Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Umar berdiri di depan pintu rumah kontrakan Airin, wajahnya sedikit menunduk sambil memegang tas Nay dengan hati-hati.
“Airin, makasih banget ya. Kamu memang sahabat yang nggak ada duanya, udah kasih tumpangan gratis buat Nay,” ucapnya pelan, nada suaranya bergetar penuh rasa terima kasih.
Matanya melirik ke arah Nay yang sedang mengobrol hangat dengan Airin, lalu dadanya sesekali berdebar was-was.
Dalam hati, Umar bertanya-tanya,
“Apa Nay nyaman di sini? Apa Airin nggak terganggu dengan kehadiran kami?”
Tangannya meremas-remas pegangan tas, cemas namun juga bersyukur punya sahabat sebaik Airin.
Sambil memeriksa kembali barang bawaan Nay, pikirannya melayang pada janji tak terucap.
“Aku harus bisa jadi yang lebih baik buat Nay dan Airin. Dan mungkin, lebih peduli sama orang lain yang butuh bantuan.”
Pagi itu, udara masih sejuk saat Umar dan Nay bersiap berangkat ke Semarang. Nay menoleh ke arah Airin, dosen muda cantik yang selama ini jadi penopang semangat mereka, dan tersenyum hangat sebelum berpamitan..
Kedua wanita muda itu saling berpandangan, seolah masih terjebak dalam sisa malam yang baru saja berlalu. Nay tampak termenung, matanya menatap kosong ke arah jauh, mengingat betapa lama dan seriusnya obrolan mereka dengan Airin hingga fajar merekah.
“Obrolan semalam... rasanya ringan sekali beban di dada,” gumam Nay pelan, bibirnya membentuk senyum tipis yang penuh kelegaan.
Airin menarik napas panjang, wajahnya pun melunak. Setelah sekian lama, akhirnya Nay membuka diri, berbagi segala rasa cemas yang selama ini disimpan rapat, termasuk kekhawatiran soal jodoh yang diatur orang tua. Umar sendiri belum tahu seberapa dalam Nay curhat tentang hati yang terbelah, antara janji yang terikat dan perasaan yang sulit disangkal. Airin menutup matanya sejenak, membayangkan kegelisahan Nay.
“Bagaimana mungkin Umar bisa rela dengan rencana jodoh yang tak dia pilih? Sedangkan hati Nay sudah terluka begini dalam... Kenapa tak ada perlawanan demi kebahagiaan mereka?” pikirnya getir, mengenang percakapan malam itu yang penuh rahasia dan harapan.
Nay menarik napas panjang, matanya menatap dalam ke arah Airin.
"Terima kasih, Airin. Aku harap, di Semarang nanti, aku benar-benar bisa menemukan jawaban atas semua yang membebani hatiku."
Suaranya lirih, tapi penuh harap.
Airin tersenyum hangat, menepuk bahu Nay dengan lembut.
"Umar, jangan ragu untuk datang ke rumahku kapan saja. Aku tahu kamu ingin yang terbaik untuk Nay." Ia menatap Umar dengan penuh arti.
"Kalau Nay liburan ke Jakarta lagi, ajak dia menginap, ya. Aku akan sambut dia dengan senang hati."
Mata Airin berkilat saat ia memberi peringatan tulus,
"Ingat, Nay itu wanita baik. Jangan sia-siakan dia, Umar. Jagalah hatinya."
Kemudian, tanpa kata, Airin merangkul Nay erat, seolah ingin menyalurkan semangat dan kekuatan. Nay merasakan kehangatan itu dan sedikit tertekan di dada, mengingat dilema yang menghimpit Umar, pria yang sudah berencana menikah dengan orang lain, tapi tetap menaruh perhatian pada dirinya. Di sudut hatinya, Umar tampak terperangkap dalam rasa bingung yang dalam, tanpa tahu harus memilih jalan mana.
Umar menatap kosong ke depan, dadanya terasa sesak.
"Apa yang harus kulakukan?" pikirnya berputar tanpa henti.
Hatinya terombang-ambing, antara tetap bersama tunangannya yang selama ini sudah dikenalnya, ataukah Nay, yang entah mengapa semakin hari makin sulit dia lupakan. Matanya menutup sesaat, mencoba menenangkan badai perasaannya.
"Kak Airin, terima kasih banyak," suara Nay teriris, saat dia melangkah pergi meninggalkan rumah Airin. Umar mengangguk pelan, tanpa tahu harus berkata apa.
Di dalam mobil, sunyi mengisi ruang. Nay menatap keluar jendela, bibirnya mengeras, sedangkan Umar menggenggam setir dengan tangan sedikit gemetar. Perasaan campur aduk sulit ia sembunyikan, antara lega karena bisa mengantar Nay pulang ke Semarang, sekaligus gelisah menghadapi masa depan yang tak pasti.
Rencana menemui orang tuanya dan mengenalkan Nay semakin menekan dada Umar. Citra, wanita yang dijodohkan orang tuanya, seolah menjadi bayangan yang tak bisa ia hindari.
Di perjalanan panjang itu, pikirannya berkecamuk, mencari celah terbaik agar semua pihak, termasuk dirinya, Nay, dan tunangannya, bisa merasakan kedamaian. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa memandangi jalan, berharap jawaban datang seiring jarak yang terus bertambah.
Saat waktu Azhar tiba, Umar menarik mobil ke tepi SPBU. Dia menatap Nay di sebelahnya, lalu mengajak,
“Nay, kita berhenti dulu, sholat dan istirahat sebentar, yuk.”
Wajah Umar teduh, seolah tahu ada sesuatu yang mengganjal di pikiran temannya itu. Mereka keluar dari mobil. Udara sore yang sedikit dingin menyambut. Umar mengajak Nay berjalan tak jauh dari situ. Matanya tertuju pada warung sate kambing dan ayam yang terlihat sederhana tapi ramai. Dengan senyum ringan, Umar berkata,
“Kita makan sate dulu yah, Nay. Biar perut nggak kosong.”
Nay hanya mengangguk pelan, wajahnya tak banyak berekspresi. Padahal di perjalanan, Umar sudah menyiapkan segudang snack dan cemilan.
“Kamu nggak lapar?”
Umar sempat bertanya, tapi Nay hanya menarik napas dalam-dalam, menghindar dari tatapan teman baiknya itu. Setelah makan, Umar menuntun Nay kembali ke mobil. Suasana hening ikut melekat. Saat menghidupkan mesin dan mulai melaju pelan meninggalkan SPBU, Umar akhirnya memberanikan diri bertanya,
“Nay, dari tadi kamu diam. Apa lagi yang kamu pikirin?”
Nay menatap kaca jendela, napasnya berat seakan menahan sesuatu yang sulit diungkapkan. Tangannya mengepal di pangkuan, menandakan perjuangan batin yang tak terlihat.
Nay menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa penasaran yang semakin menggelora.
"Sebenarnya aku ingin bertanya sesuatu, Mas Umar. Tapi nanti saja, saat kita sudah sampai di Semarang," ucapnya sambil mengalihkan pandang, berusaha terlihat santai.
"Lagipula, ini bukan hal penting, cuma rasa penasaran saja."
Umar mengerutkan keningnya, menatap Nay dengan tatapan tajam penuh ingin tahu.
"Kenapa harus nanti? Katakan sekarang juga, Nay!" Suaranya mengandung nada desakan yang tak bisa disembunyikan.
Nay tertawa pelan, senyumnya merekah di wajahnya. "Nanti saja, Mas. Yang penting kita masih bersama sekarang."
Mendengar itu, Umar terkekeh sambil mengusap lembut puncak kepala Nay. Matanya berbinar hangat.
"Aku benar-benar bahagia bisa melakukan perjalanan ini bersamamu."
Tatapan Nay mengisyaratkan kepercayaan dan harap.
"Insyaallah, setelah ini kita akan sering berpetualang bersama. Aku punya rencana spesial untukmu, yang kuberikan nanti saat kita sampai di Semarang."
Dalam hati Nay berputar pertanyaan yang tak berhenti: bagaimana Umar bisa menyelesaikan masalah dengan orangtuanya soal perjodohan itu? Matanya menyipit, menahan gelombang kebimbangan yang mulai menguasai pikirannya. Tapi ketika melihat Umar, dengan tatapan penuh keyakinan dan tekad, hatinya sedikit mereda. Cinta Umar pada Nay terasa begitu kuat, seperti benteng yang kokoh menahan badai keraguan.
“Aku hanya takut, Mas... pekerjaan ku gimana nanti kalau kita benar-benar menikah?”
Nay menarik napas dalam, suaranya bergetar pelan. Umar terkekeh pelan, lalu dengan lembut mengusap kepala Nay, seolah ingin mengusir semua ketakutan itu.
“Tenang, Sayang. Aku akan cari cara terbaik untuk kita. Aku janji, aku akan perjuangkan ini buat kita.”
Nay mengangguk pelan, berharap kata-kata itu bukan hanya janji di angin, tapi nyata yang akan menyatukan mereka selamanya.
Umar menatap Nay dengan penuh perhatian, suaranya lembut tapi tegas, "Jangan khawatir, Nay! Aku nggak akan menghambat karirmu jadi guru. Semua aku serahkan padamu. Mau ikut aku ke Jakarta atau tetap di Semarang, itu keputusanmu." Dia menarik napas panjang sebelum melanjutkan,
"Kalau kamu ikut ke Jakarta, aku akan berusaha carikan sekolah buat kamu mengajar."
Nay hanya tersenyum simpul, hatinya bergejolak. Jauh dari Umar? Tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Apalagi setelah mendengar kalimat itu, rasanya bahagia sekali bisa selalu di dekat pria yang mungkin akan segera jadi suaminya.
"Tentu saja aku ingin selalu bersama kamu, Mas. Ikut ke mana pun kamu pergi," ucap Nay lirih, penuh keyakinan.
Umar hanya bisa terkekeh kecil, matanya berbinar penuh geli. "Kamu ini, benar-benar, ya! Bisa bikin aku makin nggak pengen jauh dari kamu," godanya sambil menatap wajah Nay yang tiba-tiba memalingkan wajah, merah padam.