Semua orang mengira Zayan adalah anak tunggal. Namun nyatanya dia punya saudara kembar bernama Zidan. Saudara yang sengaja disembunyikan dari dunia karena dirinya berbeda.
Sampai suatu hari Zidan mendadak disuruh menjadi pewaris dan menggantikan posisi Zayan!
Perang antar saudara lantas dimulai. Hingga kesepakatan antar Zidan dan Zayan muncul ketika sebuah kejadian tak terduga menimpa mereka. Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15 - Tangan Baru
Cahaya matahari pagi menyusup lembut melalui tirai putih di kamar perawatan. Wangi antiseptik masih samar tercium, namun bagi Zidan, hari itu terasa berbeda. Ia membuka mata perlahan, dan yang pertama ia lihat adalah Jefri, duduk di kursi samping ranjang, wajahnya penuh harap.
“Ayah…” suara Zidan serak. Ia menatap sekeliling, memastikan dirinya benar-benar sadar. Pandangan matanya kemudian jatuh ke sisi kiri tubuhnya, ke tangan yang kini sudah kembali utuh.
Tangan itu terlihat begitu nyata. Warna kulitnya menyerupai aslinya, urat-urat samar tampak di bawah permukaan silikon halus, dan jari-jarinya tersusun sempurna. Zidan menatap tak percaya, sementara napasnya tercekat di tenggorokan.
“Bagaimana rasanya, Nak?” tanya Jefri pelan, dengan nada yang nyaris bergetar.
Zidan tidak langsung menjawab. Ia mengangkat perlahan tangan kirinya, gerakannya kaku, ragu. Tapi ketika ia berusaha menggenggam, jari-jari itu benar-benar menuruti perintahnya. Jari telunjuk bergerak lebih dulu, lalu disusul yang lain.
“Ini… luar biasa…” gumam Zidan dengan mata berkaca-kaca. “Aku bisa menggerakkannya, Ayah. Aku benar-benar bisa!”
Jefri tertawa kecil di antara air matanya. “Kau hebat, Zidan. Tubuhmu menyesuaikan lebih cepat dari yang dokter duga.”
Zidan tersenyum, lalu kembali menatap tangan barunya. Ia mencoba menyentuh permukaan selimut, dan terkejut saat merasakan tekstur kain yang lembut di ujung jarinya. Sensasinya belum sempurna, tapi cukup untuk membuat hatinya gemetar bahagia.
Beberapa jam kemudian, dokter datang memeriksa kondisinya. “Koneksi neurosensor bekerja sangat baik,” kata dokter itu sambil menatap hasil monitor. “Sekarang tinggal latihan motorik halus dan adaptasi otot. Dengan latihan rutin, dalam dua minggu tangan ini akan terasa seperti bagian tubuh Anda sendiri.”
Zidan mengangguk mantap. “Saya akan berusaha, Dok. Saya janji akan menjaganya.”
Setelah dokter pergi, Jefri menatap putranya penuh rasa sayang. “Kau tahu, Zidan? Seumur hidup Ayah belum pernah melihat seseorang sekuat kamu.”
Zidan tersenyum. “Aku nggak sekuat itu, Ayah. Aku cuma… akhirnya punya alasan buat bangkit lagi.”
Kalimat itu membuat Jefri terdiam sesaat. Ia sadar, tangan itu bukan sekadar alat, melainkan simbol dari sesuatu yang jauh lebih besar, penebusan, harapan, dan cinta yang terlambat namun masih sempat diberikan.
Dua hari kemudian, mereka meninggalkan rumah sakit. Zidan mengenakan jaket hitam dengan resleting perak yang baru dibelikan Jefri. Cuaca Tokyo pagi itu cukup dingin, tapi entah kenapa hati Zidan hangat sekali.
Begitu keluar dari gedung rumah sakit, Jefri berkata, “Ayo, kita rayakan. Kau baru saja dilahirkan kembali, Zidan.”
Zidan terkekeh. “Dilahirkan kembali? Ayah ini bisa saja.”
“Tentu saja! Anak Ayah sekarang punya tangan baru. Masa cuma dirayakan dengan makan di rumah sakit?”
Zidan tertawa kecil. “Jadi kita mau ke mana?”
Jefri hanya tersenyum misterius. “Ikut saja.”
Tujuan pertama mereka adalah Omotesando Hills, kawasan belanja mewah di Tokyo yang dipenuhi butik kelas dunia. Saat memasuki toko pakaian pria terkenal, Zidan sempat gugup. Seumur hidup, ia tak pernah menyentuh baju dengan harga jutaan yen.
“Pilih apa pun yang kau suka,” ujar Jefri dengan ringan. “Hari ini, Ayah yang traktir.”
Zidan menelan ludah. Ia berjalan menyusuri rak pakaian, jas, kemeja, sepatu kulit, semuanya tampak begitu elegan. Ia berhenti di depan cermin besar dan menatap bayangannya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bukan lagi pria sederhana yang bekerja memberi makan singa di kebun binatang.
Ketika seorang pegawai toko membantunya mencoba jas abu-abu, Zidan merasakan getaran halus di tangan kirinya. Ia memandangi prostetik itu di bawah lengan jas, nyaris tak terlihat perbedaannya dari kulit asli.
“Cocok sekali,” ujar Jefri dari belakang. “Kau terlihat seperti pewaris sejati keluarga Nugroho.”
Zidan tertawa kecil. “Aku belum terbiasa dengan kata ‘pewaris’, Ayah. Rasanya aneh.”
Jefri menepuk bahunya lembut. “Kau akan terbiasa, Nak. Kau sudah menempuh jalan yang panjang untuk sampai di sini.”
Setelah belanja pakaian, Jefri mengajaknya ke salon pria eksklusif di distrik Shibuya. Tempat itu mewah dan penuh aroma minyak rambut mahal. Seorang penata rambut muda menyambut dengan senyum ramah dan segera memotong rambut Zidan dengan gaya modern.
Saat bercermin setelahnya, Zidan hampir tak mengenali dirinya sendiri. Rambutnya rapi, wajahnya segar, dan pakaian barunya membuatnya terlihat berwibawa.
“Bagaimana?” tanya Jefri dengan bangga.
Zidan menatap bayangannya lama, lalu tersenyum. “Aku kelihatan seperti orang lain.”
“Bukan orang lain,” kata Jefri sambil menatap matanya melalui pantulan cermin. “Kau kelihatan seperti dirimu yang seharusnya.”
Zidan menahan haru. “Ayah… terima kasih. Aku nggak tahu bagaimana membalas semua ini.”
“Dengan satu hal saja,” jawab Jefri. “Jangan berhenti mencintai dirimu sendiri. Ayah sudah terlalu lama membuatmu berpikir kamu tak pantas. Sekarang, buktikan bahwa kamu layak hidup bahagia.”
Kata-kata itu membuat dada Zidan sesak. Ia menunduk, mencoba menahan air mata yang menggenang. “Aku akan berusaha, Ayah. Aku janji.”
Mereka kemudian berjalan keluar salon. Angin sore Tokyo menyapa lembut wajah mereka. Di tengah ramainya pejalan kaki, Zidan menggenggam tangan kirinya, tangan yang kini terasa hidup. Ia menoleh pada ayahnya dan tersenyum tulus.
“Dulu aku benci tangan ini,” katanya lirih. “Tapi sekarang… aku bersyukur tangan ini pernah hilang. Karena kalau tidak, mungkin aku nggak akan pernah bertemu Ayah.”
Jefri terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia lalu merangkul bahu putranya dan berkata, “Kadang kehilangan memang cara Tuhan mempertemukan kita dengan yang seharusnya.”
Di bawah langit Tokyo yang mulai temaram, dua pria itu berjalan berdampingan, seorang ayah yang menebus masa lalunya, dan seorang anak yang akhirnya belajar mencintai dirinya lagi.
Untuk pertama kalinya, Zidan merasa utuh. Tidak hanya karena tangan barunya, tetapi karena hatinya kini pulih sepenuhnya.
Orang yang menggunakan atau melakukan sesuatu yg direncanakan untuk berbuat keburukan/mencelakai namun mengena kepada dirinya sendiri.
Tidak perlu malu untuk mengakui sebuah kebenaran yg selama ini disembunyikan.
Menyampaikan kebenaran tidak hanya mencakup teguh pada kebenaran anda, tetapi juga membantu orang lain mendengar inti dari apa yang anda katakan.
Menyampaikan kebenaran adalah cara ampuh untuk mengomunikasikan kebutuhan dan nilai-nilai anda kepada orang lain, sekaligus menjaga keterbukaan dan keanggunan.
Mempublikasikan kebenaran penting untuk membendung berkembangnya informasi palsu yang menyesatkan lalu dianggap benar.
Amarah ibarat api, jika terkendali ia bisa menghangatkan dan menerangi. Tapi jika dibiarkan, ia bisa membakar habis segalanya termasuk hubungan, kepercayaan, bahkan masa depan kita sendiri...😡🤬🔥
Kita semua pernah marah. Itu wajar, karena marah adalah bagian dari sifat manusia.
Tapi yang membedakan manusia biasa dengan manusia hebat bukanlah apakah ia pernah marah, melainkan bagaimana ia mengendalikan amarah itu.
Alam semesta memiliki caranya sendiri untuk menyeimbangkan segala hal.
Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai.
Prinsip ini mengajarkan kita bahwa tindakan buruk atau ketidakadilan akan mendapatkan balasannya sendiri, tanpa perlu kita campur tangan dengan rasa dendam..☺️
Meluluhkan hati seseorang yang keras atau sulit diajak berdamai adalah tantangan yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Baik dalam hubungan keluarga, pertemanan, maupun pekerjaan.
Meluluhkan hati seseorang adalah usaha yang harus diiringi dengan kesabaran, doa, dan perbuatan baik. Serahkan segala urusan kepada Allah SWT karena hanya Dia yang mampu membolak-balikkan hati manusia.
Jangan lupa untuk selalu bersikap ikhlas dan terus berbuat baik kepada orang yang bersangkutan.
Karena kebaikan adalah kunci untuk meluluhkan hati manusia.