NovelToon NovelToon
Berjalan Di Atas Luka

Berjalan Di Atas Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Pernikahan Kilat / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Dijodohkan Orang Tua / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: Dina Aisha

Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.

Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.

Bagaimana kisah mereka selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pemakaman

Giandra berlari masuk ke rumah dengan napas tersengal. Langkahnya mendadak terhenti begitu melihat Anin duduk di samping Erni yang terbaring kaku di atas tikar.

Keheningan menyelimuti ruangan itu. Hanya isak pelan Anin yang terdengar lirih. Giandra mendekat dengan langkah gontai dan napas yang memburu. “Apa yang terjadi?” Suaranya serak, bahkan nyaris tak terdengar.

Anin mengangkat wajah, menatap Giandra dengan mata bengkak dan sembap. “Aku nggak tahu, Mas. Aku tadi cuma ke tukang sayur dan pas pulang ... Tubuh Erni udah kaku.”

Giandra membisu. Dunia seolah berhenti berputar. Dalam hitungan detik, tubuhnya ambruk di lantai. Dia menatap kosong wajah putrinya yang kini terbujur tanpa nyawa.

“Kenapa kamu tinggalin Bapak dan Ibu, Nak? Apa kami nggak cukup baik sebagai orangtua?” gumam Giandra sembari menunduk. Perlahan, air mata mengalir, jatuh menimpa pipi dingin Erni.

“Ibu, Bapak ....” Suara kecil terdengar dari belakang. Giandra dan Anin menoleh serempak. Anggi berdiri di dekat mereka dengan tubuh gemetar dan mata yang berkaca-kaca.

“Sini, Nak,” panggil Anin sembari merentangkan kedua lengannya.

Anggi langsung berlari dan memeluk Anin erat-erat. “Dede baik-baik aja, kan, Bu?” tanyanya.

Anin tak sanggup menjawab. Isak tangisnya kembali pecah, dan mengguncang tubuhnya. Sementara Anggi ikut terisak dalam dekapannya.

“Maafin aku ... Dede meninggal karena aku,” ucap Anggi di sela-sela tangisnya.

“Apa maksudmu?” tanya Giandra, menatap putrinya tajam.

“Waktu bude suapin pisang ke dede, aku cuma diam aja,” jawab Anggi jujur.

Anin dan Giandra terdiam, saling memandang. Tanpa berkata, Giandra bangkit, dan melangkah cepat menuju kamar Sri yang tertutup rapat.

Tok, tok, tok ....

“Keluar kau, Sri!! Aku tahu kau ada di dalam!!” teriak Giandra, suaranya menggelegar disertai dentuman pintu yang dia gedor berulang kali.

Tak berselang lama, pintu terbuka. Sri muncul dengan wajah bingung. “Ada apa, Gian?”

BUKK!

Satu pukulan keras mendarat di pipinya. Sri terperanjat, matanya membelalak, dan tangannya memegangi pipinya yang terasa nyeri.

“Apa yang kau lakukan, Gian? Kenapa kau memukul aku?” tanya Sri dengan suara bergetar.

“Tidak tahu diri!! Kami sudah menerima kamu di keluarga ini tapi kamu malah membunuh Erni!!” raung Giandra dengan mata merah menyala, dan rahang menegang menahan amarah.

“Apa maksudmu? Aku tidur dan baru bangun karena dengar suara kamu,” bantah Sri.

“Bude jangan bohong! Aku lihat semuanya ...” potong Anggi sembari sesenggukan.

“Anggi! Kamu masih kecil, tapi bisa-bisanya kamu fitnah Bude!” bentak Sri.

Anggi menatap Anin dan menggeleng pelan.

“Akui aja perbuatanmu, Kak. Anak kecil nggak mungkin bohong apalagi tentang kematian adiknya,” tutur Anin lirih.

Sri menggeleng kencang, meraih tangan Giandra, dan menggenggamnya erat. “Tolong, percaya sama aku, Gian ... Kamu sudah mengenal aku lama jadi kamu pasti tahu aku nggak mungkin lakukan hal seperti itu,” katanya.

Giandra menepis kasar genggaman itu. “Kamu pikir aku bodoh?” Dia mencengkeram dagu Sri, kemudian membenturkan kepalanya ke tembok.

“Cukup, Mas!!” teriak Anin, kemudian berlari mendekat, dan memeluk tubuh Giandra yang gemetar karena amarah. “Aku nggak mau kamu jadi pembunuh juga,” tambahnya.

“Benar, Mas Gian. Lebih baik kita serahkan ke polisi saja,” ujar salah satu tetangga.

“Memangnya saya salah apa? Saya tidak salah apa-apa!!” seru Sri, mencoba membela diri.

“Halah, mana ada penjahat ngaku! Kalau ada pasti penjara udah penuh,” sahut warga lain.

Sri melotot, memutar kursi rodanya, hendak kabur. Namun, Giandra mencengkeram rambut Sri, dan menariknya hingga kepala wanita itu mendongak, menatap matanya yang membara.

“Aku nggak akan melepaskanmu meski kau lari ke ujung dunia sekalipun!” desis Giandra.

Sri tertegun, wajahnya tampak memucat. Giandra menendang kursi roda itu hingga terguling, membuat tubuh Sri tersungkur ke lantai.

“Bawa dia ke kantor polisi tanpa kursi roda! Kursi roda itu dibeli dengan uang kami dan aku nggak sudi, dia memakainya lagi!!” tegas Giandra.

Warga langsung menyeret Sri keluar rumah. Sementara Giandra dan Anin kembali duduk di sebelah jenazah putri kecil mereka.

“Maafin Ibu, Nak ... Ibu gagal menjaga kamu,” ucap Anin dengan nada lirih.

“Ini bukan salahmu, tapi salah Sri. Aku pastikan dia membusuk di penjara!!” seru Giandra dengan dada naik-turun menahan emosi.

Beberapa jam kemudian.

Di bawah langit mendung, Anin dan Giandra berjongkok di depan pusara kecil bertuliskan nama Erni Sarasvati Wijaya.

“Berat rasanya melepasmu, Nak. Tapi kami nggak punya pilihan lain. Kami nggak sanggup lihat tubuh kaku kamu lama-lama di rumah,” ucap Anin sembari menyentuh papan nisan putrinya.

Giandra mengusap lembut punggung istrinya, lalu menyandarkan kepala Anin di bahunya. “Tunggu kami di surga ya, bidadari kecil. Terima kasih udah menikah kami jadi orangtuamu,” tuturnya parau, menahan sesak.

“Kami pulang dulu ya. Erni harus bahagia di sana. Ibu dan Bapak akan selalu datang untuk menjenguk kamu,” ujar Anin.

Mereka bangkit perlahan. Giandra menggenggam tangan Anin, lalu menuntunnya keluar dari pemakaman. Namun, langkah mereka terhenti ketika melihat Astri dan Hanung berdiri tepat di depan gerbang TPU.

“Dasar istri tidak berguna! Disuruh jaga anak saja tidak bisa!!” hardik Astri dengan tatapan tajam yang menusuk Anin.

“Jaga ucapan Ibu! Ini semua bukan salah Anin, tapi salah Sri!” seru Giandra tegas.

Hanung menyeringai dingin. “Siapa suruh kalian memungut sampah yang sudah aku buang? Makanya jangan naif jadi orang.”

Giandra terpaku, menatap Hanung sejenak, kemudian melangkah melewati Hanung dan Ibunya tanpa sepatah kata pun.

“Itu akibatnya kau durhaka pada Ibu,” sindir Astri.

Giandra tak menggubris. Dia menggenggam tangan Anin lebih erat, menuntunnya masuk ke mobil, lalu meninggalkan makam dan semua luka yang takkan pernah benar-benar sembuh.

1
Dina Aisha
anin emg agak lola org nya 🤣🤣
Adi Sudiro
si anin lebai bukanya minta pertolongan atau telfon polisi..... halah cerita 🤭🤭🤭🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!