Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.
Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.
Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong aku, Mas
Pagi di Lembang terasa lembut—udara segar bercampur aroma tanah basah dan wangi daun pinus yang baru tersentuh embun. Sinar matahari menembus sela-sela pepohonan, jatuh di halaman belakang vila keluarga Wiradiredja, tempat Mentari duduk santai di kursi rotan dengan mug cokelat panas di tangannya.
Ia mengenakan sweater putih gading dan celana kain abu muda, rambutnya diikat setengah, membiarkan sebagian helai tergerai ditiup angin lembut. Wajahnya tampak lebih tenang dibanding malam sebelumnya.
Dewangga berjalan pelan dari vila nya lalu menghampiri Mentari. “Udara pagi di sini memang nggak pernah gagal,” ujar Dewangga pelan sambil menaruh cangkir kopinya di meja kecil di antara mereka. “Aku kadang iri dengan orang yang bisa tinggal di Bandung setiap hari.”
Mentari menoleh, tersenyum. “Iya, Mas. Udara di sini bisa bikin lupa kalau semalam kita sempat stres berat.”
Dewangga terkekeh pendek. “Kamu terlihat jauh lebih segar. Tidur nyenyak?”
Mentari mengangguk pelan, pipinya sedikit merona. “Lumayan. Teh buatan Mas Dewangga mungkin efeknya lebih dari sekadar minuman herbal.”
“Ah, jadi aku penyebab tidur nyenyakmu, ya?” balasnya dengan nada bercanda tenang.
Mentari spontan menunduk, tertawa kecil tapi wajahnya memerah. “Nggak gitu maksudnya…”
Dewangga tersenyum samar—senyum yang dalam ketenangannya menyiratkan sesuatu yang lebih hangat dari sekadar basa-basi. Mereka kembali larut dalam obrolan ringan: tentang taman di belakang vila yang dulu sering jadi tempat bermain Mentari kecil, tentang hobi berkebun Ratna, dan sedikit tentang bisnis yang Dewangga tangani.
Mentari tampak nyaman, bahkan beberapa kali tertawa lepas.
Namun suasana itu tiba-tiba terputus ketika suara mesin mobil terdengar mendekat dari arah gerbang utama vila.
Mentari spontan menoleh. Mobil hitam metalik itu terlalu familiar untuk diabaikan.
“Ya ampun…” desisnya lirih sambil menegakkan tubuh. “Ayah sama Ibu…”
Dewangga ikut menoleh. Alisnya sedikit terangkat tapi tetap tenang. “Orang tuamu?”
Mentari berdecak pelan, wajahnya antara panik dan pasrah. “Iya. Mereka pasti tahu aku kabur ke sini…”
Mobil itu berhenti tepat di halaman depan. Pintu sisi penumpang terbuka, dan Ratna turun lebih dulu, diikuti Adikara yang mengenakan kemeja santai dan jaket tipis. Tatapan keduanya segera jatuh pada pemandangan di depan mereka: putri mereka duduk berhadapan dengan seorang pria dewasa yang tampak berwibawa namun akrab, dengan dua cangkir di meja dan suasana yang jelas... terlalu nyaman.
Ratna berhenti di tengah langkah, sementara Adikara memicingkan mata, seolah mencoba memastikan apa yang ia lihat memang benar.
“Mentari?” panggil Ratna pelan tapi jelas.
Mentari refleks berdiri, meletakkan mug-nya terburu-buru. “Ibu? Ayah? Kok... ke sini?”
“Kami yang harusnya bertanya,” jawab Adikara, nadanya tenang tapi mengandung tekanan lembut khas seorang ayah yang sedang menahan heran. “Kamu kabur dari rumah, dan ternyata... ada di sini?” Tatapannya beralih pada Dewangga, yang sejak tadi berdiri tenang di sisi meja, lalu ia menambahkan pelan, “Dengan seseorang yang... sepertinya bukan orang asing bagi Ayah.”
Dewangga melangkah sedikit maju, menyapa dengan sopan namun tanpa kehilangan ketenangannya. “Pagi, Pak Adikara, Bu Ratna.”
Adikara mengerjap cepat, sedikit terkejut. “Dewangga Danurengga?”
Mentari membelalakkan mata. “Ayah kenal Mas Dewangga?”
“Ya,” jawab Adikara sambil mengangguk pelan. “Kami pernah satu proyek bisnis beberapa tahun lalu, saat ayah sibuk-sibuknya bolak balik Jakarta-Bandung.”
Ratna menatap bergantian antara suaminya, Mentari, dan Dewangga. Ia mencoba tersenyum untuk meredakan ketegangan, meski sorot matanya masih penuh tanda tanya. “Wah... dunia sempit sekali rupanya.”
Mentari menunduk, pipinya bersemu merah. “Aku nggak tahu kalau Mas Dewangga yang di sini itu... yang Ayah kenal.”
Dewangga tersenyum sopan, tangannya dimasukkan ke saku celana. “Kebetulan saya memang sedang menginap di sini untuk urusan kerja, Bu. Semalam Mentari datang mendadak, jadi saya pastikan saja dia baik-baik saja. Tetanggaan juga, kan.”
Ratna melirik putrinya tajam, tapi nada bicaranya tetap lembut. “Syukurlah kamu ketemu orang yang bisa dipercaya. Tapi, kamu bikin Ibu jantungan, Tari. Semalam Ibu kira kamu kenapa-kenapa.”
Mentari menggigit bibirnya, lalu menatap ibunya dengan wajah menyesal. “Maaf, Bu… Aku cuma butuh waktu sebentar. Aku nggak mau bikin Ayah dan Ibu khawatir.”
Adikara akhirnya menghela napas, menepuk bahu putrinya pelan. “Lain kali, kabari dulu. Jangan bikin rumah seperti rumah kosong.”
Suasana mencair perlahan. Ratna kemudian menoleh ke arah Dewangga, senyum ramah namun penuh makna tersungging di wajahnya. “Terima kasih sudah menemani putri kami, Pak Dewangga. Rasanya kami punya banyak hal untuk dibicarakan nanti.”
Dewangga membalas senyum itu dengan tenang. “Dengan senang hati, Bu.”
Mentari menunduk dalam, menahan rasa malu dan gugup yang bercampur jadi satu. Dalam hati, ia ingin menghilang begitu saja dari situasi yang terlalu canggung ini—antara rasa bersalah pada orang tuanya dan debar tak terjelaskan setiap kali mata Dewangga menatapnya dengan sorot teduh itu.
Sementara itu, Adikara masih menatap pria di hadapannya dengan tatapan penuh pertimbangan—entah karena kagum, heran, atau firasat lain yang belum bisa ia ungkapkan.
Satu hal pasti: pagi yang tadinya hangat dan ringan kini berubah jadi awal dari babak baru yang lebih rumit—karena untuk pertama kalinya, dunia pribadi Mentari, keluarganya, dan Dewangga mulai bertaut tanpa bisa dihindari.
Jantung Mentari berdentum cepat—antara gugup, malu, dan cemas. Ayahnya baru saja mempersilakan Dewangga masuk ke vila.
“Pak Dewangga, ayo kita ngobrol di dalam. Sudah lama sekali tidak bertemu,” kata Adikara, dengan nada hangat khas seorang rekan lama.
Dewangga tersenyum sopan. “Boleh, Pak. Senang sekali bisa bertemu lagi.”
Namun sebelum pria itu melangkah ke dalam, Mentari menarik lengannya pelan dari samping, wajahnya terlihat panik dan gugup.
“Mas, sebentar…” bisiknya, lirih nyaris seperti desahan angin. Ia melirik ke arah orang tuanya yang sudah berjalan lebih dulu masuk, memastikan mereka tak mendengar.
Dewangga menatapnya lembut, sedikit mencondongkan tubuh. “Ada apa?”
Mentari menelan ludah. Jemarinya gemetar halus di sisi tubuh. “Aku tahu ini mungkin nggak sopan, tapi… aku butuh bantuan Mas Dewangga.”
Kening Dewangga berkerut ringan. “Bantuan?”
“Ayah dan Ibu mau aku tunangan dengan Arsenio,” katanya cepat, nada suaranya mengandung kepanikan tertahan. “Aku nggak mau. Aku nggak cinta dia, dan aku... nggak tahu gimana harus menolak tanpa buat orang tuaku kecewa.”
Dewangga menatapnya beberapa detik. Sorot matanya berubah—dari datar menjadi teduh tapi serius. “Mentari, aku bukan siapa-siapamu untuk ikut campur urusan keluarga,” ucapnya lembut tapi tegas.
Mentari menunduk, bahunya merosot. “Aku tahu... tapi Mas Dewangga satu-satunya yang bisa bantu aku sekarang. Aku nggak punya siapa-siapa lagi yang bisa dipercaya. Cakra aja nggak mungkin terus-terusan bantu aku kabur.”
Ia mengangkat wajahnya perlahan, matanya berkaca-kaca tapi tidak manja—lebih seperti seseorang yang berusaha tegar meski hampir putus asa. “Tolong... aku cuma mau Mas Dewangga pura-pura… dekat denganku. Biar Ayah dan Ibu berhenti memaksa aku sama Arsenio.”
Dewangga terdiam. Matanya menatap jauh ke arah wajah muda yang penuh keberanian dan ketulusan itu. Dalam diam, ada getaran kecil di dadanya yang tak ingin ia akui. Perasaan yang mulai tumbuh pelan—tanpa ia sadari sudah menancap.
Ia menunduk sedikit, menarik napas dalam. “Kamu sadar, permintaanmu bukan hal ringan?”
Mentari mengangguk cepat. “Aku tahu. Tapi aku janji, aku nggak akan nyusahin. Aku cuma butuh waktu sampai semuanya reda.”
Dewangga mengembuskan napas panjang, lalu menatapnya dalam—seolah menimbang antara logika dan perasaan.
Akhirnya, dengan suara rendah namun pasti, ia berkata, “Baik. Aku bantu.”
Mentari mengerjap, wajahnya langsung berbinar. “Beneran, Mas?”
Dewangga hanya menatapnya sekilas dan tersenyum tipis. “Tapi dengan syarat—kamu harus bisa jaga sikap. Jangan sampai aku terlibat masalah besar karena ini.”
Mentari buru-buru mengangguk, wajahnya lega. “Aku janji. Terima kasih… sungguh, Mas Dewangga nggak tahu betapa aku bersyukur banget.”
Dewangga menahan tawa kecil melihat ekspresi polos dan tulus itu. “Sudah, ayo masuk. Jangan buat orang tuamu curiga.”
Keduanya berjalan berdampingan menuju ruang tamu. Dari luar, mungkin tampak seperti dua orang yang sekadar berbincang santai, tapi dari dalam dada masing-masing, ada denyut halus yang sulit dijelaskan.
Begitu mereka masuk, Adikara sudah duduk di kursi panjang, sementara Ratna tengah menuangkan teh hangat.
“Duduklah, Pak Dewangga,” ujar Adikara ramah. “Sudah lama sekali ya, terakhir bertemu sepertinya saat proyek resort di Cisarua?”
“Betul, Pak. Saat itu saya masih handle D’Or cabang properti,” jawab Dewangga tenang.
Mentari duduk di sisi ibunya, berpura-pura sibuk memainkan ujung cangkir teh, sementara pikirannya masih berputar tentang rencana nekatnya barusan. Ratna memperhatikan interaksi putrinya dan Dewangga dengan sorot halus, seperti seorang ibu yang mulai membaca sesuatu yang berbeda di antara keduanya.
Adikara tampak begitu senang bisa berbincang lagi dengan Dewangga. Mereka membahas bisnis, kabar teman lama, hingga perkembangan perusahaan. Suasana terasa hangat dan akrab.
Namun di antara percakapan santai itu, Mentari beberapa kali melirik ke arah Dewangga—dan setiap kali mata mereka beradu, ada bahasa diam yang seolah berkata: Terima kasih sudah menolongku.
Dan dalam diam itu, Dewangga hanya memberi balasan lewat senyum kecilnya—tenang, tapi menyimpan makna yang tak bisa ditafsirkan begitu saja.
Karena sejak pagi itu, peran mereka telah berubah.
Yang semula hanya rekan kerja—perlahan berubah menjadi sekutu dalam rahasia, dan mungkin… sesuatu yang lebih dalam dari itu.