Di kehidupan sebelumnya, Emily begitu membenci Emy yang di adopsi untuk menggantikan dirinya yang hilang di usia 7 tahun, dia melakukan segala hal agar keluarganya kembali menyayanginya dan mengusir Emy.
Namun sayang sekali, tindakan jahatnya justru membuatnya makin di benci oleh keluarganya sampai akhirnya dia meninggal dalam kesakitan dan kesendiriannya..
"Jika saja aku di beri kesempatan untuk mengulang semuanya.. aku pasti akan mengalah.. aku janji.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18
Sejak malam penuh teguran itu, Emily perlahan berubah, dia jarang keluar kamar dan menjadi lebih penyedia.
Di meja makan, dia hanya menunduk. Sendok di tangannya bergerak pelan, tanpa selera. Ayah lebih sering berbicara dengan Ethan atau Emy, seolah Emily hanyalah bayangan yang tak layak disapa.
“Emily, kenapa tidak habiskan makanmu?” tanya Ethan suatu pagi.
Emily tersenyum tipis, “Nggak lapar, Kak.”
Jawaban singkat itu membuat suasana semakin canggung. Ethan ingin bertanya lebih jauh, tapi tatapan ayah yang dingin membuatnya mengurungkan niat.
Setiap pulang dari kampus, Emily tidak lagi duduk di ruang tamu atau bercengkerama dengan keluarga, dia langsung masuk ke kamarnya, menutup pintu rapat-rapat.
Untung saja Emily masih di perkenankan ayahnya mengikuti perkuliahan, meskipun begitu saat berada di rumah, dirinya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar bersama buku sketsa yang makin penuh dengan coretan.
Lukisannya pun berubah.
Dulu penuh warna cerah, kini didominasi abu-abu dan hitam pekat. Gambar seorang gadis berdiri sendirian di bawah pohon tanpa daun sering muncul berulang, seolah itu adalah potret dirinya sendiri.
Reyhan, sopir keluarga, sempat beberapa kali mengetuk pintu membawakan makanan. Tapi Emily hanya berkata dari dalam, “Taruh saja di meja, Kak Rey.”
Jarang sekali dia keluar kamar kecuali untuk kuliah.
Emy, di sisi lain, menikmati perubahan itu, dia selalu tampil manis di depan ayah, dengan penuh kepedulian pura-pura.
"Ayah, sepertinya Kak Emily sedang sibuk… jangan diganggu dulu, ya." Kalimat itu terdengar perhatian, padahal sesungguhnya seperti pagar tinggi yang semakin memisahkan Emily dari keluarganya.
Ayah semakin jarang melirik Emily. Kalau pun bertemu, yang ada hanya tatapan dingin penuh kecurigaan.
Emily pun berhenti berharap, dia tidak lagi mencoba menjelaskan apa pun, tidak lagi membela diri.
Diam-diam, dia mulai mencari pelarian di luar. Perpustakaan kampus jadi tempat favoritnya, atau taman kecil di belakang fakultas seni, di mana dia bisa melukis tanpa gangguan.
Dunia barunya adalah selembar kanvas, kuas, dan warna-warna yang menjadi bahasa pengganti kata-kata yang tak bisa ia ucapkan pada keluarganya.
Namun, semakin jauh Emily menjauh, semakin renggang pula ikatannya dengan ayah dan Ethan.
Dan tanpa ia sadari, itu adalah celah yang paling diinginkan Emy, celah untuk menguasai sepenuhnya tempat Emily di hati keluarga.
***
Beberapa bulan kemudian, rumah keluarga Hambert malam itu terasa lebih hidup dari biasanya.
Para pelayan mondar-mandir menyiapkan pakaian formal, sepatu mengkilap, dan berkas-berkas untuk sang kepala keluarga.
Malam itu, Ayahnya akan menghadiri pertemuan penting dengan para pebisnis besar.
Di ruang tamu, Emily duduk di kursi empuk paling ujung, memandangi hiruk-pikuk itu. Sebenarnya, dia sudah tahu dirinya tidak akan diajak. Beberapa kali kesempatan seperti ini datang, dan dia selalu menjadi “yang tertinggal.”
“Emy, jangan lupa kau dampingi ayahmu. Banyak tamu yang ingin mengenalmu,” suara sang ayah terdengar jelas, penuh wibawa.
“Baik, Ayah.” Emy tersenyum manis, berjalan menghampiri ayahnya lalu meraih lengan beliau dengan manja. Gestur itu menohok hati Emily, seolah gadis itu benar-benar anak emas.
Ethan pun sudah berdiri rapi dengan jasnya. Sebagai putra sulung, dia tentu menjadi bayangan ayah di setiap kesempatan bisnis. Malam ini pun, dia ikut serta.
Emily menelan ludah. Ia mencoba bersikap biasa saja, tapi jiwanya seperti diiris. Ia ingin sekali mendengar ayah berkata, "Emily, kau ikut juga. Kau bagian dari keluarga ini." Namun kalimat itu tak pernah ada.
"Emily, kau tidak keberatan sendirian, kan?" suara Emy mendadak menyentak lamunannya. Pertanyaan itu terdengar polos, tapi ada guratan sinis samar yang hanya Emily yang bisa menangkapnya.
"Aku… tidak apa-apa."
Jawaban itu keluar dengan nada getir.
Sang ayah hanya melirik sekilas, tidak ada rasa iba atau perhatian. "Jangan keluar macam-macam. Rumah ini besar, manfaatkan waktu untuk beristirahat."
Emily mengangguk. Di hadapannya, ketiga orang yang seharusnya paling dekat dengannya yaitu ayah dan kakaknya berdiri gagah hendak pergi bersama. Hanya dirinya yang ditinggalkan.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil mewah meraung. Dari jendela, Emily melihat siluet mereka di dalam mobil, bercengkerama, lalu menghilang di balik gerbang tinggi rumah itu.
Keheningan pun menyelimuti.
Kini Emily berdiri di ruang tamu yang kini kosong. Sepi. Terlalu sepi. Dia merasa seperti hantu yang terkurung dalam rumah megah ini. Tangannya mengepal.
'Kenapa aku selalu ditinggalkan? Apa aku begitu tak berharga?'
Pikirannya berputar. Ingatan tentang teguran ayah, tatapan dingin, serta fitnah yang dilontarkan Emy tempo hari kembali menyeruak.
Tidak. Malam ini dia tidak akan tinggal diam, jika dulu dia bisa pergi dari rumah itu dengan bebas, kenapa sekarang tidak?
Toh nantinya mereka juga tidak akan mencari keberadaannya..
Dia berjalan pelan ke kamarnya, membuka lemari, pandangannya tertuju pada koper biru yang dulu dia pakai saat pertama masuk kuliah.
Tanpa banyak ragu, dia menariknya keluar. Satu per satu bajunya di lipat, dia memasukkannya ke dalam koper.
Buku-buku sketsanya, cat air, kuas, dan tak lupa dengan lukisan milik ibunya, semuanya dia selipkan dengan hati-hati.
Tangannya sempat berhenti di sebuah foto keluarga yang terletak di meja kecil. Foto itu diambil beberapa tahun lalu, ketika dia masih remaja dan baru kembali ke keluarga itu
Mereka tampak tersenyum, bahkan ayah terlihat begitu hangat dengan kedua anak perempuannya. Emily menatap lama, kemudian perlahan meletakkannya kembali.
“Yang ada di foto itu bukan lagi keluargaku,” gumamnya lirih.
Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Para pelayan sudah kembali ke bilik mereka, suasana rumah semakin sunyi. Emily menarik kopernya ke pintu depan.
Setiap roda koper yang berdecit menimbulkan gema di koridor panjang, seakan rumah itu ingin menahan kepergiannya.
Namun tekadnya sudah bulat.
Dia membuka pintu pelan, menatap halaman luas yang biasanya terasa mencekam baginya. Malam ini, entah kenapa, terasa seperti gerbang kebebasan.
Kaki kecilnya melangkah keluar. Angin malam menyapu wajahnya, membawa aroma dedaunan yang segar. Jantungnya berdegup cepat, tapi bukan karena takut, melainkan semangat baru yang mulai tumbuh.
Emily menutup pintu tanpa suara. Tidak ada salam perpisahan, tidak ada pesan tertinggal.
Jalanan sepi ketika ia menunggu bus kota di halte terdekat. Sesekali orang lewat memandang aneh gadis muda yang berdiri dengan koper besar, tapi Emily tidak peduli. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari rumah itu.
Bus akhirnya datang, pintunya terbuka. Emily naik, duduk di kursi dekat jendela. Dari sana ia bisa melihat samar-samar rumah besar keluarganya di kejauhan. Rumah yang selalu tampak kokoh, tapi baginya tidak lebih dari penjara.
Air mata akhirnya jatuh. Tapi kali ini bukan hanya karena sakit hati, melainkan juga karena lega.
“Selamat tinggal.. lagi..” bisiknya.
Perjalanan malam itu membawanya ke pusat kota. Emily tidak punya tujuan jelas, dahulu dia kembali ke pemukiman kecil, namun sekarang mau tak mau dia harus berada dekat dengan kampusnya.
Dia pun ingat bahwa ada seorang dosen seni yang menyinggung tentang sebuah rumah kos kecil dekat fakultas.
Emily turun dari bus, menarik koper di trotoar yang diterangi lampu jalan kuning pucat.
Di depannya ada apartement bertingkat yang menurutnya layak karna dekat dengan kampusnya.
"Permisi.."
Seorang satpam keluar dari ruang keamanan, mempersilahkan Emily masuk untuk berbincang dengan pemilik apartement.
'Di kehidupan ini.. lagi-lagi aku memilih pergi, tapi semoga saja aku hidup lebih lama.. ya! Aku akan memulai hidup sehat, setidaknya agar aku tidak mati di umur 23.. ehm.. umur 27 kayaknya bagus.. setelah menghabiskan uang hasil melukis ku"