“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15. Provokasi dari Priya
Rumah Arman – Sore Hari
Ketukan pintu terdengar ketika Widya baru saja selesai membereskan buku kuliahnya di meja ruang tengah. Ia ragu sebentar, lalu berjalan membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, wajah Priya yang tersenyum tipis langsung membuat dadanya terasa mencelos.
“Assalamualaikum,” ucap Priya manis, tapi matanya tajam.
Widya mengangguk singkat. “Waalaikumussalam. Ada perlu apa?” sambut Widya sama sekali tidak ramah.
Priya melangkah masuk tanpa diminta, pandangannya menyapu ruang tamu. “Arman belum pulang ya?” suaranya dibuat ringan, seakan kunjungan sore itu hal biasa.
Widya menahan diri. “Belum. Kalau ada urusan dengan dia, datangi saja ke kantornya. Atau janjian di perempatan seperti biasa.” sarkas Widya.
“Sayangnya….” potong Priya sambil menoleh penuh, menatap Widya dengan sorot mata benci. “Aku kesini bukan buat ketemu Arman. Aku ke sini buat ketemu kamu, Widya.”
Widya refleks mengernyit. “Ketemu aku?”
Priya tersenyum miring, lalu duduk di sofa dengan santai. “Iya. Aku cuma nggak mau kamu salah paham. Jangan terlalu cepat merasa menang hanya karena sekarang status kamu istrinya.”
Widya berdiri kaku di ambang pintu, jantungnya berdegup kencang. “Maksudnya apa?”
Priya merapikan rambutnya, nadanya pelan tapi menusuk. “Arman itu… bukan tipe orang yang gampang jatuh hati. Butuh waktu lama buat dia terbuka sama seseorang. Dan aku—aku udah ada di titik itu, jauh sebelum kamu masuk.” Priya menatap tajam. “Kami sudah melewati banyak hal bersama. Kamu ngerti kan maksudku?”
Widya menelan ludah. Ia bisa menebak arah pembicaraan itu, tapi enggan terpancing. “Setiap orang punya masa lalu, termasuk mas Arman.”
Priya terkekeh kecil, suaranya penuh sindiran. “Masa lalu? Lucu banget kamu bilang begitu. Masa lalu itu kalau cuma sebatas jalan bareng, makan bareng, itu masih ringan. Tapi aku dan Arman… lebih dari itu.”
Priya sengaja berhenti, membiarkan kata-katanya menggantung di udara.
Widya berusaha tetap tenang, meski dadanya mendadak sesak. “Apapun yang kamu dan Mas Arman pernah lakukan, itu urusan kalian berdua. Sekarang dia adalah suamiku.” balas Widya penuh percaya diri, meskipun suaranya terdengar bergetar.
Priya mencondongkan tubuh, suaranya merendah tapi menusuk. “Justru itu, aku mau bilang: jangan terlalu percaya diri. Kamu pikir gampang buat menghapus semua yang pernah kami jalani? Dia mungkin ada di sampingmu sekarang, tapi hatinya… belum tentu. Bekas aku masih ada. Kuat banget.”
Widya mengepalkan tangan di samping tubuhnya. Ada bagian dalam dirinya yang ingin membalas, tapi ia tahu Priya datang memang untuk memancing emosinya.
Priya tersenyum puas melihat raut Widya yang jelas-jelas terusik. “Aku cuma kasihan aja kalau kamu terlena dengan status. Karena pada akhirnya, kenangan aku dan Arman terlalu dalam buat kamu hapus begitu saja. Percayalah, Widya… ada hal-hal yang nggak bisa kamu kalahkan hanya dengan selembar buku nikah.”
Suasana ruang tamu hening. Widya berdiri tegak, menahan napas, berusaha menjaga ekspresi meski hatinya diguncang habis-habisan.
Priya lalu bersandar santai di sofa, kakinya disilangkan, ekspresi wajahnya seperti predator yang sudah menemukan celah. Widya masih berdiri dengan tenang, meski jemarinya terasa dingin menahan emosi.
“Aku tahu kamu lagi berusaha tegar,” ucap Priya pelan, nada suaranya setengah berbisik. “Tapi kamu nggak bisa bohongin diri sendiri. Bayangan aku itu masih ada di kepala Arman.”
Widya mengernyit, menatap langsung. “Kamu terlalu percaya diri.”
Priya tersenyum miring. “Percaya diri? Bukan, Wid. Aku cuma realistis. Arman itu… dia bukan laki-laki yang gampang melupakan. Kau pikir setelah semua yang pernah kami jalani, dia bisa langsung klik dan beralih sepenuhnya ke kamu? Mustahil.”
Priya lalu mendekat sedikit, suaranya makin tajam.
“Bahkan kalau sekarang dia mesra sama kamu, tiduran bareng kamu, bermesraan sama kamu…” Priya sengaja menahan kalimatnya, lalu melanjutkan dengan dingin, “siapa yang bisa jamin kalau di pikirannya bukan aku yang dia bayangin?”
Widya tercekat. Dada sesak, tapi wajahnya tetap ia tahan agar tidak menunjukkan luka.
Priya menatap puas, lalu menyilangkan tangan. “Kamu ngerti kan maksudku? Status istri nggak otomatis bikin kamu pusat dunianya. Bisa aja tubuhnya disampingmu, tapi hatinya masih ada di aku. Aku dan Arman itu… bukan hubungan main-main. Kamu terlalu naif kalau merasa sudah menang.”
Hening. Detik-detik berjalan lambat. Widya menarik napas panjang, mencoba menahan diri agar tidak terpancing.
“Kalau kamu kesini cuma buat ngomong hal-hal kayak gini,” suara Widya akhirnya terdengar, tenang tapi tegas, “berarti kamu memang sudah kalah dari awal. Perempuan yang benar-benar percaya diri… nggak butuh meyakinkan orang lain tentang tempatnya di hati seseorang.”
Sekilas ekspresi Priya menegang, tapi ia cepat menutupi dengan senyum sinis.
Pintu depan terdengar terbuka. Suara langkah berat menyusul, menandakan Arman baru saja pulang. Rambutnya sedikit acak, dasinya sudah longgar. Ia menghela napas panjang sebelum masuk lebih jauh ke rumah.
Di ruang tamu, pemandangan yang langsung ia dapati membuat alisnya terangkat. Priya duduk manis di sofa, sementara Widya berdiri tak jauh darinya. Suasana jelas kaku, udara terasa padat seakan baru saja ada percakapan yang tak ingin diulang.
“Priya?” suara Arman tercekat, setengah tak percaya. “Ngapain kamu di sini?”
Priya berdiri perlahan, tersenyum tipis seolah tak ada yang salah. “Kebetulan lewat, mampir sebentar. Nggak lama kok.” Nada bicaranya ringan, tapi sorot matanya penuh arti.
Arman menoleh sekilas ke Widya, berharap ada penjelasan. Tapi Widya hanya diam, menunduk sedikit, pura-pura merapikan buku di meja. Tak ada satupun kata keluar.
Priya melangkah mendekat. Saat ia melewati Arman menuju pintu, tangannya sempat menyentuh pelan lengan pria itu. Sentuhan singkat, tapi cukup untuk membuat udara di ruangan terasa bergetar.
Arman refleks menegakkan badan, raut wajahnya bingung. “Priya—”
Tapi Priya sudah menoleh sambil tersenyum miring. “Istirahatlah. Sampai ketemu lagi.” Lalu ia melangkah keluar, meninggalkan jejak aroma parfum yang masih menggantung.
Pintu tertutup. Sunyi.
Arman menghela napas, menoleh lagi ke arah Widya. “Wid… tadi dia ngomong apa sama kamu?” tanya Arman hati-hati.
Widya menoleh sekilas, matanya dingin tapi penuh api yang disembunyikan. Senyum tipis tersungging, tapi jelas-jelas dipaksakan. “Nggak ada. Biasa aja.”
Arman tahu ada yang salah, tapi ia tidak bisa memaksa. Widya sudah kembali mengalihkan pandangan, seolah sibuk dengan hal lain.
Di balik wajah tenangnya, Widya berteriak dalam hati. Sentuhan Priya tadi seperti bara yang dilempar ke dadanya. Tapi ia memilih diam. Menahan diri. Jangan sampai ada yang tahu betapa hatinya ingin meledak.
Arman menatap istrinya lebih lama, lalu mengusap wajahnya sendiri. Ada sesuatu yang jelas-jelas ia lewatkan, dan itu membuat kepalanya semakin berat.
------
Eh... kan memang😂