NovelToon NovelToon
Takdir Kedua

Takdir Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Murid Genius / Teen School/College / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / Putri asli/palsu
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: INeeTha

Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Janji di Sabtu Pagi

Keesokan harinya, Sabtu yang cerah. Mentari pagi merayap masuk melalui celah gorden, namun Shinta Bagaskara sudah rapi sejak pagi buta. Tidak ada kelas memang, tapi ada janji yang lebih penting dari sekadar kuliah. Dengan langkah ringan, ia menuruni tangga, meninggalkan kamarnya yang sunyi.

Di ruang tengah, suasana rumah terasa kontras. Pak Haryo sedang tidak di rumah, mungkin sibuk dengan urusan bisnisnya. Dira, adiknya, mengurung diri di kamarnya, entah melakukan apa. Sementara Laraswati, ibunya, duduk santai di ruang tamu, menikmati teh melati dari cangkir porselen kesayangannya. Uap hangat mengepul, membawa aroma melati yang menenangkan.

Begitu melihat Shinta menuruni tangga, ekspresi Laraswati langsung berubah dingin, seperti es yang membeku. Senyum tipis yang tadi menghiasi wajahnya lenyap seketika.

“Kamu mau ke mana pagi-pagi begini?” tanyanya datar, nada suaranya kaku dan menahan kesal. Ada sedikit nada merendahkan dalam intonasinya.

Shinta berhenti sejenak di depan pintu, membalas tatapan ibunya dengan tenang. “Ada urusan yang harus diselesaikan.”

Jawabannya singkat, tenang, tapi jelas tidak berniat menjelaskan lebih lanjut. Ia tahu, ibunya tidak benar-benar tertarik dengan apa yang akan ia lakukan.

Laraswati hanya mengangguk tipis, bukan karena peduli, tapi sekadar basa-basi. Baginya, Shinta bukanlah anak yang layak dibanggakan. Kalau dibawa keluar pun hanya akan mempermalukan nama keluarga Bagaskara yang terhormat. Ia selalu merasa Shinta adalah noda dalam hidupnya.

Di dalam hatinya yang penuh perhitungan, Laraswati bahkan tak ingin orang tahu bahwa Shinta adalah putrinya. Itu hanya akan menurunkan derajatnya di mata keluarga besarnya yang penuh dengan orang-orang penting. Ia harus terus membuktikan bahwa pilihannya dulu memilih Haryo sebagai suaminya tidak salah, meskipun dalam hati kecilnya ia sering meragukan keputusannya itu.

Apalagi, suami kakaknya sekarang sudah sukses besar di luar negeri. Bisnisnya berkembang pesat, menghasilkan pundi-pundi uang yang tak terhitung jumlahnya, jauh lebih sukses dari bisnis Haryo yang stagnan. Mengingat itu saja sudah membuat dada Laraswati terasa getir, seperti ada batu besar yang menghimpitnya.

Untung saja, seorang Bhante—yang sangat ia percaya—pernah berkata bahwa putrinya yang satu lagi adalah pembawa keberuntungan, seekor phoenix yang akan bersinar di langit dan membawa kemuliaan bagi keluarga. Laraswati yakin, suatu hari nanti Dira akan membuatnya bangga di mata semua orang, membuktikan bahwa ia adalah ibu yang sukses.

Karena itu, ia meneguk tehnya lagi, menghirup dalam-dalam aroma melati yang menenangkan, dan sama sekali tak memperdulikan Shinta yang melangkah keluar rumah, menuju kehidupannya sendiri.

Di luar, sebuah mobil hitam mengilap sudah berhenti agak jauh dari gerbang vila keluarga Bagaskara. Fajar Pramudya sengaja tidak memarkir mobil di depan, agar tidak menimbulkan kecurigaan dari keluarga Shinta yang penuh intrik. Ia tidak ingin kehadirannya diketahui oleh mereka.

Dari balik kaca gelap, ia duduk tenang di kursi belakang dengan laptop di pangkuan. Ada beberapa urusan bisnis yang sedang ia tangani, ia kini sedang melakukan meeting online dengan salah satu manajemen perusahaan yang sedang memberikan laporan kerja. Angka-angka dan grafik bertebaran di layar, namun pikirannya tidak sepenuhnya di sana.

Sesekali, pandangannya teralih keluar jendela, menembus rimbunnya pepohonan, menunggu seseorang yang sangat berarti baginya. Waktu terasa berjalan lambat, setiap detik terasa seperti menit yang panjang.

Manajer yang sedang menjelaskan laporan mulai kebingungan. Biasanya, Presiden Fajar—yang dikenal tegas, perfeksionis, dan sangat detail—akan menanggapi tiap detail dengan teliti, memberikan koreksi dan saran yang membangun. Tapi kali ini, tatapan pria itu tampak jauh, seolah pikirannya sedang berada di tempat lain yang sangat jauh.

Pelipis sang manajer sampai berkeringat dingin. Ia merasa seperti sedang diinterogasi oleh seorang algojo.

Tiba-tiba Fajar menutup laptop dengan tenang, mengakhiri penderitaan sang manajer. “Ikuti saja rencanamu. Detailnya bahas dengan Asisten Lin.”

Manajer itu terpaku, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Fajar tidak memberi satu pun revisi. Apakah ini pertanda kiamat sudah dekat?

Selesai memberi instruksi singkat, Fajar bangkit dan keluar dari mobil, menghirup udara pagi yang segar. Tepat saat itu, Shinta muncul di tikungan jalan, berjalan menghampirinya dengan langkah pelan namun pasti.

Ia mengenakan gaun putih sederhana yang membuatnya tampak anggun dan polos, dipadu dengan sweater tipis berwarna pastel. Rambut panjangnya sedikit bergelombang, jatuh lembut di bahu, menambah kesan feminin. Saat cahaya pagi menyentuh wajahnya, ia tampak begitu bersih dan tenang, seperti lukisan yang indah.

Fajar sempat kehilangan kata, terpana dengan kecantikan alami Shinta. Senyum tipis muncul di wajahnya tanpa sadar, menghangatkan ekspresinya yang biasanya dingin.

Fajar lima tahun lebih tua dari Shinta. Biasanya ia selalu terlihat dingin, serius, dan terlalu dewasa untuk usianya. Tapi kali ini, Fajar mengenakan kemeja putih yang digulung lengannya dan celana kasual berwarna khaki yang membuatnya tampak lebih muda, lebih santai, dan lebih hangat.

Sekilas, mereka terlihat seperti sepasang kekasih muda yang sedang dimabuk cinta, menikmati indahnya pagi bersama.

“Kak Fajar, maaf ya, kamu udah lama nunggu, ya?” Sapa Shinta pelan sambil menatapnya dengan mata yang berbinar. Ada sedikit rasa bersalah dalam suaranya.

Fajar membuka pintu mobil dengan gerakan santai, berusaha menutupi rasa gugupnya. “Baru saja sampai kok,” jawabnya sambil tersenyum.

“Oh.” Shinta mengangguk kecil dan masuk ke mobil, duduk di sampingnya. Aroma parfumnya yang lembut memenuhi ruangan, membuat Fajar semakin salah tingkah.

Fajar memberi aba-aba pada sopir, “Jalan.” Lalu, ia menoleh pada Shinta, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Shinta, aku mau tanya sesuatu. Kamu masih mau terus tinggal di rumah keluarga Bagaskara?”

Pertanyaan itu membuat Shinta terdiam beberapa detik. Ia menunduk, menyembunyikan kesedihannya di balik senyum samar namun terasa pahit. Kenangan pahit masa lalu kembali menghantuinya.

Dulu, di kehidupan sebelumnya yang penuh dengan penyesalan, Fajar pernah menanyakan hal yang sama. Tapi waktu itu, ia terlalu bodoh, terlalu naif. Ia tak tahu siapa yang benar-benar tulus padanya, dan siapa yang hanya pura-pura peduli untuk memanfaatkan dirinya.

Tangannya menggenggam ujung gaunnya erat-erat, berusaha mencari kekuatan. “Aku akan cari cara untuk keluar dari rumah itu secepatnya,” jawabnya dengan tekad yang membara.

Alis Fajar berkerut halus, menunjukkan kekhawatiran. “Apa perlu aku bantu? Aku bisa melakukan apa saja untukmu.”

Shinta menggeleng pelan, menolak tawarannya dengan halus. “Nggak usah, Kak. Gampang kok. Di rumah itu aku bukan siapa-siapa. Begitu aku ganggu kepentingan Pak Haryo, dia pasti akan buang aku sendiri tanpa ampun.”

Ucapan itu membuat dada Fajar terasa sesak, seperti ada beban berat yang menghimpitnya. Ada perasaan ngilu sekaligus nyeri yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Ia tidak tega melihat Shinta menderita.

Shinta selalu terlalu tenang untuk seseorang yang sudah terluka sedalam itu. Ia selalu berusaha menyembunyikan lukanya di balik senyumnya yang tegar.

Fajar mengulurkan tangan, mengusap lembut rambutnya yang halus. “Shinta, jangan lupa, kamu masih punya Kakek Winarta yang sangat menyayangimu, dan juga masih ada aku yang akan selalu ada buatmu, apapun yang terjadi.”

Shinta menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, senyumnya kali ini sungguh tulus, terpancar dari hatinya yang paling dalam. “Terima kasih banyak, Kak Fajar. Aku beruntung memilikimu.”

Cahaya pagi menembus kaca mobil, jatuh ke wajahnya yang tersenyum, menciptakan aura yang mempesona. Untuk sesaat, dunia seolah berhenti berputar di sekitar mereka, hanya ada dua orang yang saling memahami, saling mendukung, tanpa perlu banyak kata.

1
Narina Chan
ayo lanjutkan kaka
Robiirta
ayo lanjut update yg banyak kaka
Robiirta
lanjutkan kaka
Na_dhyra
2 bab gak cukup beb...hihihi
Awkarina
update yang banyak kaka
Awkarina
mam to the pus🤣🤣🤣
Awkarina
jurusnya teh hijau nih👍👍👍
Awkarina
dia jijik woy😄😄😄
Awkarina
bisa gitu🤭
Awkarina
antagonis pro nih👍
Awkarina
ini dia yang marah🤣🤣🤣
Awkarina
mati aja lo😄😄😄
Awkarina
lah dia mupeng😄😄😄
Awkarina
ko saya pengen nabok y🤣🤣🤣
Awkarina
lanjutkan 👍👍👍👍
Awkarina
lanjutkan 😍😍😍😍
Awkarina
Mantap ceritanya lanjutkan sampai tamat ya thor, aku menunggu
Robiirta
👍👍👍👍👍 LAnjutkan💪💪💪💪
Robiirta
lanjutkan💪💪💪💪
Robiirta
😍😍😍😍😍😍😍😍😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!