Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 - Satu Meter Kecanggungan
Yuni menatap papan catur itu.
Bidak-bidaknya sudah tersusun rapi.
Putih di sisinya. Hitam di sisi Juan.
"Aku bidak putih," katanya datar.
"Tentu saja," kata Juan. "Pemula selalu putih."
Dia sedang membuka buku Termodinamika-nya.
Laptopnya menyala, menampilkan grafik-grafik rumit yang tidak Yuni mengerti.
Yuni menatap Juan.
Dia tidak bisa.
Dia tidak bisa fokus.
Jarak di antara mereka... tidak ada.
Kursi mereka bersentuhan.
Kecanggungan itu bukan satu meter.
Kecanggungan itu adalah nol meter.
Satu sentimeter salah gerak, dan lengan mereka akan bersentuhan.
Satu sentimeter salah gerak, dan lutut mereka akan bertemu.
Yuni duduk kaku di tepi kursinya.
Dia bisa merasakan panas tubuh Juan di sebelahnya.
Dia bisa mencium aromanya.
Mint dan sesuatu yang bersih, seperti kayu yang mahal.
Itu menginvasi.
Dia tidak pernah duduk sedekat ini dengan laki-laki manapun.
Apalagi laki-laki yang dia benci.
"Santai," kata Juan, tidak mengangkat kepalanya dari buku.
"Kamu duduk seperti mau lari."
"Aku memang mau lari," bisik Yuni.
"Jangan," kata Juan. "Orang-orang di lantai dua sedang mengambil foto."
Yuni menegang.
Dia melirik ke atas.
Benar saja.
Di balkon lantai dua, beberapa mahasiswa pura-pura bersandar di pagar.
Ponsel mereka mengarah ke bawah.
Ke arah mereka.
Yuni merasa seperti serangga di bawah mikroskop.
"Senyum," kata Juan.
"Apa?"
"Senyum. Pura-pura aku bilang sesuatu yang lucu."
"Kamu nggak bilang sesuatu yang lucu."
"Aku bilang, 'Pecundang'," kata Juan.
"Tersenyumlah."
Yuni memaksakan seulas senyum kaku.
"Bukan begitu," gerutu Juan.
Dia menoleh ke Yuni.
Wajah mereka hanya berjarak beberapa jengkal.
"Pikirkan sesuatu yang lucu," katanya.
"Misalnya?"
"Misalnya, betapa konyolnya ini."
Yuni menatapnya.
Pria ini...
Pikiran itu, entah bagaimana, berhasil.
Yuni mendengus.
Tawa kecil yang pahit.
"Nah, itu," kata Juan. "Bagus."
Dia kembali menatap bukunya.
"Sekarang," katanya. "Ayo main."
"Aku nggak tahu caranya."
"Aku ajari."
Juan menunjuk bidak di depan.
"Ini Pion," katanya. "Hanya bisa maju. Satu langkah."
"Kecuali di langkah pertama, bisa dua."
"Dia makan secara diagonal."
Juan menjelaskan aturan-aturannya dengan cepat.
Sangat teknis. Sangat... seperti anak teknik.
Tidak ada kesabaran. Hanya fakta.
Yuni mencoba mendengarkan.
Tapi pikirannya pecah.
Satu bagian otaknya mendengarkan aturan Kuda.
Satu bagian otaknya sadar penuh pada Juan yang terlalu dekat.
Satu bagian otaknya melihat Sarah di lorong rak buku.
Dan satu bagian otaknya membaca komentar "pembantu" di forum gosip.
"Mengerti?" tanya Juan.
"Nggak," kata Yuni jujur.
Juan menghela napas.
Napasnya beraroma mint.
"Oke, lihat," katanya.
Dia mengambil tangan Yuni.
Yuni tersentak.
Tubuhnya kaku seperti papan.
Seperti disetrum.
Sentuhan itu panas. Tangan Juan besar dan sedikit kasar.
Jantung Yuni melompat ke tenggorokannya.
"Jangan!" bisiknya, menarik tangannya.
"Astaga," kata Juan. "Santai."
"Aku nggak gigit."
"Pasal Tiga," kata Yuni, napasnya tercekat.
"Tidak ada kontak fisik."
"Itu... tidak perlu," kata Juan.
"Dan ini," katanya, "Perlu."
"Bagaimana aku mengajarimu kalau aku tidak bisa menunjukkan caranya?"
"Kamu bisa... pakai jarimu sendiri."
Juan menatapnya.
"Kamu beneran... sekaku ini ya?"
"Bukan urusanmu."
"Sekarang jadi urusanku," kata Juan.
"Selama tiga puluh hari ke depan."
"Sekarang, lihat."
Dia tidak menyentuh tangan Yuni lagi.
Dia mengambil Pion Yuni.
"Langkah pertama," katanya. "Maju dua."
Dia memajukan Pion itu.
"Sekarang giliranmu."
"Aku nggak mau main."
"Main," kata Juan. "Atau aku akan panggil kamu 'Sayang' dengan suara keras."
Yuni memelototinya.
Dia mengambil Pion di sebelahnya.
Memajukannya dua langkah.
"Bagus," kata Juan.
Dia menggerakkan Kudanya.
"Sekarang tes skenario," kata Juan.
"Sambil main."
"Makanan kesukaanku?"
"Apa?"
"Di skenario. Makanan kesukaanku apa?"
"Aku nggak..."
"Steak," kata Juan. "Medium rare."
"Kamu harus tahu itu. Oma akan tanya."
"Sekarang, makanan kesukaanmu?"
"Nasi Goreng Gila," kata Yuni datar.
"Kamu suka pedas?"
"Benci."
"Bagus. Berarti kamu ingat."
Juan menggerakkan bidaknya lagi.
"Film terakhir yang kita tonton?"
"Dokumenter Sejarah Seni," kata Yuni.
"Bagus."
"Giliranmu."
Yuni menatap papan catur.
Dia tidak tahu harus menggerakkan apa.
Dia asal saja memajukan Pion.
"Salah," kata Juan. "Kudaku bisa makan itu."
"Aku nggak peduli."
"Kamu harus peduli!" kata Juan, suaranya sedikit naik.
Beberapa orang menoleh.
"Ssst!"
"Kamu harus terlihat... berusaha," bisik Juan.
"Kamu harus terlihat seperti pacar yang suportif."
"Bukan seperti sandera."
Yuni menatap Juan.
"Mungkin aku memang sandera."
Juan terdiam.
Dia menatap Yuni lama.
"Kamu dibayar," katanya pelan. "Itu namanya karyawan."
Kata-kata itu menampar Yuni.
Dia benar.
"Maaf," kata Yuni.
"Nggak usah minta maaf. Fokus saja."
"Anggap ini... tugas kelompok."
"Tugas kelompok teraneh di dunia," gumam Yuni.
Dia mencoba fokus pada papan catur.
Dia menggerakkan Gajahnya.
"Langkah bagus," kata Juan, terkejut.
"Pemula yang beruntung."
Selama satu jam, mereka duduk di sana.
Satu jam penuh kecanggungan.
Yuni bisa merasakan tatapan dari seluruh penjuru.
Dia bisa merasakan kamera ponsel.
Dia dan Juan.
Duduk berdampingan.
Sangat dekat.
Berbisik di atas papan catur.
Juan mengerjakan buku Termodinamika-nya.
Yuni pura-pura membaca buku Sosiolinguistik-nya.
Setiap sepuluh menit, Juan akan bertanya.
"Kenapa aku suka kamu?"
"Karena... aku pintar... dan nggak manja." Yuni membacanya dari contekan.
"Hafalkan, Yuni. Jangan dibaca."
"Susah."
"Coba lagi."
Setiap lima belas menit, Juan akan menggerakkan bidak caturnya.
"Skak."
"Apa itu?"
"Rajamu terancam."
"Bagus. Biar saja mati."
"Nggak gitu mainnya, Pecundang."
Yuni mulai terbiasa dengan panggilan itu.
Rasanya... aneh.
Menghina, tapi diucapkan dengan nada... normal.
"Aku... pusing," kata Yuni.
Satu setengah jam telah berlalu.
Kepalanya sakit.
Dia tidak tidur. Dia belum makan.
Dan dia duduk di sebelah laki-laki yang membuat sistem sarafnya tegang.
"Oke," kata Juan.
Dia melihat jam tangannya.
"Jam setengah lima."
"Cukup untuk hari ini."
Dia mulai membereskan papan caturnya.
"Aktingmu hari ini... lumayan," katanya.
"Sudah nggak kaku."
"Hanya pucat."
"Aku nggak tidur," kata Yuni.
Juan berhenti membereskan.
Dia menatap Yuni.
"Kenapa?"
"Bukan urusanmu."
"Sekarang urusanku," kata Juan.
"Aku nggak bisa bawa pacar pura-pura yang terlihat seperti zombie ke acara keluargaku."
"Kamu harus tidur."
"Aku nggak bisa."
"Kenapa?"
"Karena... " Yuni ragu.
"Karena Sarah?"
Yuni terkejut.
"Kamu dengar?"
"Tentu saja aku dengar," kata Juan. "Temanmu itu."
"Dia nggak percaya, kan?"
"Nggak."
"Bagus," kata Juan.
"Bagus?"
"Artinya dia peduli sama kamu," kata Juan.
"Dan itu artinya, kalau dia saja sampai bingung... berarti orang lain akan percaya."
"Kamu... menggunakan sahabatku... sebagai tolok ukur?"
"Aku menggunakan semua data yang ada, Yuni," kata Juan.
"Ini seperti Termodinamika."
"Sistem tertutup. Variabel. Hasil."
"Kamu dan aku adalah variabelnya. Hasilnya adalah 'Oma percaya'."
Yuni berdiri.
Dia tidak tahan lagi.
"Aku bukan variabel," katanya.
"Aku pulang."
Dia menyambar tasnya.
"Besok," kata Juan.
"Apalagi besok?"
"Latihan memegang tangan," kata Juan.
Yuni membeku.
"Apa?"
"Besok. Jam 12. Di taman."
"Kita akan... latihan," kata Juan.
"Karena hari ini, kamu hampir melompat waktu aku pegang tanganmu untuk nunjukkin bidak catur."
"Itu... aneh."
"Aku nggak..."
"Aneh," kata Juan tegas.
"Pacaran itu pegangan tangan."
"Dan kamu," katanya, "Harus latihan."
Yuni menatapnya. Ngeri.
"Sampai ketemu besok, Pecundang."
Juan tersenyum tipis.
Dia kembali membereskan laptopnya.
Seolah dia baru saja membahas jadwal kuliah.
Yuni berbalik.
Dan berjalan cepat keluar dari perpustakaan.
Dia tidak peduli lagi siapa yang melihat.
Satu meter kecanggungan itu...
Besok akan menjadi nol.