[Cerita ini hanyalah khayalan Author sahaja, maklum masih pemula.]
Mengisahkan tentang seorang pekerja keras yang rela mengorbankan segalanya demi menyelesaikan tugasnya. Namun, karena terlalu memaksakan diri, dia tewas di tengah-tengah pekerjaannya.
Namun takdir belum selesai di situ.
Dia direinkarnasi ke dunia sihir, dunia isekai yang asing dan penuh misteri. Sebelum terlahir kembali, sang Dewa memberinya kekuatan spesial... meskipun Rio sendiri tidak menyadarinya.
Tujuan Rio di dunia baru ini sederhana, ia hanya ingin melakukan perjalanan mengelilingi dunia, sesuatu yang tak pernah ia lakukan di kehidupan sebelumnya. Tapi tanpa disadarinya, perjalanan biasa itu akan membawanya ke takdir besar…
Di masa depan yang jauh, Rio akan berdiri sebagai sosok yang menentang Raja Iblis Abyron.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KHAI SENPAI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3 tahun kemudian....
Dunia sudah banyak berubah... begitu juga dengan bocah yang dulu bernama Rio Akagami.
Kini, dia bukan lagi sekadar anak kecil berkekuatan misterius...melainkan seorang remaja dengan kekuatan, tekad, dan beban masa lalu yang jauh lebih berat.
Di balik matanya yang tajam, tersembunyi kenangan akan janji, pertempuran, dan sebuah tujuan yang belum selesai...
Menjadi Assassin terkuat dalam sejarah..."
Itu adalah tekad yang terus membara dalam hati seorang remaja bernama Rio Akagami.
Kini, Rio telah berusia 15 tahun.
Di sebuah pegunungan sunyi yang tersembunyi dari dunia luar, Rio berdiri sendirian di atas bebatuan tinggi. Tubuhnya kini tak seperti bocah 12 tahun dulu. Ia berdiri tanpa mengenakan baju, memperlihatkan tubuh yang mulai berotot, penuh goresan luka latihan dan bekas tempaan keras selama tiga tahun terakhir.
Keringat menetes dari dahinya, mengalir melewati dada dan perut yang sudah membentuk garis otot. Tangannya terangkat, meninju udara, lalu mendaratkan tendangan cepat ke pohon besar di depannya.
Suara "DUGH!!" keras terdengar.
Batang pohon retak seketika... menandakan kekuatan fisik yang tak lagi biasa.
Rio melompat mundur, lalu bergerak dengan kecepatan tinggi seperti bayangan, berpindah dari satu batu ke batu lain. Setiap langkahnya ringan, tapi presisi. Gerakannya seimbang, seperti predator yang sudah terlatih.
"Tiga tahun... tapi rasanya seperti sekejap."
"Aku belum berada di puncak... Tapi aku sudah jauh dari diriku yang dulu."
Tangannya mengepal, dan tatapan matanya masih tajam. Meskipun tubuhnya mulai tumbuh dewasa, wajahnya tetap tenang dan dingin....tak banyak bicara, tapi penuh tekad.
Angin gunung menerpa rambut hitamnya, membawa udara dingin ke tubuhnya yang berkeringat. Tapi Rio tidak bergeming.
Setelah menyelesaikan serangkaian latihan fisik di pegunungan, Rio menarik napas dalam-dalam.
Keringat masih menetes dari dahinya ke dagu, tapi matanya tetap tenang, seakan latihan barusan hanya sekadar pemanasan biasa.
“Akhirnya udah selesai pemanasannya,” gumam Rio sambil menurunkan tangan dan menggelengkan kepalanya pelan.
Ia melihat langit sebentar, matahari mulai naik tinggi, menandakan hari sudah siang.
Tanpa banyak bicara lagi, Rio mengambil handuk yang tergantung di dahan pohon terdekat, menyekanya sebentar, lalu berbalik arah.
“Langsung mandi ah…” katanya santai dengan suara pelan, namun masih terdengar aura tenang dan dingin khas dirinya.
Dengan langkah ringan, dia pun berjalan turun menuju rumah kayu kecil tempat tinggalnya, rumah yang dibangun ayahnya di pinggiran hutan pegunungan, jauh dari keramaian... tempat di mana seorang Assassin terkuat mulai ditempa.
Setelah selesai mandi, Rio mengenakan pakaian hitam sederhana khasnya.....bersih, namun tetap mencerminkan aura seorang Assassin.
Uap hangat masih keluar dari rambutnya yang basah, dan wajahnya terlihat segar meskipun tetap membawa kesan dingin dan tenang.
Ia berjalan menyusuri lorong kayu rumah mereka yang sederhana namun hangat, sambil mengeringkan rambutnya perlahan dengan handuk kecil.
Begitu sampai di ruang utama, ia melihat kedua orang tuanya sedang duduk di meja, menikmati teh pagi.
Rio pun melangkah mendekat tanpa suara, namun ayah dan ibunya langsung menyadari kehadirannya.
“Pagi,” sapa Rio singkat sambil menatap mereka dengan tatapan kalem.
Ibunya, Tasya, langsung tersenyum hangat.
“Sudah selesai latihan ya?” tanyanya lembut.
Ayahnya, Akagami Zero, hanya mengangguk tipis sambil memperhatikan anaknya dari ujung cangkir teh.
Rio duduk di hadapan mereka, lalu berkata dengan tenang:
“Mulai hari ini, aku ingin meningkatkan latihanku lebih dari biasanya. Aku merasa... waktu semakin dekat.”
Keduanya saling bertukar pandang sejenak, tapi tidak berkata apa-apa. Mereka tahu, putra mereka bukan lagi anak kecil yang dulu pulang terlambat sambil tersenyum meminta maaf.
Sekarang, dia adalah calon legenda yang sedang menuju takdirnya.
Setelah duduk sejenak bersama orang tuanya, Rio menatap mereka dengan sorot mata serius.
"Oh ya, Ayah, Ibu... apa besok aku boleh mulai mengembara ke kota lain?" tanyanya perlahan, namun mantap.
Pertanyaan itu membuat suasana hening sejenak.
Ayahnya, Zero, menatap tajam ke arah putranya. Sementara ibunya, Tasya, terlihat sedikit cemas tapi tetap tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan hatinya.
Akhirnya, Zero berkata dengan suara tenang namun penuh wibawa:
"Iya, Rio... karena kau sudah genap 15 tahun... Maka Ayah izinkan kau untuk mengembara, mencari jalanmu sendiri. Mungkin... hingga kau menjadi Assassin terkuat dalam sejarah, seperti yang kau impikan."
Tapi kemudian, tatapan mata Zero berubah lebih serius.
"Tapi ada satu syarat."
Rio menatap wajah ayahnya dengan penasaran.
"Apa syaratnya, Ayah?"
Zero menjawab, perlahan tapi penuh makna:
"Kau harus pulang ke sini lagi... tanpa satu luka pun di tubuhmu."
Mata Rio sedikit membelalak, terkejut mendengar syarat yang begitu berat, bukan karena sulit, tapi karena makna di baliknya. Ia menggertakkan giginya sebentar, lalu tersenyum tipis dan maju memeluk kedua orang tuanya.
"Iya, Ayah... Aku janji akan mengingat syarat itu. Terima kasih... karena telah membenarkan aku pergi."
Tasya tak mampu menahan air matanya yang jatuh pelan, sementara Zero mengelus kepala anaknya dengan lembut namun bangga.
Dan di tengah pelukan hangat itu, Rio berkata jujur dari hatinya.
"Aku sangat menyayangi kalian berdua... Ayah, Ibu."
Keduanya terdiam sejenak, terkejut mendengar kalimat itu yang begitu tulus.
Lalu mereka tersenyum... bukan sebagai orang tua dari seorang bocah, tapi dari anak yang telah tumbuh menjadi pemuda yang siap menapaki jalannya sendiri di dunia yang keras.
lanjut
semangattt/Determined//Determined/
kenapa gk dibuat 180 gitu thor, sekalian halunya🤣