Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
Di bawah terik mentari yang membakar kulit legamnya, Nasirun tampak tekun menyusuri petak-petak sawah. Langkahnya pelan, namun pasti. Di tangannya, pupuk ditabur seperti doa yang disebar ke bumi—agar padi tumbuh lebat, menguning seperti harapan yang menua. Ia menggarap sepuluh petak sawah, seluas satu bahu, kira-kira itu kurang dari satu satu hektare. Sawah itu adalah warisan dari orangtuanya yang kini jadi sumber penghidupan.
Di sisi sawahnya, hamparan hijau milik Kaji Mispan membentang dua kali lebih luas. Itu baru satu bidang. Di tempat lain, Mispan masih menyimpan enam bidang sawah lainnya. Ia memang gemar membeli tanah—sawah, tegalan, atau pekarangan. Tanah, baginya, adalah napas panjang kekayaan.
“Duluan, Pan!” teriak Nasirun dari tengah petak sawah, suaranya dibawa angin siang yang gerah.
“Oh, iya, Makde,” sahut Mispan, duduk santai di pematang, mengawasi kuli-kuli yang bekerja untuknya. Topi capingnya menaungi wajah yang tak lagi khawatir akan esok.
Di Wonosari, tanah bukan sekadar hamparan bumi—ia adalah pusaka, martabat, dan penentu derajat. Hanya mereka yang berharta, seperti Kaji Mispan, yang sanggup membeli bidang demi bidang. Bagi yang lain, tanah adalah warisan yang kerap menyulut pertengkaran. Saudara menjadi lawan saat sawah dijadikan barang rebutan. Yang paling beruntung hanyalah anak tunggal.
Sebab di mata orang Wonosari, sawah adalah harta paling luhur. Maka sebisa mungkin, mereka mempertahankannya—meski harus mengikat perut, menunda cita, dan menahan tangis. Tapi hidup tak selalu bisa diajak bersabar. Kadang tanah yang diwariskan dengan air mata, justru harus dijual demi menyambung harapan.
Begitulah yang dialami Nasirun. Lima petak sawahnya telah berpindah ke tangan Mispan. Demi biaya kuliah sang anak, ia rela melepas separuh warisannya. Kini anaknya telah jadi guru honorer di sekolah dasar desa tetangga. Gaji kecil, tapi cukup membuat Nasirun tersenyum. Sebab dari tanah yang lepas itu, lahir secercah masa depan.
"Mampir dhisik, Makde!"
Teriakan nyaring Yu Kastun memecah siang yang mulai lunglai. Matanya menangkap sosok Nasirun yang melintas di depan warungnya.
"Sini, Makde… ada topik anyar! Bukan sembarang topik!" serunya lagi, penuh semangat dan goda.
Langkah Nasirun pun melambat. Ia menoleh, lalu mendekat perlahan, seperti layangan yang ditarik benang. Di bawah pohon ceri yang merindangi warung itu, Marjoko sudah lebih dulu duduk bersila, bersandar santai pada tiang bambu.
"Topik apalagi? Sopo meneh sing arep kok rasani?" ujar Nasirun sambil menyipitkan mata, setengah waspada, setengah ingin tahu.
"Topik anyar, Makde… kabarnya Yu Kastun arep kawin maneh!" sahut Marjoko sambil nyengir lebar, menggoda penuh kemenangan.
"Munyuk! Mulutmu iku kaya tumbak cucukan, Mar—tajem, ora nganggo rem!" sergah Yu Kastun, sambil melempar lap kain ke arah kepala Marjoko. Tertawaan pun pecah, membaur bersama aroma gorengan dan kopi tubruk yang sedang mendidih.
Sebelum duduk, Nasirun menyelipkan satu kalimat ke udara, seperti mantra untuk memanggil ketenangan,
"Kopine sak cangkir dhisik, Tun."
Yu Kastun mengangguk, lalu sibuk di sudut dapur warung, membenamkan sendok ke dalam teko mendidih.
Sementara itu, Nasirun mengambil duduk di atas lincak bambu yang mulai berbunyi lirih diterpa berat tubuh dan waktu. Ia keluarkan buntalan plastik dari saku bajunya—tembakau lintingan, kebiasaan lamanya yang tak pernah luntur. Tangannya meracik dengan ritme pelan tapi pasti:
Selembar klobot dibentangkan, sejumput tembakau ditata, lalu ditaburi rajangan cengkeh sebagai penawar getir kehidupan. Lintingan itu lalu dipres di kedua telapak tangannya, seperti menyalurkan harapan agar hari ini tak terlalu muram. Korek disulut, api menyala, asap mengepul perlahan. Dihisap dalam-dalam, dihembuskan perlahan ke langit-langit warung.
Asap putih menggumpal, menari bersama cahaya siang. Tapi Marjoko yang duduk di sebelahnya tak sengaja menghirupnya—batuk pun menyerang, membuatnya tergugu sesaat.
"Bau rokokmu, Makde! Iki tembakau opo racun tikus!"
Marjoko batuk-batuk, tangannya mengipas-ngipas udara di depan wajah. Asap dari lintingan Nasirun mengepul seperti kabut di lereng gunung Kelud.
"Nah, itu namanya vitamin, Mar. Vitamin khusus untuk mulutmu yang ndak pernah libur nyolot itu," celetuk Yu Kastun sembari meletakkan secangkir kopi hitam di depan Nasirun.
Nasirun tak menjawab, hanya tersenyum kecil sambil mengangkat cangkirnya. Seruput pertama ia nikmati perlahan, seperti menyesap kenangan di musim paceklik.
"Sebetulnya ada apa sih, Tun? Kok sajake kowe heboh. Opo tenan kowe arep rabi maneh? Karo sopo toh?" tanya Nasirun, masih dengan nada datar namun menyelidik.
"Lha siapa yang bilang aku mau rabi lagi? Sampean jangan ngadi-ngadi, Makde!" Yu Kastun menyentak, nadanya naik.
"Lho, tadi Marjoko yang bilang!" jawab Nasirun sambil melirik Marjoko yang kini sudah mulai gelisah di tempat duduknya.
Yu Kastun menoleh tajam. "Munyuk! seperti Marjoko ini jangan dipercaya. Cangkemé luwih tajem ketimbang silet!"
"Ampun, Yu… ampun!" Marjoko cepat-cepat menunduk, topi gunungnya ditarik sampai menutupi hampir seluruh wajahnya. Ia tampak seperti tikus got yang ketahuan mencuri sambal.
Yu Kastun mendesah, lalu duduk di bangku kayu yang usianya tak muda lagi. Ia melipat tangan di dada, lalu melirik ke arah Nasirun.
"Kalau bisa sore-sore mampir lah, Makde. Ada pemandangan apik, temenan!" katanya sambil nyengir misterius.
"Wih! Sampean bukak gitu,-gituan juga to, Yu? Aku iya mau! Berapa sekali main?" sahut Marjoko, dengan mata melebar dan senyum jail yang tak tahu diri.
Kali ini, Yu Kastun benar-benar meledak. "JANCUK! Pikiranmu jangan ngeres dulu ya, Mar! Opo aku iki perempuan murahan? Biarpun janda, aku masih punya harga diri. Bajingan!. Kupikir-pikir, semua laki-laki kok sama saja. Ngacengan kabeh. Dengar dulu penjelasanku, Cuk!"'
"Maaf, Yu… maaf!"
Marjoko langsung meringkuk seperti kucing kehujanan, kedua tangan mengangkat topinya tinggi-tinggi, seolah sedang menyerah pada takdir dan omelan Yu Kastun yang seperti badai.
Warung itu pun kembali hening sesaat. Hanya suara kipas angin tua yang menderik pelan, dan aroma kopi yang mengepul, menenangkan emosi yang baru saja mendidih.
“Jadi begini, Makdhe…” suara Yu Kastun meluncur lirih, seperti angin sore yang membawa aroma sawah basah. “Sampean ngerti to, anaknya Kaji Mispan yang lanang itu? Si Wiji—temannya anakku, si Untung.”
“Iya, ngerti,” jawab Nasirun, singkat, seolah tak ingin terlalu cepat masuk dalam arus ombak kabar yang belum tentu sampai ke pelabuhan benar.
“Nah, biasanya kalau surup menjelang, dia duduk di bangku bambu di tanggul, di bawah pohon akasia yang daunnya mulai gugur itu. Di sanalah ia berdua-duaan dengan Asmarawati, putri Ki Ratmoyo.”
Nasirun hanya mengangguk, lalu menanggapi dengan angin kebijaksanaan. “Lha memang kenapa kalau mereka berdua pacaran? Itu hak mereka. Namanya juga arek muda, darah masih hangat. Kayak kamu ndak pernah muda wae, Tun.”
“Mungkin Yu Kastun kepengin, Makdhe!” serobot Marjoko, dengan suara nyinyir yang menyelip seperti duri dalam semangka.
“Mar, bisa diam tidak sih kamu? Tutup mulutmu atau tak tabok pakai nampan ini!” sembur Yu Kastun, matanya menyala seperti bara dalam abu.
“Oke!” sahut Marjoko sambil mengangkat tangan, tanda menyerah sambil menahan tawa.
Yu Kastun menarik napas panjang, seperti hendak mengambil tenaga dari dalam dada yang penuh bara rasan-rasan. “Bukankah kemarin Makdhe dan juga kamu, Mar, bilang kalau Kaji Mispan dan Ki Ratmoyo itu seperti api dan minyak? Tak pernah bisa berdamai.”
Nasirun menghela napas. “Lho, yang saling sikut kan bapaknya. Anak-anaknya belum tentu mewarisi dendam.”
“Tapi apakah Makdhe yakin… kedekatan Wiji dan Asmarawati itu tidak akan membuka kembali luka yang belum kering? Apakah tidak akan menyulut api lama, yang selama ini hanya tertutup abu dingin?”
Hening sejenak. Angin mendesir di sela-sela bambu, seolah alam pun ikut mendengar kekhawatiran yang mengendap di balik kata-kata Yu Kastun.
“Sepertinya asmara mereka itu,” Marjoko membuka suara dengan nada pelan namun tajam, “takkan pernah mendapat restu dari orang tua masing-masing. Lha wong Kaji Mispan dan Ki Ratmoyo itu, bukan sekadar dendam lama, mereka juga bersilang jalan pikiran lalu berseteru dalam urat nadi politik.”
“Betul, betul,” sahut Yu Kastun cepat. “Bukan cuma musuh pribadi, tapi juga lawan di gelanggang kekuasaan.”
Marjoko mengangguk, lalu melanjutkan, “Sejak Ki Ratmoyo berdiri di belakang Sungkowo dalam pemilihan lurah, Kaji Mispan seperti tersiram api cemburu yang tak kunjung padam. Dendamnya membabi buta. Tidak hanya kepada Ratmoyo, tapi kepada Sungkowo.”
“Lah iya, itu maksudku, Mar!” Yu Kastun tampak senang. “Gitu dong Mar, pikiran itu yang nyambung. Jangan cuma urusan lendir terus yang kamu pikir!”
Marjoko tertawa kecil, lalu kembali berapi-api. “Dan setelah Ki Ratmoyo berhasil mengantarkan Sungkowo ke kursi kekuasaan, dendam itu makin tebal. Kaji Mispan kini tak ubahnya oposisi sejati. Kebijakan apa pun yang dibuat lurah Sungkowo—meski itu demi kebaikan desa—tetap saja dianggap salah.”
Ia berhenti sejenak, lalu menatap gelas kopinya yang tinggal ampas.
“Bahkan,” lanjutnya lirih, “protes-protes Kaji Mispan sering menggema di balai desa, tapi tak pernah digubris. Suaranya bagai angin malam yang masuk lewat celah genteng—didengar tapi tak diindahkan.”
Sunyi sesaat.
“Kaji Mispan yang kaya saja tak berdaya di hadapan kekuasaan,” ucap Marjoko menunduk, “apalagi wong cilik seperti kita ini? Ibarat rumput, tinggal menunggu waktu digilas mata bajak.”
Ia menatap jauh, seolah melewati dinding warung.
“Itulah kenapa orang kaya berlomba-lomba membeli alat kuasa. Karena kekuasaan—bagi mereka—bukan sekadar tahta, tapi kunci untuk membuka jalan kelancaran bisnisnya.”
Yu Kastun terdiam. Hanya nampan di tangannya yang gemetar pelan, entah karena marah, entah karena takut akan kebenaran yang baru saja dilantangkan Marjoko.
“Apa to, Mar? Mar? Omonganmu kok mulai ngelantur,” ucap Nasirun sambil menggeleng pelan, seperti daun jati yang berguguran di akhir musim kemarau. “Kepalaku ndak nututi kalau harus nyelami perkara-perkara politik dan kekuasaan begitu…”
Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu yang mulai keropos.
“Kalian jangan mendahului kersaning Gusti. Siapa tahu justru lewat kedekatan Wiji dan Asmarawati, dua orang tua yang berseteru itu bisa kembali akur. Bukankah cinta lebih besar dari dendam? Mari kita doakan saja, semoga mereka berjodoh. Agar api permusuhan itu bisa padam, bukan dengan pertarungan, tapi dengan pernikahan.”
Tiba-tiba Marjoko menyela, seolah menolak harapan itu mentah-mentah.
“Ah, Makdhe… itu mustahil! Mereka ndak mungkin berjodoh! Hubungan mereka ndak bakal direstui. Wong orang tua mereka beda partai, beda koalisi, beda visi dan misi!”
“Iya betul, Mar!” sahut Yu Kastun cepat. “Dua rumah yang temboknya saja saling membelakangi, mana mungkin disatukan oleh atap yang sama?”
Namun Nasirun tetap bersikeras dalam tenangnya.
“Belum tentu itu, Mar. Belum pasti itu, Tun,” ucapnya lirih namun mantap, seperti suara embun pagi yang menetes di pucuk-pucuk padi. “Jodoh, rezeki, lan pati, iku kabeh ning tangane Gusti kang Murbeng Dumadi. Kita ini manusia, hanya bisa meraba-rabanya, bukan menetapkannya.”
Ia diam sejenak, menatap langit-langit warung yang bolong dimakan usia.
“Kalau cinta itu tumbuh, dan mereka saling menjaga, siapa kita yang berhak melarang? Barangkali—justru dengan pernikahan merekalah—permusuhan yang menahun itu bisa disudahi.”
Lalu, dengan suara lebih dalam, ia menambahkan:
“Kalian tahu kan, kalau permusuhan Ki Ratmoyo dan Kaji Mispan itulah yang menjadi sumber dari segala kekacauan yang melanda desa ini? Wonosari kita ini jadi seperti kapal yang terus oleng—bukan karena badai, tapi karena dua nahkoda yang saling tarik kemudi, dan saling lempar kutukan.”
Angin sore menyelinap lewat celah-celah dinding warung. Sejenak suasana menjadi hening. Mungkin, kata-kata Nasirun barusan menancap di hati mereka seperti paku di papan bambu—diam-diam dalam, dan sukar dicabut.
“Iya sih, Makdhe,” Marjoko masih bergeming dalam keyakinannya, “tapi soal ini, agaknya mustahil. Terlalu banyak jurang dan batu tajam di antara mereka.”
Nasirun hanya tersenyum simpul, lalu menutup perdebatan itu dengan lirih, “Kita lihat saja nanti, Mar. Hidup ini tak selalu bisa ditebak. Kadang yang kita kira mustahil, justru dikabulkan oleh langit.”
Ia pun berdiri, merapikan sarungnya, lalu menegur, “Sudahlah, jangan rasan-rasan terus. Ingat dosa…” katanya sambil melangkah meninggalkan warung Yu Kastun, pelan namun mantap, seperti orang tua yang telah kenyang oleh pahit manis kehidupan.
Belum sempat keheningan meresap sempurna, suara knalpot tua membelah udara terik. Sepeda motor Honda GL masuk pelan ke halaman warung. Dari atas motor turunlah sosok lelaki yang pernah menjadi bagian dari hidup Yu Kastun—Kartijan, mantan suaminya.
Belum sempat mulut Kartijan mengucap salam, wajah Yu Kastun sudah seperti bara yang disiram bensin.
“Mau ngapain kamu ke sini?” hardik Yu Kastun, berdiri di balik etalase warung seperti penjaga benteng yang tak sudi dijamah. “Aku ini langsung mual kalau lihat mukamu itu.”
Kartijan melepaskan helmnya, menampakkan wajah lelah yang tak hanya dimakan usia, tapi juga dilumat penyesalan. Dengan suara lirih ia mencoba menenangkan badai.
“Sabar dulu to, Tun… Aku ke sini cuma mau ketemu Untung. Tadi aku sudah ke tempat kerjanya, ndak ada. Di rumah juga kosong. Aku pikir, mungkin dia ada di sini.”
“Halah!” seru Yu Kastun, menepuk meja warung. “Ngapain kamu cari-cari Untung? Urus saja keluargamu yang sekarang. Jangan sok peduli seperti embun yang lari dari mentari.”
“Aku cuma ingin ketemu anakku, itu saja. Salahkah seorang bapak ingin menjumpai darah dagingnya?” jelas Kartijan, nadanya getir.
Yu Kastun berdiri, tubuhnya gemetar tak hanya oleh amarah, tapi oleh luka lama yang kembali mekar.
“Selama ini siapa yang membesarkan Untung? Siapa yang menyuapi, mencarikan makan, membayar sekolah, bahkan menyeka air matanya kalau jatuh dari sepeda?” suaranya meninggi, memecah langit-langit sore.
“Sabar, Yu…” sahut Marjoko dengan ragu.
“Diam kamu, Mar! Ini bukan urusanmu!” bentak Yu Kastun tajam. Lalu matanya kembali menancap ke arah Kartijan seperti tombak yang hendak menembus daging.
“Kamu tidak perlu repot-repot datang. Tanpa kamu, aku sudah cukup untuk jadi ibu dan bapak sekaligus. Aku tidak butuh ucapan kasihan.”
Kartijan menunduk, bibirnya bergetar. “Tapi… meskipun begitu, aku tetaplah bapaknya, Tun…”
“Bapak?” Yu Kastun tertawa getir, tawa yang lebih mirip tangis. “Apa gunanya bapak kalau bisanya cuma nitip bibit, lalu hilang seperti angin? Setelah anakmu lahir, kamu lenyap. Tak pernah hadir. Tak pernah peduli. Bapak macam apa kamu?”
Udara mendadak terasa berat. Burung-burung di pohon warung ikut terdiam.
“Sekarang pergi. Aku tidak sudi melihat rai-mu di sini. Pergi, munyuk!” usirnya dengan mata yang basah oleh amarah dan duka yang bertahun-tahun disembunyikan.
Kartijan mengangguk kecil. “Iya… iya… sing gedhé pangapurane, Tun… Aku minta maaf…”
Tanpa kata lagi, ia melangkah pergi. Langkah yang lambat. Langkah yang hampa. Hanya suara motor tuanya yang tertinggal, menggema seperti kenangan yang tak pernah benar-benar hilang.