Aris dan Hendra yang sudah lebih dulu menyapa receptionist yang ada di balik meja hotel ke 3.
“Masih ada 1 kamar deluxe tersisa Pak.”
Ana mendengar kata-kata receptionist itu.
“Usahakan ada 1 kamar lagi untuk kami,” pinta Aris kepada receptionist itu.
Wanita itu mengetik-ketikkan sesuatu pada komputernya. “Ada Pak. Ada suite kami masih 2 kosong.”
“Sebentar ya, Sis.” (sis \= singkatan dari sister)
Aris berpaling kepada Hendra dan mereka berdiskusi lagi.
Aris berbisik ke Ana, “Cuma ada 1 deluxe dan 2 suite room yang kosong. Kita tunggu Hendra cari informasi ke teman-temannya lagi ya, ke mana lagi kita bisa cari.”
Hendra sibuk menelpon lewat hpnya.
Aris juga sibuk ber-wa an lewat hpnya, berusaha menghubungi teman-temannya yang orang Tanjung Pinang untuk menolongnya.
Ana melihat Aris dan Hendra yang tampak tegang dan sibuk. Ana juga melihat langit di luar mulai gelap.
Ia mulai merasa bersalah.
Ia membuat teman-temannya repot untuk melayani keinginannya, untuk bertraveling ke Tanjung Pinang.
Semasa kecilnya dia anak yang mandiri karena keadaan. Orang tuanya tidak pernah mempunyai waktu untuk menemaninya. Asal ada nasi dan lauk untuk dimakan setiap hari, hanya itulah bentuk pertanggungjawaban orang tuanya. Jadi di luar makanan, semua adalah usaha dirinya sendiri.
Jadi sejak kecil dia terdidik untuk tidak banyak minta tolong. Karena semua orang itu sudah sibuk dengan pekerjaan dan keluarga masing-masing.
Karena itu Ana merasa sangat buruk sudah menyusahkan teman-teman yang bahkan belum ada 2 bulan dikenalnya.
Akhirnya Ana memanggil Aris dan Hendra yang masih sibuk dengan hp masing-masing.
“Hendra, Mas Aris…sudahlah kita ambil saja satu kamar yang ada itu. Hari sudah semakin malam dan kita pun sudah lelah.” Ana menatap kedua pemuda di depannya yang juga balik menatap dia.
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Ana lagi karena kedua pemuda itu masih terdiam.
“Ana yakin mau sekamar dengan aku?” tanya Aris hati-hati.
Sebetulnya hati Ana gentar tapi, “Yah, kurasa itulah yang terbaik yang bisa kita lakukan. Hari sudah semakin malam. Sudah habis banyak pasti pulsa Hendra untuk terus menelpon ke sana ke mari. Dan belum juga ada kepastian mendapat kamar. Bukankah begitu?”
Aris memasukkan hpnya ke kantong.
“Iya emang bener sih. Hari sudah semakin malam dan kita belum dapat kepastian akan tinggal di mana. Aku setuju aja.”
Hendra terdiam lama sambil menatap Ana dan Aris berganti-ganti.
“Oke. Deal.” Aris bangkit berdiri. “Ayo kita proses.”
Ana mengikuti Aris ke meja reception untuk melakukan check in kamar.
Hendra tetap duduk menunggu di sofa lobby hotel.
Proses check in berhasil, kunci kamar sudah diserahkan.
“Hen, kami ke kamar dulu ya untuk taruh tas-tas ini sambil sedikit bersih-bersih. Mau ikut kami kah untuk bebersih?”
“Lanjut saja, Pak.” Hendra mengangguk sopan pada bosnya. “Aku bisa pakai restroom di lobby.”
Aris mengangguk dan mulai melangkah menuju kamar yang sudah dipesan.
Aku sungguh nekad, kata Ana dalam hati. Bahkan yang menyodorkan diri sekamar dengan seorang lelaki dewasa.
Sungguh inikah si wanita kuper yang baru 2 bulan lalu meninggalkan keluarga konservatif nya di Yogya? Kini dia bahkan sudah berani memesan satu kamar berdua dengan lelaki yang statusnya cuma teman.
Kegilaannya benar-benar benar sudah naik level.
Kamar no. 135, Aris memutar anak kunci dan membuka kamarnya.
Aris masuk, meletakkan tas duffle Ana ke lantai yang berdekatan dengan jendela, melepaskan tas ransel di punggungnya. Kemudian meregangkan tubuhnya.
Ana yang masuk mengikuti Aris tertegun melihat kamar mereka.
Ini adalah kamar double bed. Hanya ada satu tempat tidur yang cukup untuk 2 orang.
Bukan kamar twin bed, yang punya 2 tempat tidur kecil-kecil untuk masing-masing orang.
Aris tertawa geli melihat wajah Ana yang syok melihat double bed itu.
“Ha ha ha, wajah Ana kayak orang melihat hantu.” Aris tertawa. “Kaget ya ternyata harus tidur satu bed dengan aku.”
Ana tergagap grogi. “Kukira kita mendapat kamar yang twin bed. Jadi kita bisa tidur sendiri-sendiri.”
“Hanya 3 kamar tersisa, ingat? 2 suite room yang sudah pasti mahal. Dan 1 deluxe room yang sesuai dengan budget Ana.” Aris mengingatkan. “Kita lumayan beruntung bisa mendapatkan kamar di saat lagi musim meeting dan lokakarya begini. Padahal kita datang tanpa reservasi duluan.”
Ana teringat. Betul, bagaimanapun ini adalah kemungkinan terbaik yang bisa diupayakan saat ini.
“Udahlah,” ujar Aris sambil melepas sepatu dan kaos kakinya. “Jangan kuatir padaku. Aku ini cowok baik-baik, rendah hati, suka menolong dan rajin menabung.”
Mau tak mau Ana tersenyum mendengar jokes Aris.
“Tapi janji ya nanti, Mas Aris jangan nakal.”
Aris tertawa. “Aku kan sudah bilang tadi kalau aku ini cowok baik-baik, rendah hati…”
“Suka menolong dan rajin menabung,” sambung Ana. “Iya sudah dengar. Jadi mohon dilaksanakan.”
“Siap.” Aris mengambil sikap seperti hormat bendera.
Kemudian dia membuka ranselnya dan mengeluarkan handuk dan perlengkapan mandi.
“Aku ijin duluan pakai kamar mandi boleh? Aku cepat-cepat saja kok mandinya. Habis itu aku temani Hendra. Kasihan tungguin kita. Ana bisa leluasa mandi nanti.”
Ana langsung setuju. “Iya betul. Hendra itu baik sekali lho. Aduh, gimana ya aku bisa membalas kebaikan Hendra.”
Aris memasang wajah pura-pura merajuk. “Kok hanya Hendra sih yang dianggap baik sama Ana. Aku, bagaimana? Aku kan juga baik sama Ana.”
Huh, dasar.
Ana sedang berpikir mau menjawab apa…
Tapi Aris sudah masuk ke kamar mandi. Segera terdengar bunyi air berjatuhan di lantai tanda seseorang sedang mandi bawah shower.
Ana mencubit lengannya sendiri dengan gemas. Woi, sadar! Ana mengomeli dirinya sendiri karena terlalu banyak nge-hang jika di berada di dekat Aris.
Ana membuka tas jinjingnya, mengeluarkan skincare sederhana juga menyiapkan baju dan celana jeans yang akan dikenakan malam ini.
Ana sedang membersihkan wajah dan sedikit melakukan perawatan di wajahnya ketika mendengar bunyi kamar mandi terbuka.
Bau sabun yang wangi dan sesosok manusia keluar dari kamar mandi terlihat dari sudut mata Ana. Sosok dengan baju yang sepertinya agak ganjil membuat Ana menoleh ke belakang.
ASTAGA!!
Ana syok dengan penampilan Aris yang hanya mengenakan handuk yang kurang besar karena harus dipegangi terus agar tidak merosot ke bawah. Handuknya kurang lebar dan panjang agar bisa melingkar kuat di pinggang.
“Ihhh…Mas Aris apa-apaan sih,” pekik Ana panik.
“Sori, sori,” kata Aris dengan nada jenaka. “Aku salah ambil pakaian tadi. Aku ambilnya celana semua….”
Setelah menarik selembar kaos berwarna abu-abu muda, Aris kembali masuk ke kamar mandi.
Ana mengatupkan kedua tangannya di dada. Astaga, Mas Aris, Mas Aris. Seenaknya saja muncul dengan tubuh hampir bugil di depan wanita jomblo sepertinya.
Kan jadi penasaran.
Lho?
Ana menarik rambutnya sendiri dengan jengkel.
Level gilanya meningkat pesat.