Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Quin mondar-mandir di kamarnya sambil memegang ponselnya. Dia kemudian memandang ke luar jendela kamarnya, melihat jalanan kampung yang sepi tapi sesekali ada orang hilir mudik.
Pintu kamarnya terbuka. Mamanya Quin muncul di ambang pintu.
“Quin, kita harus jalan sekarang, kok kamu belum siap-siap?” Mamanya heran melihat Quin yang masih memakai kaos dan celana tidur.
“Iya, udah mandi kok. Ini tinggal ganti baju.”
“Ayo, jalan sekarang. Emang sekarang hari minggu, jalanan nggak macet. Tapi kita nggak boleh terlambat. Kalau dibilang harus datang jam 10, kita harus bisa sudah ada di sana jam 9. Berarti kita harus jalan sekarang. Jam 8!” Mamanya merepet seperti LRT yang sedang bagus sinyal keretanya.
“Iya, Ma!” Kata Quin mendorong mamanya keluar dari kamarnya, lalu menutup pintu kamarnya.
Bukannya ganti baju, Quin malah duduk dan menulis pesan di ponselnya.
–
Ada noda lumut di langit-langit kamar Dima. Itu yang dilihatnya sekarang. Badannya kaku. Tulang rusuknya masih terasa sakit. Dan seperti ada karet tebal yang menempel di wajahnya, pipinya ungu kemerahan karena ditonjok oleh preman. Untung, giginya masih utuh dan tulang pipinya hanya retak sedikit.
Terdengar bunyi notifikasi pesan di hapenya.
Dengan susah payah, Dima meraih hape yang ada di lantai dengan tangannya, lalu melihat pesan di hapenya.
Quin : Nisa bilang, motor kamu diambil begal. Kamu luka\-luka.
Quin : Maaf, aku nggak bisa besuk kamu.
Quin : Cepet sembuh ya.
Dima mau membalasnya, tapi dia tidak punya tenaga. Dia malah membuka youtube, melihat rekaman ulang YAMI kemarin sore.
Quin menyanyikan lagu Tentang Aku oleh Jingga. Dia menyanyikannya sesuai versi aselinya dan hanya dengan diiringi oleh gitar akustik.
“Mungkin hanya jiwa yang tak terjaga jua.
Dalam doa. Hingga hilap menyentuh terasa bergetar.
Ku berlalu. Saat terasa waktu tlah hilang.
Ku terdiam.”
Terdengar sayup-sayup ayahnya kembali teriak-teriak marah, mengomeli ibunya, “Dia itu mau jadi apa sih? Pahlawan? Liat, sekarang semuanya hilang, uang hilang, motor hilang! Bisa nggak sih sekali aja nurut!”
“Amarah yang tak terucapkan jiwa.
Tak terungkap. Walau diri tlah terbelengu hasrat.
Yang bernyanyi. Saat terasa waktu tlah hilang.”
Suara ayahnya yang sudah entah berapa kali memarahinya membuatnya merasa tidak berguna sebagai anak. Dima berusaha fokus pada suaranya Quin.
“Saat hanya gundah yang bertentangan.
Ku bernyanyi. Cinta. Cita. Harapan.
Dan ku terbawa dalam kisah yang lama.”
Dima menurunkan hapenya, lalu memejamkan mata meresapi suara Quin yang membuatnya lebih semangat hidup. Dalam hatinya dia berdoa agar Quin bisa terpilih ke babak berikutnya. Dia ingin terus mendengar suara Quin.
–
Di lobi IF TV yang sudah tidak asing lagi bagi Quin, sudah ramai para peserta bersama keluarga dan teman-teman. Acara live pengumuman nanti sore memang bisa dihadiri oleh para pendukung. Akan ada penampilan dari juri dan para peserta.
“Quin, itu Pak Jo! Ayo kita samperin!” Kata Mamanya begitu melihat Pak Jo datang bersama dua orang asistennya.
“Nggak usah, Ma…”
“Pak Jo!” Mamanya Quin malah teriak kencang lalu dadah-dadah ke arah Pak Jo yang tampak terpaksa tersenyum.
Mamanya Quin menarik tangan Quin dan langsung menghampiri Pak Jo sambil berkata, “Tadi malem bagus-bagus pesertanya. Pasti rating nomor satu!”
Quin salim ke Pak Jo.
“Aamiin. Quin juga nyanyinya bagus banget. Semoga nanti kepilih ya!” Pak Jo tersenyum lalu langsung berkata, “Saya duluan ya. Harus rapat dengan program directornya.”
“oh iya, Pak. Silahkan,” mamanya Quin melangkah mundur.
Pak Jo yang hanya memakai baju safari putih dan celana bahan hitam, tersenyum lalu melangkah pergi.
“Orang pinter tuh, keliatan ya. Auranya beda!” Bisik mamanya Quin kepada Quin.
“Mama ih, bikin malu aja!” Quin menunduk menghindari puluhan - yang terasa seperti jutaan - pasang mata yang melihatnya dengan tatapan menghakimi.
“Malu apa? Orang cuma menyapa. Orang tuh seneng kalau di sapa, Quin,” jelas mamanya dengan santai.
“Quin! Ayo udah kita giliran latihan pertama!” Teriak Arka yang sudah bersama Kinan dan dua orang peserta lainnya.
“Semoga…”
Quin pergi sebelum mamanya selesai bicara.
“Bismillah, Quin!” Teriak mamanya yang merasa justru orang-orang melihat mereka karena kagum.
–
Suara reyot tangga rumah, kini tidak lagi terdengar. Karena Dima melangkah turun ke lantai satu dengan perlahan, menahan sakit di punggung dan dadanya. Sambil memegang ponsel, dia melongo ke ruang tengah. Televisi mati. Sepi.
Dia melanjutkan langkahnya lalu duduk di kursi dan perlahan menyandarkan punggung ke sofa.
“Aaa…,” Dima mengeluh kesakitan.
Dia menyesal melihat remote TV ada di atas meja, “Kenapa nggak sekalian ambil sih?”
Dia menggerakan badannya maju untuk meraih remote televisi, lalu kembali menyandarkan punggungnya ke sofa.
“Aaa…,” Dima membali mengeluh kesakitan.
Ibunya muncul dari dalam dapur, “Kamu ngapain di sini? Kan masih sakit.”
“Mau nonton YAMI.”
“Ya ampun, dibela-belain! Kan bisa liat ulangannya di yutub besok,” ibunya bicara sambil masuk kembali ke dapur.
“Ayah di mana, Bu?” Tanya Dima sambil menyalakan televisi.
“Ke rumah Om Budi,” jawab ibunya Dima bersamaan dengan suara televisi yang keras sekali, sehingga Dima tidak bisa mendengar jawaban ibunya.
Dima mengecilkan volume televisi, lalu bertanya lagi, “Di mana?”
Ibunya muncul di ambang pintu dapur, “Om Budi! Kamu perlu ke dokter nggak? Telinganya mau diperiksa?”
“Kan nggak kedengeran gara-gara suara TV, bu. Bukan gara-gara telinga aku nggak denger!”
“Ya kali aja, gara-gara kemaren dipukulin, telinganya jadi rusak,” jawab ibunya sambil masuk ke dapur.
“Nggak. Aku nggak apa-apa kok, Bu,” jawab Dima mengusap-usap telinganya, lalu menatap hapenya dan membuka media sosialnya Quin.
Tidak ada update. Tentu saja.
Dima membuka media sosialnya Nisa.
–
Nisa yang baru saja foto bersama Shanaz, Meta, dan Hana, langsung mengupdate di instagramnya.
“Itu Quin!” Teriak Shanaz melambaikan tangan ke arah Quin yang jalan bersama Arka.
“Itu temen kecilnya? Siapa? Akar?” Tanya Meta yang memang entah ingatannya lemah atau kurang memperhatikan Quin dan Nisa membicarakan Arka.
“Arka!” Jawab Nisa.
“Ganteng juga,” kata Shanaz sambil menyenggol lengan Nisa yang ternyata menunduk malu.
“Ih, merah!” Hana menggodai Nisa.
“Apaan sih, nggak!” Nisa balik badan, padahal Quin dan Arka sudah mendekati mereka.
“Kenapa, Nis?” Tanya Quin yang heran.
Nisa langsung balik badan lagi dan beralasan, “Kelilipan!”
“Ini kenalin, Arka!” Kata Quin sambil menunjuk ke Arka.
Arka bersalaman dengan Hana, Meta, Shanaz, lalu Nisa.
“Hana.”
“Meta.”
“Shanaz.”
“Aku…,” jawab Nisa gugup.
“Hah?” Tanya Arka heran.
“Nisa!” Jawab Quin yang heran melihat Nisa tidak pernah seperti ini.
“Oh Nisa. Kirain namanya aku! Kaya suku di hawaii, aku-aku!” Kata Arka yang selalu melucu.
“Itu uka-uka! Nggak lucu!” kata Quin kesal.
Tidak ada yang tertawa kecuali Nisa.
“Dia aja, ketawa! Berarti lucu!” Kata Arka manyun lalu menatap Nisa, membuat Nisa semakin salah tingkah.
“Udah ah. Ayo foto dulu. Abis itu masuk!” kata Quin mengajak Nisa foto.
Arka langsung mengambil posisi di sebelah Nisa. Quin di tengah, sementara di belakang mereka ada Shanaz, Meta, dan Hana.
“Lo cantik banget. Ini baju boleh dibawa pulang?” Tanya Shanaz pada Quin.
“Pengennya sih gitu! Huhu, nggak boleh!” Jawab Quin sedih.
“Ya kali kalo dibawa pulang semua, bangkrut ntar tivinya,” jawab Meta sok paling benar.
“Iya, nanya doang. Nggak usah ngegas!” Balas Shanaz.
“Siapa yang ngegas, orang cuma jawab!” Kata Meta membela diri.
“Mulai! Mulai!” Nisa melerai.
“Gue balik dulu ya!” Kata Quin sebelum Arka menimpali Nisa. “Ayo, Ka!”
“Daaah!” Arka pergi mengikuti Quin sambil melambaikan tangan dan menatap Nisa.
“Semoga lolos ya, kalian!” Teriak Meta.
“Ciee…,” kata Hana menggodai Nisa.
“Apa sih?” Nisa manyun lalu jalan ke arah tempat penonton mengikuti para penonton lainnya.
“Cieee!” Kata Shanaz sambil mengejar Nisa.
Mereka berempat masuk ke dalam studio YAMI.
–
Dima menatap televisi dengan serius. Di sebelahnya ada ibunya yang menonton sambil main candy crush di hapenya.
“Jadi sekarang yang tersisi berapa orang?” Tanya ibunya Dima.
“12 orang.”
“Hah! Banyak amat!”
“Maksudnya, tersisi delapan orang. Jadi sisanya 12 orang.”
“Quin udah terpilih?” Ibunya kini melihat ke layar televisi.
“Udah. Dia masuk 10 besar. Sekarang tinggal dua spot lagi.” Jelas Dima.
“Kata kamu siapa yang masuk?”
“Nggak tau. Selera juri kan, bukan selera penonton.”
–
Arka berdiri bersama Kinan.
MCnya, Lufti membacakan pengumuman, “Dan yang mengisi spot terakhir untuk bisa lanjut ke babak live berikutnya adalah….!”
Terdengar suara bergemuruh musik dramatis. Dan lampu menyorot ke Arka dan Kinan.
Femi kembali membacakan pengumuman, “Yang mendapatkan vote paling banyak ke dua belas dari juri yang terdiri dari 100 orang penyanyi dan musisi di Indonesia, adalah….!
Susana semakin tegang.
Quin yang sudah duduk bersama dua belas finalis lainnya tampak cemas menunggu.
Femi dan Lutfi sama-sama teriak menyebutkan nama terakhir.
Bersambung.
queen Bima
mantep sih