Selamat datang di Kos-kosan 99% Waras, tempat di mana hidup anak rantau terasa seperti sinetron komedi tanpa sutradara.
Di sinilah bowo tambun si mafia mie instan, Doni si gamer , Salsa si konten kreator sok hits, dan Mbak Ningsih si dukun Excel harus bertahan hidup di bawah aturan absurd sang pemilik kos, Bu Ratna alias Bu Komando.
Aturannya sederhana tapi kejam: siapa minum terakhir wajib ganti galon, sandal hilang bukan tanggung jawab kos, dan panci kotor bisa langsung dijual ke tukang loak.
Setiap hari ada saja drama: dari listrik mati mendadak, mie instan dimasak pakai lilin, air galon jadi rebutan, sampai misteri sandal hilang yang bikin satu kos ribut pagi-pagi.
Tapi di balik semua kekacauan itu, ada juga kisah manis yang tumbuh diam-diam. Doni dan Salsa yang awalnya hobi ribut urusan sepele malah sering kejebak momen romantis dan konyol. Sementara Bowo yang doyan ngegas gara-gara mie justru bikin cewek kos sebelah penasaran.
Satu hal yang pasti,
Bukan nilai kuliah atau ujian online yang jadi tantangan terbesar anak-anak ini, tapi bertahan hidup di kos dengan 99% kewarasan,dan penuh misteri.bagaima kelanjutan kisah percintaan mereka? stay tune guysss
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Poying22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluar Dari Bayangan
Suara napas itu semakin jelas terdengar sangat berat, panjang, dan bukan berasal dari dari mereka.
Rian langsung menyorotkan senter nya ke arah lorong gelap di belakang. Cahayanya menembus kabut debu dan memantul ke dinding yang berkarat.
Salsa berbisik pelan, “Tolong bilang itu cuma efek gema bukan suara dari makhluk lain.”
Bowo menelan ludah. “Kalau efek gema bisa ngeluarin uap dingin kayak gitu,Fix aku pensiun jadi manusia.”
Semua mundur setapak. Hawa dingin yang aneh mengalir lewat kaki mereka. Dari kegelapan, muncul sosok orang yang jalannya perlahan,kaki nya tertatih tapi nyata. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kotor penuh dengan debu dan darah yang sudah kering.
Rian hampir menjatuhkan senter. “Ayah!?”
Rama berdiri di ambang pintu lorong bawah tanah,dengan batuk keras. “Kalian… masih di sini? Suara parau itu membuat semua orang serempak membeku, antara syok dan juga lega.
Bu Ratna langsung berlari ke arahnya. “Kak! Astaga, kupikir kau..?”
“Sudah mati?” Rama tersenyum lemah. “Aku juga sempat berfikir begitu tadi.” Ia tersandar di dinding, mengatur napas. “Sistem itu memang meledak, dan sempat menolak tubuhku keluar dari inti sebelum shut down total.”
Rian memeluk ayahnya tanpa berpikir ikir panjang. “Aku kira ayah udah meninggalkan aku”
Rama menepuk pundaknya pelan. “Hei, masa ayah akan ninggalin kamu gitu aja. Wala ya, barusan ayah hampir jadi arang digital.”
Salsa mendekat sambil menatap dari atas ke bawah. “Jadi, Pak Rama ini manusia beneran kan? bukan versi hologramnya Doktor Arya?”
Rama memandangnya datar. “Kamu mau saya cubit biar yakin?”
Salsa langsung mundur tiga langkah. “Gak usah Pak, Aura manusianya udah cukup kuat, terima kasih.”
Ketegangan yang menjerat sejak tadi perlahan mencair. Doni tertawa kecil, meski suaranya masih gemetar. “Oke, sumpah ini kayak film horror yang tiba-tiba berubah jadi acara reuni keluarga.”
Mbak Ningsih yang sejak tadi menutup mata dan terus komat-kamit, akhirnya membuka mata. “Ya Tuhan, syukur lah saya pikir tadi arwahnya bakal balik nyusul kita.”
Bu Ratna membantu Rama duduk di lantai, lalu mengeluarkan botol air dari tasnya.
“Minum dulu. Kau kehabisan tenaga.”
Rama mengangguk, meneguk sedikit. “Aku harus pastikan dulu sistemnya bener-bener mati.”
Rian mengarahkan senter ke arah inti yang kini hanya berupa tumpukan logam hangus dan kabel terbakar.
“Udah gak ada cahaya, gak ada suara, cuma, ia berhenti, menatap layar kecil di sudut cuma logo A.R.Y.A yang sempat menyala tadi.
Rama menatapnya dengan lama. “Kalau cuma sisa pantulan daya, itu normal. Tapi kalau muncul lagi setelah semua sistem padam kita harus waspada.”
Lia yang dari tadi diam akhirnya bicara. “Berarti bisa aja sebagian data dia masih hidup?”
“Bisa,” jawab Rama lirih. “Tapi tanpa inti utama, dia gak bisa bertahan lama. Mungkin hanya serpihan memori yang tersisa.”
Salsa langsung menatap Rian dengan wajah yang panik. “Serpihan memori? Jadi kayak jump scare versi digital gitu?”
Bowo mencibir. “Tenang, kalau pun ada paling juga bakalan muncul di laptop kamu.”
“APA!? Jangan bercanda, Bow!” Salsa langsung menatap kameranya dengan curiga. “Jangan-jangan dari tadi dia udah masuk kesini nih…”
Rian menepuk kepalanya pelan. “Salsa, tolong ya. Kamera kamu itu merek pasar malam, bukan portal kesadaran.”
Suasana hening sebentar lalu tawa mereka pecah.
Mereka mulai naik ke tangga besi yang sama. Setiap langkah berderit pelan, tapi kini bunyinya seperti musik tanda kebebasan.
Bowo yang berjalan paling depan nyeletuk, “Nanti kalau udah keluar dari sini, sumpah aku gak mau makan mie instan selama seminggu.karena kita udah kayak zombie di ruang bawah tanah tadi.”
“Seminggu? Aku kasih dua hari juga kamu pasti udah nyerah,” sahut Doni.
Salsa menyorot kamera ke wajah mereka satu-satu. “Oke guys, ini dokumentasi penting. Hari ini kita resmi keluar dari neraka laboratorium bawah tanah. Tapi, kita kehilangan sinyal sejak dua jam yang lalu.
Bowo langsung memotong, “maka tolong lah kalian kirim uang ke rekeningku, atas nama Bowo Setiawan.”
Semua langsung ketawa. Bahkan Bu Ratna menutup mulut menahan senyum.
Rama menatap mereka semua, matanya lembut. “Kalian luar biasa. Saya tidak menyangka anak muda sekarang masih punya nyali kayak begini.”
“Kalau bukan karena nyali, mungkin karena penasaran, yah,” jawab Rian. “Dan sedikit kebodohan kolektif.”
“Sedikit?” Salsa menatapnya sinis. “Kita udah tiga kali hampir mati, Rian.”
“Ya tapi hidup kan harus punya cerita keren,” sahut Rian sambil tersenyum tipis. “Dan cerita ini gak bakal kita lupain.”
Begitu mereka berhasil naik ke lantai atas, udara luar terasa seperti anugerah.
Cahaya matahari sore menembus celah genting gedung tua itu, membuat debu berkilau seperti serpihan emas.
Mbak Ningsih langsung bersujud kecil sambil berucap syukur. “Aduh, rasanya kayak keluar dari liang kubur beneran.”
Doni meregangkan tubuhnya. “Setidaknya sekarang kita bisa bernapas lega.
Dan mungkin,tidur sepuluh tahun buat balas dendam kurang tidur malam ini.”
Salsa merekam sisa ruangan atas, lalu menoleh ke Rian. “Jadi, ini gimana? Kita laporin? Atau dikubur aja semua jejaknya?”
Rian diam beberapa detik.
Ia menatap ke arah Bu Ratna dan ayahnya. “Tante, Ayah apa kita harus buka semua ini ke publik?”
Rama menggeleng pelan. “Tidak. Dunia gak tahu tentang apa yang sebenarnya dilakukan Arya. Cukup kita pastikan tempat ini dikunci untuk selamanya.”
“Setuju,” tambah Bu Ratna. “Kalau sistem ini ditemukan oleh orang yang salah, semua bisa terulang kembali.”
Salsa menurunkan kameranya perlahan. “Berarti video ini gak boleh diunggah?”
Bu Ratna menatapnya dengan lembut. “Simpan saja, Tapi jangan pernah tayangkan yang tadi kita alami, cukup yang kemarin-kemarin saja kamu unggah.
Anggap ini kisah yang cuma kalian saja yang tahu.”
Salsa mengangguk. “Baik, Bu. Tapi kalau nanti saya bikin filmnya, saya ubah semua nama. Termasuk nama hantu digitalnya.”
“Setidaknya ganti juga nama saya,” timpal Bowo. “Aku gak mau jadi karakter yang mati duluan.”
Lia menatap mereka sambil tersenyum. “Aneh ya. Setelah semua kejadian gila ini, kalian masih sempat bercanda.”
Rian menjawab, “Ya, karena kalau kita gak bercanda, kita bakal gila beneran.”
Mereka keluar lewat pintu belakang gedung yang setengah roboh. Di luar, matahari sudah hampir muncul di balik bukit.
Langit berwarna jingga keemasan, dan untuk pertama kalinya, suasana itu terasa damai.
Rama berdiri di halaman, menatap ke arah bangunan tua itu. “Dulu tempat ini jadi awal semua bencana sekarang, biar jadi makam terakhirnya.”
Bu Ratna menatap kakaknya lama, lalu menyerahkan liontin logam milik Rama yang tadi ia simpan. “Ini punyamu, Aku kira sudah hilang.”
Rama menatapnya, tersenyum tipis. “Kau simpan saja, Ratna. Anggap itu pengingat bahwa kita pernah bertahan dari neraka digital.”
Salsa yang berdiri di belakang menepuk tangan. “Oke, boleh gak kita udahan dulu dramanya? Aku udah lapar.”
Bowo mengangkat tangan. “Setuju! Aku juga butuh minum dingin dan nasi padang level trauma.”
Doni tertawa. “Asal jangan ke warung yang sinyalnya sama kayak ‘A.R.Y.A System’. Aku gak mau pesan nasi, terus yang muncul malah ‘verifikasi kesadaran’.”
Semuanya langsung tertawa lepas. Suara mereka menggema di antara pepohonan dan tembok tua yang kini mulai ditelan senja.
Tapi ketika mereka mulai berjalan meninggalkan lokasi itu, kamera Salsa yang masih menyala menangkap sesuatu.
Di layar kecilnya, di pojok kiri bawah, muncul satu garis data biru seperti kilatan listrik yang cepat sekali lewat. Salsa berhenti, dan memandangnya dengan dahi berkerut.
“Eh, aneh deh barusan kamera nya nyala sendiri,” gumamnya.
Bowo menoleh. “mungkin Kamera kamu rusak lagi tuh.”
“Enggak, Bow. Ini bukan error biasa. Kayak ada…,” Salsa menghentikan ucapannya, menatap layar lebih dekat. Satu kata muncul samar sebelum hilang lagi:
Hello.
Salsa terdiam membeku, tapi sebelum sempat berbicara, Rian menepuk pundaknya.
“Ayo, buruan. Jangan bengong, kita cari makan dulu.”
Salsa menatap lagi layar kameranya tapi tulisan itu sudah hilang.
Ia menghela napas cepat, lalu mematikan kamera sepenuhnya. “Iya deh, lapar dulu baru panik.
Malam itu, mereka berkumpul di warung pinggir jalan dekat terminal kecil.
Satu meja besar penuh dengan nasi padang, teh manis, dan tawa yang belum pernah selegah ini.
Doni bersandar di kursi, menepuk perut. “Gila, rasanya kayak makan setelah perang dunia.”
Lia tertawa. “Ya emang kayak perang dunia sih, cuma bedanya musuhnya laptop hidup.”
Rama menatap mereka semua dengan bangga. “Kalian anak muda yang luar biasa. Kalau dulu saya punya tim kayak kalian, mungkin semuanya gak akan seburuk ini.”
“Kalau dulu Bapak punya kami, kemungkinan kami udah dipecat juga sih, Pak,” celetuk Bowo. “Soalnya saya males lembur.”
Salsa nyaris menyembur teh manisnya. “Astaga, Bow. Tolong jaga ucapan, kita baru selamat, bukan baru daftar kerja.”
Bu Ratna tersenyum lembut memandang semuanya. Ada rasa damai yang lama sekali tidak ia rasakan.
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu sesuatu belum sepenuhnya selesai.
Malam itu, di kejauhan, langit bergetar samar seolah ada kilatan biru kecil di balik awan.
Tak ada yang menyadarinya, kecuali satu suara samar dari dalam kepala Bu Ratna sendiri:
“Kau pikir aku mati, Ratna? Kau lupa sistem tidak pernah benar-benar padam.”
Bu Ratna menatap ke arah langit gelap itu, diam. Lalu tersenyum kecil, getir tapi tenang.
“Kalau kau masih hidup, Arya maka aku juga belum selesai.”
Di warung itu, tawa mereka kembali pecah. Rian sedang berdebat dengan Bowo soal siapa yang paling pengecut di ruang bawah tanah.
Salsa merekam semuanya, dan Lia menambahkan teks lucu di ponselnya.
Rama duduk di ujung meja, menatap ke arah anaknya dengan tatapan lega bercampur bangga.
Satu keluarga yang dulu hancur kini menemukan arti baru tentang bertahan.
Dan di luar sana, di laboratorium tua yang sudah padam…di balik reruntuhan kaca dan besi hangus, satu lampu kecil tiba-tiba menyala. Tulisannya hanya satu kata sederhana:
> ARYA: RECOVERING… 0.3%