NovelToon NovelToon
Rahasia Di Balik Cinta Terlarang

Rahasia Di Balik Cinta Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duniahiburan / Rumahhantu / Mafia / Cintapertama / Berondong
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Ulina Simanullang

Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15: Hari hari tanpa cahaya

Hujan turun lagi malam itu. Deras, seolah langit pun ikut menangisi nasib Stefany. Di balik jendela kamarnya yang remang-remang, Stefany duduk memeluk lutut, wajahnya pucat dan matanya bengkak karena tangisan yang tak pernah berhenti sejak hari pemakaman Stefanus.

Hari-hari setelah kepergian Stefanus terasa begitu asing baginya. Hidup seolah kehilangan warna. Ia mencoba tidur, tapi setiap kali memejamkan mata, wajah Stefanus yang selalu tersenyum itu muncul di pelupuk matanya. Senyum yang dulu membuatnya tenang, sekarang justru menjadi mimpi buruk yang terus menghantui.

“Stefanus… kenapa secepat ini?” bisiknya lirih, suaranya parau.

Tak ada jawaban, hanya suara hujan yang terus mengguyur bumi, menyatu dengan isak tangis yang tak pernah reda.

Sejak hari pemakaman itu, Stefany jarang keluar kamar. Ia menolak ajakan teman-temannya untuk kuliah, menolak semua pesan di ponselnya, bahkan ia menolak makan. Segalanya terasa sia-sia.

Dulu, setiap pagi Stefanus selalu mengirim pesan singkat: ‘Selamat pagi, Stefany. Jangan lupa sarapan, ya.’

Pesan yang sederhana, tapi selalu membuatnya tersenyum. Kini pesan-pesan itu tak akan pernah datang lagi.

Telepon genggamnya sunyi, tak ada lagi nama Stefanus muncul di layar. Dan Stefany membencinya—bukan ponselnya, tapi kenyataan yang begitu kejam.

Ayahnya, Pak Arman, beberapa kali mencoba mengetuk pintu kamar, tapi Stefany selalu diam. Hanya ada keheningan sebagai jawaban.

“Stefany, makanlah sedikit. Kau tidak bisa terus begini,” suara ayahnya terdengar dari luar pintu, berat dan serak.

Stefany tetap diam.

Pak Arman berdiri di depan pintu cukup lama. Ada rasa bersalah yang menghantam dadanya berkali-kali, tapi ia berusaha keras menyembunyikannya. Baginya, kematian Stefanus adalah konsekuensi dari sesuatu yang tidak boleh diketahui siapa pun.

Tapi melihat anak semata wayangnya hancur seperti ini… itu adalah beban lain yang tidak bisa ia atasi dengan pistol ataupun ancaman.

Malam demi malam Stefany terjaga

Di meja belajarnya, foto kecil Stefanus—satu-satunya yang ia punya—tergeletak dalam bingkai sederhana. Foto itu diambil saat acara kampus, ketika Stefanus dan beberapa teman lain berkumpul bersama.

Stefany meraih foto itu, jarinya menyentuh wajah Stefanus di balik kaca.

“Kita bahkan belum sempat merencanakan apa pun, Stefanus… Kenapa kamu pergi?”

Air mata kembali mengalir. Ia terisak pelan, tapi kali ini tidak ada yang berusaha menghentikannya.

Kadang Stefany berbicara seolah Stefanus masih di sampingnya. Ia menceritakan hal-hal kecil: tentang dosen yang menyebalkan, tentang mahasiswi yang iri padanya, tentang impiannya setelah lulus kuliah.

Tapi setiap kali ia selesai bicara, kenyataan kembali menghantam: Stefanus sudah tiada.

Hari-hari di kampus

Dua minggu setelah pemakaman, Stefany akhirnya memberanikan diri ke kampus. Bukan karena semangat, tapi karena dosen pembimbing memintanya datang untuk mengurus beberapa hal.

Begitu memasuki gerbang kampus, langkahnya terasa berat. Semua sudut mengingatkannya pada Stefanus.

Di kafe kampus tempat Stefanus dulu bekerja sambil kuliah ia berhenti. Meja tempat mereka pernah duduk bersama masih ada di sana. Ia bisa mengingat jelas tawa Stefanus, cara laki-laki itu menyodorkan minuman favoritnya, dan bagaimana tatapan mata itu selalu membuatnya merasa istimewa.

“Stefany…”

Suara seorang teman memanggilnya, tapi Stefany hanya mengangguk singkat lalu pergi. Ia tidak ingin berbicara. Tidak hari ini.

Di kelas pun sama. Dosen berbicara di depan, tapi semua suara terasa jauh. Stefany hanya duduk menatap kosong, pikirannya melayang entah ke mana.

Teman-temannya mulai berbisik-bisik. Mereka kasihan padanya, tapi tak ada yang berani mendekat terlalu jau

Malam itu, Pak Arman akhirnya memaksa masuk ke kamar Stefany.

“Stefany, cukup sudah. Kau harus berhenti menyiksa dirimu seperti ini,” katanya dengan suara tegas, tapi ada nada cemas yang sulit disembunyikan.

Stefany menoleh, matanya merah dan sembab. “Berhenti? Bagaimana caranya, Pa? Semua ini terjadi begitu cepat. Aku bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal.”

Pak Arman terdiam. Kata-kata itu menusuk hatinya, karena dialah penyebab sebenarnya.

“Aku hanya tidak ingin melihatmu hancur,” katanya lagi, berusaha terdengar tegar.

Stefany berdiri, suaranya meninggi. “Kalau Papa benar-benar peduli, Papa tidak akan melarang kami dari awal! Aku mencintai dia… dan sekarang dia sudah tiada!”

Pak Arman terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Bukan hanya karena Stefany benar, tapi karena ia tidak mungkin mengungkap kebenaran.

Setelah pertengkaran itu, Stefany menangis lagi. Malam semakin larut, tapi tak ada yang bisa membuatnya tidur.

Kenangan yang terus menghantui

Beberapa hari kemudian, Stefany menemukan buku catatan kecil di laci mejanya. Buku itu berisi tulisan-tulisannya sendiri, termasuk beberapa tentang Stefanus.

Ia membaca satu per satu, dan setiap kalimat terasa seperti pisau yang menusuk hatinya.

Ada satu halaman yang membuatnya terdiam lama:

“Suatu hari nanti, aku ingin Stefanus bertemu Papa. Aku ingin Papa tahu bahwa dia bukan sekadar anak miskin. Dia pintar, baik, dan tulus. Suatu hari nanti Papa pasti akan melihatnya seperti aku melihatnya.”

Air matanya menetes di atas halaman itu. Kenyataan begitu berbeda dari harapannya.

Kesendirian yang menyesakkan

Hari-hari berikutnya, Stefany lebih banyak mengurung diri. Ia jarang makan, jarang bicara, bahkan senyumnya menghilang sama sekali.

Beberapa teman dekatnya mencoba mengajaknya keluar, tapi ia selalu menolak.

“Aku lelah,” jawabnya singkat setiap kali ada yang menghubungi.

Di rumah, suasana semakin dingin. Pak Arman tidak tahu harus berkata apa lagi. Setiap kali melihat Stefany duduk termenung, ia merasakan sesuatu yang asing—perasaan bersalah yang selama ini tak pernah ia kenal.

Tapi mulutnya terkunci rapat. Ia tidak bisa mengungkap apa pun.

Puncak keputusasaan

Suatu malam, Stefany duduk di balkon kamarnya. Angin malam bertiup kencang, membawa aroma hujan yang baru saja reda.

Ia memandangi langit yang gelap. “Kalau aku bisa menukar apa saja untuk membawamu kembali, Stefanus… aku akan melakukannya.”

dari awal ketemu kamu,aku sudah tertarik padamu stefanus.

aku sangat mencintaimu.aku belum pernah mengatakan bahwa aku sayang padamu,tapi kamu sudah pergi untuk selamanya.

"stefanus.....dengarkan aku".

Tapi dunia tidak bekerja seperti itu. Stefanus tetap pergi, dan ia tetap di sini, sendirian.

Hari berganti hari, tapi bagi Stefany, waktu seolah berhenti di hari kematian Stefanus.

Setiap pagi ia bangun dengan mata sembab dan tubuh lemas. Nafsu makan hilang, semangat hidup memudar, dan senyum yang dulu selalu menghiasi wajahnya kini lenyap entah ke mana.

Di kamarnya, dinding-dinding yang dulu penuh hiasan kini hanya menjadi saksi bisu dari air mata yang tak pernah berhenti mengalir. Kadang ia berbicara sendiri, memanggil nama Stefanus seolah laki-laki itu masih ada di dekatnya. Kadang ia memeluk bantal erat-erat, membayangkan itu adalah Stefanus yang memeluknya.

“Kenapa harus kamu… kenapa bukan aku saja…” gumamnya suatu malam, suaranya nyaris tak terdengar.

"aku merindukan kamu Stefanus".

1
Ida Bolon Ida Borsimbolon
mantap,Tetap semangat berkarya💪☺️
argen tambunan
istriku jenius bgt lah♥️♥️
argen tambunan
mantap
Risno Simanullang
mkasi kk
Aiko
Gila keren!
Lourdes zabala
Ngangenin ceritanya!
Risno Simanullang: mkasi kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!