NovelToon NovelToon
Lily Of Valley: Ratu Mafia Yang Tersembunyi

Lily Of Valley: Ratu Mafia Yang Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: chery red

Dilahirkan dalam keluarga kaya, Alea Lily Armstrong tumbuh dalam penolakan. Dianggap pembawa sial, ia dikucilkan dan dibenci. Luka hati mengubahnya menjadi wanita dingin. Pertemuannya dengan Alexander, ketua mafia terluka, membawanya ke dunia gelap.
Lea menjadi "Ratu Mafia Tersembunyi," menyembunyikan identitasnya. Dendam membara, menuntut pembalasan atas luka lama. Di tengah intrik mafia, Lea mencari keadilan. Akankah ia temukan kebahagiaan, ataukah dendam menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chery red, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Kepolosan, Luka Tersembunyi, dan Peralihan Takhta

Di ruang latihan yang tenang, di mana Alea telah mengasah setiap pukulan dan tendangannya, kini ada Axel yang duduk di sampingnya. Suasana canggung, namun dipenuhi dengan upaya Axel untuk menembus dinding pertahanan Alea.

"Alea," Axel memulai, suaranya lembut. "Aku tahu ini semua sangat mendadak. Tapi soal pertunangan itu... aku sungguh berpikir itu solusi terbaik untukmu."

Alea memandang Axel dengan mata beningnya yang polos. "Tapi kenapa harus tunangan, Axel? Umurku kan masih empat belas tahun. Aku juga masih sekolah." Ia mengerutkan kening, mengingat percakapan yang pernah ia dengar. "Bi Ijah dan Mang Udin dulu pernah bilang, kalau menikah itu harus mengurus rumah dan suami. Aku kan tidak tahu apa-apa soal itu." Ekspresi polosnya membuat Axel menahan tawa. "Nanti kalau aku tidak bisa mengurus rumah, Axel marah. Kalau tidak bisa mengurus Axel, Axel juga marah. Terus aku harus bagaimana?"

Axel tak bisa menahan diri lagi. Tawanya meledak, memenuhi ruangan itu. "Ya ampun, Alea! Kau ini... hahahaha!" Ia menggelengkan kepala, terhibur oleh kepolosan gadis di sampingnya kemudian mengusap lembut kepala Alea. "Tidak, tidak, tidak seperti itu, Alea. Kau tidak perlu mengurus rumah dan aku seperti itu. Kita hanya akan bertunangan. Itu seperti janji, agar tidak ada yang bisa mengganggumu. Ini bukan pernikahan yang sesungguhnya sekarang."

Alea masih terlihat ragu. "Tapi... kalau nanti Axel cium-cium, peluk-peluk aku, atau pegangan tangan, nanti aku hamil." ucap Alea polos.

Tawa Axel semakin keras, ia sampai memegangi perutnya. "Ya Tuhan, Alea! Kenapa kau berpikir begitu?"

"Kata Bu Siti, kalau bersentuhan dengan laki-laki bisa hamil," jawab Alea polos, wajahnya sedikit merona.

Axel menatap Alea. Manik matanya yang dalam menangkap setiap ekspresi polos di wajah gadis itu. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya, bukan karena geli, tapi karena rasa gemas dan keinginan untuk melindungi. Ia mengulurkan tangannya, ragu sejenak, lalu berusaha menggenggam jemari mungil Alea yang bertumpu di sampingnya. Alea sedikit terkejut, melirik tangannya yang ingin disentuh Axel, lalu menatap mata Axel yang memancarkan kehangatan dan kesungguhan. Ada percikan aneh yang menjalari hati Alea, namun ia masih belum mengerti apa itu. Alea kemudian dengan pelan menarik tangannya, membuat Axel hanya bisa menghela napas, namun pandangannya tak lepas dari Alea. Axel menahan keinginannya untuk menggenggam erat tangan Alea. Dia akan secara perlahan-lahan meyakinkan Alea dan menjaga Alea.

Axel hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tahu Alea memang jenius dalam hal pelajaran, ilmu pengetahuan, dan angka. Otaknya sangat tajam dalam menganalisis data, memecahkan kode, atau menguasai ilmu bela diri. Namun, dalam urusan perasaan, cinta, dan hubungan antar lelaki-perempuan, Alea benar-benar nol besar. Gadis itu tidak memiliki pengalaman sedikit pun dalam menghadapi atau mengenali ciri-ciri lelaki yang menyukainya. Axel tak menyadari jika Alea memiliki ketakutan tersendiri terhadap lelaki, sebuah ketakutan yang tak terucapkan. Ia takut jika terlalu dekat, lelaki itu akan memiliki sifat seperti Richard, Kevin, atau si kembar, yang kasar dan kejam. Kepolosan Alea ini, yang muncul karena ia merasa nyaman dengan perlakuan lembut dan penuh kasih sayang Axel serta orang tuanya, membuat Axel semakin tertarik padanya, ingin melindunginya.

Sementara Alea dan Axel bercengkerama, di dalam paviliun, suasana percakapan antara Alexander, Harun, dan Indira jauh lebih serius. Alexander menyerahkan hasil pemeriksaan tubuhnya, selembar dokumen yang dipegang Harun dengan tangan gemetar.

Wajah Harun dan Indira memucat saat membaca laporan itu. Kelumpuhan.

"Alexander... ini..." suara Indira tercekat, air mata kembali menggenang. "Kau... kau lumpuh total?"

Alexander mengangguk pahit. "Syaraf di kakiku putus total, tidak dapat diperbaiki lagi. Syaraf tulang belakangku yang menyambung ke kaki juga rusak parah akibat pukulan yang kuterima saat pertempuran itu. Diperparah dengan serangan yang aku terima baru-baru ini." Ia menatap kedua sahabatnya dengan tatapan sendu. "Aku harus menggunakan kursi roda seumur hidupku."

Kesedihan melingkupi ruangan itu. Harun dan Indira sama-sama berlutut di samping Alexander, memeluknya erat. "Alexander, kami minta maaf. Seandainya kami tahu..." Harun berbisik.

"Tidak ada yang perlu disesali, Harun. Ini takdirku," Alexander tersenyum tipis, meski ada kesedihan mendalam di matanya. "Tapi sekarang, lebih dari sebelumnya, aku butuh bantuan kalian. Aku tidak bisa bergerak sebebas dulu. Aku tidak bisa melindungi Alea seperti yang seharusnya kuinginkan."

Indira menatap Alexander dengan tekad. "Kami berjanji, Alexander. Kami berdua akan melindungi Alea dengan segenap jiwa. Kami akan menjauhkannya dari Richard dan keluarganya yang busuk itu. Dia sudah seperti putri kami sendiri."

Harun mengangguk mantap. "Demi Rosalind dan Edward. Dan demi dirimu, Alexander. Kami tidak akan membiarkan Alea menderita lagi."

Sore harinya, saat Harun dan Indira bersiap pulang bersama Axel, sebuah drama kecil terjadi.

"Alea, ayo pulang bersama kami," ajak Axel, tangannya terulur ke arah Alea. "Kau tidak perlu khawatir, kau aman. Kami akan menjagamu."

Alea, yang baru saja keluar dari paviliun Alexander, menatap Axel dengan polosnya. "Tidak mau. Nanti aku dikurung Axel. Aku takut."

Kedua orang tua Axel menghela napas, mereka ingin sekali membawa Alea pergi dari sana, jauh dari Richard. "Alea, Om janji kau tidak akan dikurung."

Namun, Alea menggeleng kuat. "Tidak. Aku akan tidur di sini. Bersama Om Alexander."

Harun dan Indira tersenyum memahami. Mereka tahu Alea merasa aman dan nyaman di dekat pamannya. "Tidak apa-apa, " kata Indira lembut. "Biarkan Alea di sini dulu. Dia butuh waktu dengan pamannya."

Dengan berat hati, Axel dan Daddy-nya mengangguk. Ia memeluk Alea sebentar—yang membuat Alea sedikit menegang, mendorong Axel yang tersenyum sedih karena berpisah dengan Alea dan menjauh karena takut "hamil"—sebelum akhirnya ia, Harun, dan Indira meninggalkan klinik.

Malam itu, di dalam paviliun kecil yang sunyi, Alea duduk di samping Alexander, menatap pamannya yang tampak merenung. Dengan tenang, Alexander akhirnya berbicara.

"Alea..." suaranya pelan. "Ada sesuatu yang harus Om beritahu padamu."

Alea menatapnya, ada firasat tidak enak menyelimuti hatinya.

Alexander menghela napas, sorot matanya sendu. "Om... tidak bisa berjalan lagi, Alea. Syaraf kaki Om... putus. Om akan memakai kursi roda seumur hidup."

Hening. Alea terpaku. Air mata perlahan menetes dari mata onyx-nya. Ia tidak mengira kondisi pamannya seburuk itu. Alexander, paman yang gagah dan kuat, kini terenggut kemampuannya untuk berjalan. Isak tangis Alea pecah. Ia memeluk Alexander erat-erat.

"Tidak! Tidak mungkin!" isak Alea. "Aku janji, Om. Aku akan mengurus Om. Aku tidak akan membiarkan Om sendirian. Aku akan menjadi kaki Om, Om!"

Alexander membalas pelukan Alea, hatinya menghangat mendengar janji tulus keponakannya.

Saat itulah, pintu paviliun kembali terbuka. Sesosok pria paruh baya bertubuh tegap, dengan sorot mata yang tajam namun penuh kehangatan, melangkah masuk. Air mata langsung membasahi pipinya saat melihat Alexander yang duduk di kursi roda.

"Al.. Alex... Alexander... Benarkah ini dirimu?!" pria itu berseru, suaranya tercekat.

"Arman...!" Alexander tersenyum, matanya juga berkaca-kaca.

Pria itu, Arman, adalah tangan kanan Alexander yang paling setia, yang telah menemaninya sejak kecil. Alexander telah menghubunginya sore tadi, memberitahukan lokasinya setelah bertahun-tahun menyembunyikan keberadaannya. Pertemuan mereka penuh haru. Arman berlutut di hadapan Alexander, menggenggam tangannya erat, tak henti-hentinya bersyukur Alexander masih hidup.

"Arman, ini Alea," Alexander memperkenalkan. "Putri dari Rosalind. Keponakanku."

Arman menatap Alea, matanya memancarkan kelembutan yang dalam. Ia ingat Rosalind. Rosalind, wanita yang ia cintai sepenuh hatinya, dan yang juga membalas cintanya. Mereka memiliki sejarah yang jauh lebih dalam dari jasad teman dekat. Arman juga dekat dengan Edward dan juga kedua orang tua Alexander sebelum kematian merenggut mereka dan Alexander menghilang bagai ditelan bumi.

Arman mengangguk, mencoba menahan emosinya. "Senang bertemu denganmu, Alea."

Keesokan harinya, setelah mengucapkan terima kasih kepada Dokter Surya dan memberikan kompensasi yang sangat besar sebagai balasan dan ucapan terima kasih Alexander pada dokter tua yang baik hati itu yang telah mengobati dan merawatnya beberapa waktu belakangan ini dan juga merahasiakan keberadaanya dari semua orang, Alexander dan Arman pergi dan membawa Alea. Mereka tidak menuju rumah Alexander ataupun kediaman Arman, melainkan ke sebuah lokasi yang tersembunyi.

Sebuah markas rahasia, mirip dengan markas militer bawah tanah, tersembunyi di balik hutan lebat dan bukit-bukit terpencil. Di dalamnya, lorong-lorong baja yang kokoh, ruangan-ruangan canggih, dan sebuah area latihan yang luas. Di sanalah, Alexander mempertemukan Alea dengan timnya.

Di hadapan Alea, berdiri hampir 500 orang tentara terlatih super elite. Mereka adalah pria dan wanita mantan pasukan elit militer dengan kemampuan bela diri yang mumpuni, ahli di bidang masing-masing—mulai dari strategi, hacking, spionase, hingga persenjataan—yang merupakan anggota klan mafia terkuat dan terkejam yang dipimpin langsung oleh Alexander. Ekspresi mereka keras, disiplin, namun ada sorot kesetiaan yang tak tergoyahkan di mata mereka saat menatap Alexander.

Dengan suara yang berwibawa, Alexander berujar di hadapan pasukannya. "Mulai hari ini, aku menyerahkan kepemimpinan klan ini kepada Alea Callahan."

Serentak, 500 orang itu menatap Alea, gadis remaja yang tampak polos dan mungil di samping kursi roda pemimpin mereka. Ada bisik-bisik, namun tak ada yang berani membantah. Alexander melirik Alea, memberinya isyarat untuk maju.

"Namun," lanjut Alexander, "sebelum Alea resmi menjadi pemimpin kalian, dia harus digembleng dan dilatih terlebih dahulu, juga diberikan pendidikan dan pengetahuan tentang semua hal, sesudah dia menjalani masa pelatihan nya maka dia akan siap untuk memimpin kalian." Ia menunjuk seorang pria berwajah keras di barisan depan. "Pelatih Adam, dia akan menjadi pelatih utamanya. Latih dia lebih keras dari yang kalian semua pernah rasakan."

Selama seminggu penuh, masa skorsingnya dari sekolah, Alea berada di markas militer rahasia milik Alexander. Ia digembleng habis-habisan secara ketat oleh Pelatih Adam dan timnya dalam segala jenis bela diri, taktik tempur, dan ketahanan fisik juga penguasaan berbagai jenis senjata. Selain itu, Alea juga mendapatkan bimbingan langsung dari Arman yang tak kenal lelah, mengajarkan ilmu bisnis dan manajemen, serta mengasah kemampuannya dalam bidang IT hingga mencapai level yang lebih tinggi dari sebelumnya. Alea menyerap semuanya seperti spons, tekadnya membara. Ini adalah persiapan untuk balas dendamnya.

1
Naruto Uzumaki family
Lanjut thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!