Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27
Jaya menarik Dara dan melompat. Mereka jatuh beberapa meter, untungnya mendarat di atas tumpukan dedaunan tebal dan lumpur. Kedua Penjaga Sunyi itu menghilang, tetapi kedinginan yang mereka bawa masih terasa menusuk.
Dara terbatuk, berjuang mengatur napas. Penghalang sihir murni yang ia ciptakan telah menguras hampir semua energinya. Wajahnya sangat pucat, dan tubuhnya menggigil hebat.
"Kau baik-baik saja?" Jaya berlutut di sampingnya, memeriksa apakah ada tulang yang patah.
"Aku... baik," bisik Dara, mencoba tersenyum, tetapi hanya menghasilkan seringai lemah. "Setidaknya kita berhasil mengalihkan mereka."
Jaya menghela napas, lega. Ia menyandarkan Dara di dinding jurang yang lembap. "Istirahatlah. Energi sihirmu habis total. Jangan coba menggunakannya dulu."
Jaya merangkak keluar dari tumpukan dedaunan dan mulai mengamati. Mereka berada di dasar jurang kecil, yang lebarnya hanya beberapa meter dan tertutup rapat oleh kabut di atasnya. Di satu sisi, sebuah aliran sungai kecil mengalir.
"Kita tidak bisa kembali ke atas sekarang," ujar Jaya, menggosok-gosokkan tangan Dara untuk memberinya kehangatan. "Para Penjaga itu pasti masih berpatroli. Kita harus mengikuti aliran sungai ini. Air selalu menuntun ke jalan keluar, entah ke dataran rendah atau pemukiman."
Dara mengangguk, bersandar sepenuhnya pada Jaya saat ia berdiri. Setiap gerakan terasa membebani, tetapi tatapan Jaya yang penuh kasih memberinya kekuatan.
"Ratih dan Wijaya," kata Dara, suaranya sedikit lebih kuat. "Mereka akan menuju Aeloria. Kita harus mengejar mereka."
"Tentu," janji Jaya. "Tapi kita harus melakukannya dengan cerdas. Kita bukan Ratih; Liontinnya adalah kompas. Kita harus menggunakan akal dan keahlian kita."
Mereka mulai berjalan menyusuri sungai. Setiap langkah Dara lambat, dan Jaya berjalan sangat dekat di sisinya. Setelah berjalan sekitar satu jam, air sungai mulai mengalir lebih deras dan kabut perlahan menipis. Mereka menemukan diri mereka di tepi sebuah jurang yang lebih besar, menghadap ke hutan lebat yang jauh lebih hangat dan tampak lebih akrab.
Jaya mengeluarkan belati pendeknya dan mulai memotong dahan-dahan kecil. Ia tahu mereka tidak bisa langsung memotong jalur ke Selatan. Dara butuh makanan, air bersih, dan istirahat total untuk memulihkan energi sihirnya.
"Kita akan mendirikan tempat istirahat sementara di sini," kata Jaya, menunjuk ke sebuah ceruk kecil yang tersembunyi di bawah akar pohon besar. "Aku akan mencari air dan makanan. Kau, tetap di sini dan jangan bergerak."
Dara mengangguk. "Hati-hati, Jaya."
"Aku akan kembali," jawab Jaya, janji itu terucap dengan mudah.
Dalam waktu dua jam, Jaya kembali dengan beberapa buah beri liar yang dapat dimakan, umbi-umbian yang ia gali, dan air bersih dari mata air tersembunyi. Dia membuat api kecil yang nyaris tanpa asap, memanaskan umbi-umbian itu, dan memastikan Dara makan.
Malam itu, mereka duduk berdekatan. Jaya memeluk Dara erat-erat, membiarkan kehangatan tubuhnya melawan dinginnya malam dan kekosongan energi sihir Dara.
"Rute menuju Aeloria, menurut peta Wijaya, melewati Hutan Tua dan kemudian ke Pegunungan Bintang Jatuh," bisik Jaya. "Kita akan ambil jalan memutar melalui sungai dan dataran rendah. Lebih aman, tapi lebih lambat. Aku tidak mau mengambil risiko ada lagi Penjaga Sunyi."
Dara mendongak, matanya bersinar karena cahaya api unggun yang redup. "Itu rencana yang bagus. Kita hanya butuh waktu dua hari lagi untuk pulih. Kemudian, kita akan mengejar mereka."
Saat Dara tertidur, Jaya tetap terjaga, mengawasi sekeliling. Ia membelai rambut Dara dan membiarkan benih harapan dan ketakutan tumbuh di hatinya. Keadaan ini berbahaya, tetapi juga memberinya kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri, bukan hanya seorang pemanah ulung, melainkan pelindung hati yang ia cintai.
Keesokan paginya, Dara merasa lebih baik. Energi sihirnya mulai mengalir tipis di dalam tubuhnya. "Aku siap," katanya, menatap Jaya dengan tekad. "Kita berangkat."
Mereka meninggalkan jurang itu, kini dengan tujuan yang jelas: Selatan, Kota Cahaya yang Tersembunyi.
Sementara itu:
Ratih dan Wijaya berlari tanpa henti hingga mereka yakin sudah jauh dari Lembah Bisikan. Mereka berhenti di hutan yang lebih tinggi, di bawah naungan pohon pinus raksasa.
Napas Ratih tersengal, dan ia merasakan dinginnya Liontin Mata Ketiadaan menusuk tulang, seolah menyalahkan pelariannya.
"Dara... Jaya..." Ratih terengah, menoleh ke belakang. Rasa bersalah menghimpitnya. "Kita meninggalkan mereka."
Wijaya menahan Ratih, memaksanya untuk menatapnya. Matanya tenang, tetapi ada api yang membara di dalamnya.
"Dengarkan aku, Ratih," katanya, suaranya tajam. "Jaya adalah pemandu terbaik yang pernah ada. Dara adalah pengguna sihir murni yang cerdas. Mereka berdua selamat dari Leluhur Bayangan di reruntuhan. Mereka akan baik-baik saja."
Wijaya mengeluarkan selembar kulit dari sakunya—sketsa cepat yang dibuatnya dari peta kuno. "Mereka akan tahu bahwa Aeloria adalah tujuan kita. Jaya akan membawa Dara melalui rute yang aman dan tidak terdeteksi. Kita, sebaliknya, harus bergerak cepat melalui jalur berbahaya untuk mengamankan informasi sebelum Leluhur Bayangan mendapatkannya."
"Tapi bagaimana jika mereka bertemu Penjaga Sunyi lagi?" tanya Ratih, menggenggam Liontin Api Biru.
"Mereka tidak akan menempuh rute yang sama," jawab Wijaya, suaranya meyakinkan. "Jaya tahu cara berpikir musuh. Percayalah pada mereka. Tapi yang lebih penting, percayalah pada dirimu sendiri. Kita adalah tim utama. Tanpamu, Liontin ini tidak akan pernah menyatu, dan semua yang kita lakukan akan sia-sia."
Ratih mengangguk perlahan. Keputusannya terasa berat, tetapi logis.
Perjalanan mereka cepat dan terfokus. Wijaya, sang ahli strategi, memimpin. Dia memilih jalur yang tersembunyi, menghindari desa dan jalur perdagangan.
Saat mereka berjalan, Ratih berbagi apa yang ia rasakan. "Liontin Mata Ketiadaan itu... aku bisa merasakannya. Ia menginginkan Void. Setiap kali aku menggunakan Liontin Api Biru, Liontin ungu itu bereaksi, seolah menyeimbangkan panas dengan dingin yang ekstrem."
"Itu sesuai dengan ukiran kuno. Penolak harus berpasangan dengan Api Biru," kata Wijaya. "Penolak adalah cangkang Void yang digunakan untuk menetralkan kekuatan Penciptaan, seperti Api Biru. Mereka berlawanan, tetapi diciptakan untuk menjadi kesatuan. Kita harus mencari tahu mengapa para Dewa menciptakan sesuatu yang begitu berbahaya."
Mereka mulai membahas sejarah Aeloria. Menurut catatan Wijaya, Kota Cahaya yang Tersembunyi itu adalah tempat di mana Mata Angin—penjaga keseimbangan—menyimpan semua pengetahuan tentang Void dan Penciptaan, sebelum Perang Besar pertama.
"Jika mereka menyimpan informasi, maka mereka menyimpan cara untuk mengalahkan Sang Penghancur tanpa harus mempertaruhkan dirimu dengan penyatuan," kata Wijaya. Tekadnya terlihat jelas: ia akan mencari jalan lain.
Mereka berkemah di puncak bukit, melihat ke bawah ke Hutan Tua yang akan mereka masuki besok. Api unggun kecil di antara mereka hanya memberikan sedikit kehangatan, dan keheningan di sekitar mereka menekan.
Ratih merasakan pandangan Wijaya padanya. "Ada apa?"
Wijaya menghela napas, pandangannya beralih ke kegelapan hutan. "Jaya dan Dara..." ia berhenti sejenak. "Aku tahu Jaya akan melindungi Dara dengan segenap jiwa raganya. Mereka sudah lama saling mengikat, meskipun mereka selalu menyembunyikannya."
"Kau peduli pada mereka," kata Ratih, senyum tipis di bibirnya.
"Mereka adalah bagian dari tim, dan mereka adalah keluargaku," jawab Wijaya dengan sederhana. Ia kemudian menatap Ratih. "Sama sepertimu."
Kehangatan dari kata-kata itu terasa jauh lebih meyakinkan daripada api unggun atau bahkan Liontin Api Biru. Itu adalah pengakuan yang tulus dan jujur, seperti janji yang ia ucapkan di reruntuhan.
"Kita akan tiba di Aeloria lusa, jika kita mempertahankan kecepatan ini," kata Wijaya, kembali ke mode strategi. "Bersiaplah, Ratih. Sebuah kota yang hilang di mana sihir murni tidak bekerja, dijaga oleh makhluk bayangan, dan menyimpan rahasia para Mata Angin. Ini akan jauh lebih berbahaya daripada Kuil bawah tanah."
Ratih mengencangkan cengkeramannya pada Liontin Api Biru. "Aku tahu. Tapi kita harus menemukannya. Untuk Jaya, untuk Dara, dan untuk dunia."
Mereka berdua mengangguk, terikat oleh tujuan yang sama, namun juga terikat oleh kekhawatiran yang sama: apakah dua pasang hati yang terpisah di tengah kekacauan ini akan bertemu kembali?
Aeloria: Gerbang yang Tersembunyi
Dua hari kemudian, Ratih dan Wijaya mencapai lokasi yang ditandai oleh Wijaya di peta kuno. Mereka tidak menemukan kota, hanya sebuah rerutuhan bangunan yang dikelilingi tebing-tebing batu besar. Energi di tempat itu terasa aneh, netral, seolah-olah semua kekuatan sihir telah diserap.
"Kita sudah sampai," bisik Wijaya, matanya menyapu sekeliling. "Tidak ada tanda-tanda kota. Hanya... batu."
Ratih mengangkat Liontin Api Biru. Liontin itu bergetar hebat, tetapi tidak memancarkan panas. Liontin Mata Ketiadaan juga terasa sunyi, dingin, tetapi tidak menarik-narik. Kekuatan mereka tertahan.
"Ukiran itu benar," kata Ratih. "Sihir murni tidak bekerja di sini. Ini adalah zona netral para Dewa."
Tiba-tiba, Wijaya menunjuk ke sebuah ceruk kecil. Sebuah ukiran kuno, ditutupi lumut, terlihat samar-samar. Itu adalah ukiran yang sama dengan yang ada di peta: Mata dengan empat sayap—simbol Mata Angin.
Wijaya mendekat, membelai ukiran itu. Saat tangannya menyentuh batu, ukiran itu mulai bersinar dengan cahaya biru keperakan yang dingin.
Tanah di depan mereka mulai bergetar. Tebing batu yang besar itu terbelah dengan suara gemuruh yang keras dan berdebu.
Di balik retakan itu, terungkaplah sebuah kota. Bukan kota reruntuhan, tetapi sebuah kota yang utuh, seolah-olah tertidur selama ribuan tahun. Bangunan-bangunan batu putih dengan arsitektur elegan, tersembunyi dari pandangan dunia.
"Aeloria, Kota Cahaya yang Tersembunyi," bisik Ratih, takjub.
"Mari kita masuk," kata Wijaya, menghunus pedangnya. "Tapi ingat, kita bergerak dalam kegelapan. Liontinmu tidak bisa membantumu di sini. Kita akan mengandalkan akal, strategi, dan pedang."
Perjuangan Jaya dan Dara: Mengikuti Kompas Hati
Pada hari yang sama, Jaya dan Dara telah melintasi Hutan Tua, mengambil rute yang lebih aman. Dara sudah pulih, energi sihirnya kembali sepenuhnya.
"Kita harus lebih cepat," kata Dara, matanya fokus ke Selatan. "Mereka sudah mendahului kita beberapa hari."
"Kita akan menyusul," jawab Jaya, suaranya tenang.
Saat mereka melintasi sungai yang berliku, Jaya tiba-tiba berhenti. Ia mengamati jejak kaki di lumpur. Jejak kaki itu ringan, berukuran standar, tetapi ada pola yang tidak biasa: pola langkah yang panjang dan cepat, diikuti oleh pola langkah yang lebih pendek dan hati-hati.
"Jejak kaki Ratih dan Wijaya," bisik Jaya. "Ratih yang berlari panik, dan Wijaya yang membimbingnya dengan hati-hati. Mereka aman, tapi sangat terburu-buru."
Jaya tersenyum lega. "Mereka menuju ke ngarai. Kita sudah dekat dengan Aeloria."
Mereka mempercepat langkah mereka, kini dipandu oleh jejak kaki dan janji untuk bertemu kembali. Mereka tahu bahwa di kota yang hilang itu, mereka akan menemukan jawaban yang dapat menyelamatkan Ratih dan seluruh dunia dari kehancuran Void.