ASMARALARAS

ASMARALARAS

Bab 1

Wonosari 2007

"Nedya nggelar carita

ginancar wayang wewangsone.

tumrap laku lelakuning urip

jroning karsa mbabar budaya.

terus sempulur mrih bisa misuwur.

kang piniji amrih lestari

dadya srana anguda rasa

angrekating jiwa ngembang ngrembaka

bisa kuncara salaminya"

Dari ujung malam yang jauh, mengalunlah gendhing talu—lirih merayap pelan di antara desir angin dan sisa hujan yang menggantung di pucuk daun-daun dan pori-pori tanah. Cakepan dilagukan para pesinden, dengan suara bening selembut kenangan,

mengurai sunyi, menenangkan luka-luka tak bernama, meluruh pelan di dada siapa pun yang mendengarnya.

Gamelan bertalu—bertabuh dan bersahutan dengan nyanyian jangkrik yang menjerit di balik semak,

dan bisik-bisik orong-orong dari rahim bumi yang baru saja membasuh dirinya. Gerimis belum sepenuhnya reda—masih menetes malu-malu dari langit kelabu. Riang musik dan resah alam bertaut dalam harmoni yang ganjil: indah, asing, namun memeluk jiwa seperti doa yang terbang ke langit.

Di jalan aspal yang berlubang dan masih menyimpan genangan air hujan, tiga Honda GL-MAX melaju, meraung seperti harimau lapar. Knalpotnya menyalak—serak dan garang—menebas sunyi malam yang dinginnya menusuk tulang.

Lampu depannya keruh, berembun, menerobos gerimis dengan sorot yang goyah, seolah ragu, namun tetap membelah gelap dengan tekad keras kepala.

Seolah hendak memburu suara gaib yang berseru dari kejauhan, mereka meluncur dalam senyap yang tak pernah benar-benar sepi.

Tiga pemuda—seolah bukan sedang mengendarai motor, melainkan sedang dikendarai oleh takdir, melaju menuju pusat suara irama gamelan yang menggoda dan membisikkan teka-teki:

rindu yang menggigil, kutukan yang menunggu, atau cinta yang menyamar dalam nada-nada kuno dari masa yang belum selesai dibaca.

"Nedya ginelar

wayang tuhu ngajab rahayu

sinung puji sesanti basuki

awit karsaning Gusti golong gumomlong

ambabar rasa kang rasa mulya."

Semakin mereka melaju, suara itu pun semakin nyata terdengar—gamelan mengalun lirih, menggiring irama malam menuju panggung pertunjukan. Suara pesinden yang syahdu seperti menyentuh gendang telinga, membuat rombongan anak gank motor GL-MAX tak sabar, mereka menancap gas lebih dalam. Deru knalpot memecah kesunyian desa, bersaing dengan gendhing yang bergema dari kejauhan.

Sesekali ban motor mereka menerjang lubang di jalan, menyemburkan air keruh dari genangan yang tertampung. Cipratan buthek itu melesat liar, membasahi baju dan wajah mereka.

"Woi, munyuk! Kira-kira po'o, rek!" hardik seorang pemuda tambun, wajahnya merah padam karena kesal, tepat saat hendak menyalip rekannya tapi malah disambut semburan lumpur.

"Wkwkwkwk… rasain kamu, kayak kerbau nyebur sawah!" sahut temannya sambil tertawa terpingkal-pingkal, seolah itu hiburan tambahan di perjalanan mereka malam itu.

Akhirnya, mereka tiba di lokasi pementasan. Tanpa banyak basa-basi, ketiga anak muda itu segera memarkirkan motor GL-MAX mereka di tepi jalan, persis di samping gerobak martabak yang berdiri di bawah rimbunnya pohon rambutan. Aroma minyak goreng dan adonan martabak manis menggoda hidung.

Langkah mereka cepat, penuh semangat. Dengan jaket yang masih basah dan celana belepotan lumpur, mereka berbaur dalam kerumunan penonton. Pandangan mereka langsung terarah pada panggung bersusun dua, tempat sakral di mana kisah-kisah pewayangan dihidupkan malam itu.

Cahaya lampu blencong menyorot lembut bayang-bayang wayang kulit yang mulai bergerak. Pak Dalang, dengan suara berat dan penuh penghayatan, mengawali kisah dengan narasi janturan— menggema penuh makna, yang seketika membungkam riuh penonton. Suasana menjadi hening. Seolah waktu ikut berhenti sejenak, memberi ruang bagi cerita dari alam lain untuk hadir dan berbicara lewat suara, bayang-bayang wayang di pakeliran, dan gamelan yang ditabuh bertalu lirih.

“Swuh rep data pitana anenggih nagari pundi ta kang kaeka adi dasa purwa. Eka araning sawiji, adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan. Sanadyan kathah titahing jawata ingkang kasangga ing pertiwi, kaungkulan ing akasa kaapit ing samodra. Kathah ingkang sami anggana raras, nanging datan kadi nagari Ngastina, ya nagara ing Gajahoya, ya ing Liman Benawi. Mila winastan nagara Ngastina duk ing uni kadhatonira Prabu Astimurti. Gajahoya kang yasa Prabu Gajahoya. Ngupaya satus datan antuk kalih sewu tan jangkep sedasa."

Terpampang di layar pakeliran, berjajar gagah kelima Pandawa—Yudhistira yang bijak, Bima sang raksasa perkasa, Arjuna si pemanah tampan, serta si kembar Nakula dan Sadewa yang elok rupa. Di sisi mereka, berdiri dua saudara sepupu: si jelitheng nan licin Prabu Kresna dan sang bule berwibawa Prabu Baladewa. Keduanya memancarkan aura berbeda—gelap dan terang, licik dan lugas—bagai matahari dan bulan yang menyinari bumi.

Iringan gamelan mengalun cepat dalam pola imbal-imbalan, tabuhan kendang dan gong bersahut-sahutan, menciptakan gelombang suara yang menghentak jantung penonton. Suasana riuh, penuh semangat dan kekhusyukan. Bau kemenyan dan asap rokok kretek bercampur dengan aroma tanah basah. Anak-anak kecil duduk di tikar bersama ibunya, sementara para lelaki duduk berjongkok sambil menyesap kopi dari gelas seng lurik. Sesekali, sorak kagum terdengar saat dalang memainkan sabetan wayang yang menegangkan.

Di tengah kerumunan itu, Beberapa orang tua menggenggam senter, menyala redup di pangkuan. Semua datang untuk menyimak.

Namun, di antara lautan manusia yang datang untuk menikmati suara pesinden, menyelami kisah pewayangan, atau sekadar melepas penat malam—ada tiga wajah asing yang menyelip di tengah keramaian. Bukan pencari hiburan. Bukan pula penikmat seni tradisi. Dan jelas bukan penonton biasa.

Tiga begundal bersenjata nekat, datang bukan karena panggilan budaya. Mereka tidak peduli siapa Prabu Kresna atau Pandawa. Bahkan suara sinden yang mengalun lirih pun tak mampu menembus telinga mereka.

Kedatangan mereka adalah bagian dari rencana. Rencana konyol. Rencana gila. Rencana yang mungkin tak akan pernah terpikirkan oleh manusia waras—karena bukan akal sehat yang mereka bawa malam itu.

“Gimana, Ji? Sudah bisa mulai aksinya?”

Untung membisikkan pertanyaan itu lirih, nyaris tak terdengar, tepat di balik kerumunan penonton yang tenggelam dalam suara suluk dalang.

Wiji, yang duduk sedikit merunduk dengan jaket hitam menutupi sebagian wajahnya, menoleh pelan. Tanpa menatap langsung, ia menjawab dengan suara serendah desir angin malam, nyaris seirama dengan bunyi rebab.

“Jangan dulu... tunggu lakon ini sampai pada adegan perang. Saat suasana riuh dan perhatian dalang terfokus pada kelir, baru kita mulai.”

Ucapannya tepat di daun telinga Untung, dingin dan mantap, seperti seseorang yang sudah memikirkan semuanya jauh sebelum malam itu tiba.

Untung mengangguk kecil, lalu menggeser pandangannya ke arah Tejo yang berada tak jauh di sebelahnya. Ia pun menyambung bisikannya dengan cepat dan tajam.

“Tunggu kode.”

“Oke, bosss…”

Balas Tejo dengan anggukan singkat, senyum tipis mengembang di bibirnya—senyum yang tak jelas apakah itu bentuk keyakinan, ketegangan, atau sekadar kegilaan.

"Pranyata nagara Ngastina ngungkuraken paggunungan, ngeringaken bengawan nengenaken pasabinan miwah ngayunaken bandaran agung. Gemah kathah Para nahkodha kang samya lumaku dedagangan angelur-selur tan ana pedhote labet tan ana sangsayane marga. Aripah kathah para janma amanca nagari ingkang samya katrem abebale wisma salebeting kitha nagari Ngastina jejel apipit bebasan aben cukit tepung taritis, papan wiyar katingal rupak. Loh subur kang samya tinandur jinawi murah kang sarwa tinuku, karta para kawula ing padhusunan nungkul pangolahing tetanen, ingon-ingon kebo sapi pitik iwen datan ana cinancangan, rahina aglar ing pangonan, wanci bengi bali marang kandhange dhewe-dhewe."

Kalimat janturan yang di ucapkan oleh sang dalang itu terdengar seperti sebuah mantra yang menghipnotis para penontonnya.

"Raharja tebih parang muka karana para mantia bupati wicaksana limpating kawruh tan kendhat denya ambudi daya keluhurane Sri Narapati. Marmane Negara Ngastina jeneng anempuh bebasan Negara gedhe obore, padhang jagade dhuwur kukuse adoh kuncarane. Ora ngemungaken kanan-kering kewala sanadyan ing praja maha praja kathah ingkang samya tumungkul datan linawan krana bandayuda, among kayungyun marang pepoyaning kautaman. Bebasan kang celak samya manglung kang tebih samya mentiyung, asok bulu bekti glondhong pengareng-areng peni-peni raja peni guru bakal guru dadi.

"Rep sidhem premanem tan ana sabawane walang awisik, gegodhong datan ebah, samirana datan lumampah, ingkang kapiyarsa amung swarane abdi kriya gendhing myang kemasan kang samya nambut kardi. Pating carengkling imbal gantya. Lir mandaraga amimbuhi asri senening pasewakan.

"Gombal! Ngapusi kamu, Lang. Negara siapa yang seperti itu?. Ndak ada negara kok semakmur dan setertib itu. Apalagi negara kita. Mimpi keli ye!" Celetuk dari seorang penonton dari sudut yang gelap.

Malam terus berjalan, suasana semakin sepi, orang-orang satu per satu meninggalkan kerumunan. Tetapi tanpa disadari, Wiji justru terperangkap dalam alur cerita yang dibawakan oleh sang dalang. Lakon malam itu adalah Sesaji Raja Soya.

Terlihat sang dalang masih begitu semangat, penuh energi menjalankan ceritanya—meski penontonnya tak seberapa.

Di zaman kini, tahun dua ribu tujuh, orang nonton wayang sudah tidak lagi peduli pada edukasinya. Tak banyak yang benar-benar menyimak makna di balik cerita. Padahal, di sanalah inti dari pertunjukan wayang berada—pada nilai-nilai, pada simbol-simbol kehidupan yang dipentaskan lewat tokoh-tokohnya.

Kini, sebagian penonton hanya menunggu bagian campursari-nya, menanti para sinden yang tampil menawan membawakan lagu-lagu populer, atau dagelan lucu yang bisa mengocok perut. Setelah adegan limbukan yang biasa diselingi dengan nyanyian campursari, satu per satu penonton mulai bergeser, ada yang pulang, ada yang pindah ke warung kopi, ada pula yang memilih tidur di atas tikar sambil membiarkan suara gamelan menjadi pengantar mimpi.

Dalam hati, Wiji bergumam:

"Kenapa wayang makin sepi peminat? Apa mungkin karena ceritanya sudah tidak cocok lagi dengan kenyataan hidup masyarakat sekarang? Lagi-lagi tentang lingkungan istana, tentang raja-raja, dan para ksatria yang berkorban demi segelintir orang. Tidak adakah lakon carangan yang bisa bicara tentang kenyataan rakyat kecil hari ini?"

Ia menjeda pikirannya sejenak.

"Atau jangan-jangan memang zamannya yang sudah berubah. Orang sekarang kebanyakan bekerja di pabrik, jadi buruh, kerja di toko, jadi karyawan, pedagang, sopir angkot, bahkan ojek sepeda motor. Mereka harus bangun pagi, kerja seharian. Mana sempat melek sampai subuh hanya untuk menonton wayang?

Dulu beda. Dulu, kebanyakan orang di desa ini masih petani. Kalau soal begadang semalaman pasti kuat, besok tinggal bangun agak siang, nyangkulnya bisa disesuaikan. Sekarang? Wayang seperti jadi tontonan sisa—hanya segelintir orang yang masih setia.”

Wiji terus berdiskusi dengan pikirannya sendiri.

"Penonton sekarang perhatiannya hanya tertuju pada sinden yang cantik, tampil menarik, atau bintang tamu dagelan yang pandai melucu. Mungkin karena peran-peran itulah yang mereka anggap lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Lucu, menghibur, cepat dicerna, dan tidak bertele-tele."

Sambung kata hati Wiji.

"Entah kini siapa yang menggendong dan siapa yang di gendong? Dahulu, dalang menggendong sinden. Namun, sepertinya keadaan mulai berubah. Zaman sekarang, tanpa ditemani sinden-sinden yang menarik, dalang bukanlah apa-apa. Ndak akan laku. Ndak ada yang nanggap. Buat apa ditanggap kalau ndak ada yang nonton? Bukankah orang nanggap tujuannya untuk ditonton?

Sementara itu, dagelan dan sinden mungkin adalah manusia yang masih merdeka. Dengan bahasanya yang lebih merakyat, mereka masih bisa tampil di mana saja—di hajatan, di panggung 17-an, di pasar malam, di peresmian kantor desa. Asal ada uangnya, mereka pasti siap. Sebab orang bilang, sekarang ini zamannya sudah berubah. Zaman masyarakat pasar. Zaman serba instan. Di mana kebudayaan tidak lagi dipandang dari nilai gunanya, tapi lebih pada nilai tukarnya."

Wiji menghentikan lamunannya. Ia sadar, ia bukan siapa-siapa. Ia bukan seniman, apalagi budayawan.

Di antara kerumunan yang hanya tersisa beberapa puluh kepala, kebanyakan lelaki tua yang bersarung, dan anak-anak muda yang duduk bersila di atas tikar yang mereka bawa dari rumah masing-masing, tiga sekawan itu—Wiji, Untung, dan Tejo—ikut larut dalam malam terus berjalan.

Beberapa penonton terlihat masih sibuk menyalakan handycam atau kamera saku digital. Ada pula yang dengan HP berantena panjang, merekam suara gamelan lewat fitur perekam suara—berharap bisa memutar ulang di kamar sempit mereka nanti malam, mungkin hanya untuk nostalgia atau sekadar koleksi. Wiji memandangi mereka sejenak.

"Luar biasa juga, para pelaku seni zaman sekarang," pikirnya.

"Selain bisa menghidupi pedagang kaki lima yang jual kopi dan kacang rebus, mereka juga memberi ruang bagi orang-orang ini—yang setia merekam, meski tak paham-paham amat isi ceritanya. Mungkin bagi mereka, yang penting ada rekaman. Bisa diputar, bisa dibanggakan. 'Ini loh, aku nonton semalam,' kata mereka besok pagi."

Wiji melirik ke arah Untung dan Tejo yang malah sibuk bermain Snake II di layar hijau ponsel Nokia mereka. Jari-jari mereka menari cepat, seolah tak peduli pada gemuruh pertunjukan di depan mata.

Wiji menggeleng pelan, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke arah panggung.

Sekilas, tatapannya berhenti pada salah satu pesinden muda. Gadis itu terlihat sedang berusaha melawan kantuk—sesekali menggulir inbox SMS di layar kecil ponselnya ke atas dan ke bawah, entah membaca ulang pesan dari siapa. Mungkin hanya pelarian dari dinginnya malam yang terus mencumbui kulitnya yang tipis.

Ia duduk timpuh dengan posisi yang setengah kaku, bahunya sedikit terangkat menahan dingin. Sinden itu berparas manja, anggun namun tampak masih lugu. Gerak-geriknya menyiratkan keluwesan.

Malam itu, entah kenapa, tatapan Wiji terasa berbeda. Ia sudah sering melihat gadis sinden itu—di panggung-panggung sebelumnya, dalam rangka apa saja. Tapi malam ini terasa tak biasa. Ada getar yang tak bisa ia jelaskan. Seolah gadis itu membuka semacam pintu rahasia di dalam dirinya, dan di balik pintu itu, ia berdiri, menunggu.

Gadis itu pun menyadari ada tatapan yang mengarah padanya. Sekilas matanya bertemu dengan mata Wiji. Ia menjadi sedikit gugup, lalu tersipu, dan segera menundukkan kepala—berpura-pura fokus pada layar ponselnya, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi pipinya tak bisa berbohong. Ada semburat merah yang tak bisa disembunyikan, meski cahaya lampu-lampu neon hanya menyala redup.

Di tangan gadis itu, ponsel Nokia 2300 dengan casing biru muda bergetar pelan. Ia menggulir layar inbox—bukan karena ada pesan penting, tapi karena ia tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya mencoba menenangkan detak jantung yang tiba-tiba saja berdegup lebih cepat.

Wiji hanya diam. Tapi senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ia tidak tahu kenapa. Tidak juga yakin akan apa. Tapi ia merasa seolah malam itu mengarahkannya ke satu titik, satu rasa, satu kemungkinan.

Ada yang berubah malam ini. Entah dari angin, dari suasana, atau dari cara mata mereka saling memandang. Yang jelas, pada detik itu ada sesuatu yang mulai bergerak... pelan-pelan, namun pasti.

**************

Sampailah kisah pada adegan yang paling dinanti: adegan peperangan. Ontran-ontran pun pecah di negeri Amarta. Rombongan dari negeri Magada, dipimpin oleh Prabu Hamsa—sekutu setia sekaligus bawahan dari Prabu Jarasanda, penguasa tertinggi Magada—datang dengan niat busuk.

Dengan dada membusung dan sorot mata penuh kesombongan, Prabu Hamsa berdiri di hadapan Prabu Puntadewa, sang raja Amarta yang agung dan bijaksana. Di hadapan sang raja, Prabu Hamsa mengutarakan maksudnya: ia datang untuk merebut pusaka keramat Jamus Kalimasada.

“Aku tak ingin berperang, Prabu,” ucap Prabu Hamsa licik. “Serahkan saja pusaka itu padaku. Aku bersumpah akan menukarnya dengan apapun yang engkau inginkan—harta, tahta, wanita... semua akan kuberikan. Asal pusaka itu menjadi milikku.”

Namun belum sempat Prabu Puntadewa memberi jawaban, Prabu Hamsa sudah menebar ancaman.

“Jika engkau menolak,” ucapnya lantang, “maka negeri Amarta ini akan kuhancurkan! Tanahmu akan kubalik, istanamu akan kuleburkan, dan pasukanmu akan kulindas satu demi satu!”

Seketika suasana menjadi tegang. Dari balik istana, sang satria Jodipati, Raden Wrekudara, segera muncul. Dengan tubuh besar dan mata membara, ia tak bisa tinggal diam mendengar kakaknya mendapat ancaman. Tanpa banyak kata, ia langsung cancut taliwondo—siap maju ke medan laga.

Tabuhan kendhang meningkat. Gamelan mendesak cepat, suara gong menggema berat. Perang pun pecah. Wayang-wayang meliuk-liuk cepat di tangan dalang. Di pakeliran, terlihat Senopati Dwarawati, Raden Setyaki, bertarung habis-habisan melawan Prabu Hamsa. Namun Prabu Hamsa terlalu tangguh. Raden Setyaki terpaksa mundur, napasnya tersengal, wajahnya penuh luka. Dengan tergesa, ia menemui Prabu Baladewa. “Ngapunten Kaka Prabu kula kawon. Prabu Hamsa itu bukan tandingan saya."

"Panuksmaning jajal, sukertaning bawana. Iblis laknat!” Prabu Baladewa pun maju. Dengan senjata andalannya Alugara di tangan kanannya, sambil mulut yang tak henti-hentinya ngomel-ngomel, ia mengamuk di medan laga.

“Gatekna matamu! Sapa sing ning ngadepanmu saiki? Iki Sinuwun Mandura, Prabu Baladewa! Atase ratu kaya dapuranmu kok wani nyepelekke aku. Kepruk Alugara, ora kelakon pecah ndasmu, aja diundang aku Prabu Baladewa. Modar kowe!”

Adu senjata terjadi. Wayang-wayang meloncat cepat, gerakan dalang menjadi liar dan sangat fokus. Gendhing perang berkumandang menghentak. Penonton terpukau. Semua perhatian tertuju pada pakeliran yang sedang membara.

"Sudah adegan perang. Ayo kita beraksi." bisik Untung kepada Wiji dan Tejo.

"Gass." Tejo langsung siap,

Sementara Wiji tetap diam tak bergerak barang sedikit pun dari posisi duduknya. Entah, ia tadi mendengar bisikan Untung atau tidak. Saat kedua rekannya bergerak ia masih duduk bersila di tengah kerumunan menatap ke arah wayang-wayang yang di mainkan oleh sang dalang, sembari sesekali mencuri-curi pandang kepada gadis sinden itu. Sementara itu Tejo dan Untung sudah menyelinap berjalan mengendap-endap di belakang pakeliran dan mereka berhenti tepat di depan pak dalang yang hanya di sekat oleh layar warna putih bertepi hitam. Dan sebatang gedebok pisang yang terbujur melintang.

"Eh Jo, mana Wiji?." Sambil menengok ke belakang Untung bertanya kepada Tejo.

"Waduh, ya ndak tahu aku." Jawab Tejo sambil garuk-garuk kepala.

"Ow munyuk, gimana to. Apa kamu tadi ndak lihat dia ngikutin kita apa tidak?."

"Maaf Tung aku ndak lihat."

"Ladalah, lha terus gimana ini?"

"Iya gak tahu. Kan aku ngikutin kamu, Tung."

"Munyuk."

Tejo dan Untung sedikit berdebat tetapi mereka langsung di kagetkan bunyi nyaring keprak dari pak dalang.

Kemudian Untung melirik ke arah pak dalang yang hanya kelihatan kakinya yang sedang sibuk menendang-nendang keprak. Tepat di depan hidungnya terlihat sesuatu yang mereka incar.

"Iya sudah, lupakan Wiji. Malam ini kita beraksi berdua saja, kamu awasi keadaan sekitar dan aku yang akan menjadi eksekutornya." Kata si Untung.

"Siap! Laksanakan." Kata Tejo dengan suara lirih.

Untung pun mengambil kawat blendrat dari dalam saku jaketnya, lalu ia membuat bulatan sebesar tiga jari di ujungnya.

Perlahan-lahan ia arahkan kawat itu ke ayam Ingkung pelengkap sesajen yang di letakkan di bawah batang pohon pisang, ayam itu meringkuk tepat di depan duduknya pak dalang.

Lubang yang ia buat di ujung kawat berhasil mengait kepala ayam kemudian ia tarik dengan perlahan dan dengan penuh kehati-hatian.

Tetapi pak dalang yang sedang sabetan wayang Prabu Baladewa di tangan kiri Prabu Hamsa di tangan kanan. Menyadari kalau ada pergerakan dari ayam Ingkung-nya.

Kaki kanan sila tumpang pak dalang pun meninggalkan keprak-nya lalu ia gunakan kakinya untuk menjepit ayam Ingkung-nya itu.

Tarik menarik pun terjadi antara kaki pak dalang dan kawat yang di kendalikan oleh Untung dari balik pakeliran. Kali ini pak dalang harus menjalankan dua adegan peperangan sekaligus, perang alam atas dan perang alam bawah.

Kedua-duanya sama-sama sengit. Tetapi karena keprak harus segera di tendang sesaat sebelum Prabu Baladewa menghantam wajah Prabu Hamsa.

Akhirnya terpaksa pak dalang harus melepas jepitan kakinya dari Ingkung yang sudah melewati batang pisang yang melintang di hadapannya.

Perang alam bawah pun akhirnya di menangkan oleh Untung. Dan setelah berhasil meraih ayam ingkung, Untung dan Tejo langsung melarikan diri jauh ke arah belakang. Menyusup ke dalam gelap, dan kemudian menghilang entah kemana.

********

Tak terasa, waktu merangkak perlahan menuju pagi. Langit masih pekat berselimut mendung. Denting gamelan di panggung wayang telah memasuki nadirnya—pertanda kisah hampir selesai.

Bersamaan dengan itu, lamunan Wiji pun buyar. Ia tersentak dari dunia yang membawanya terhanyut—dan baru sadar, kalau kedua temannya telah menghilang dari sisi.

Dengan langkah tergopoh, ia menuju ke belakang pakeliran. Matanya menyapu ke segala arah—ke sudut-sudut panggung, ke sela-sela keramaian yang mulai reda. Namun tak ada bayang Untung, tak juga Tejo.

Wiji pun mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya—Nokia kecil berlayar monokrom, baterainya masih penuh karena semalaman tak dipakai. Ia mencoba menghubungi mereka lewat panggilan suara dan mengirim SMS satu per satu. Tapi tak ada balasan. Hanya tulisan "pesan terkirim" yang muncul di layar, tanpa tanda diterima.

"Mungkin mereka sudah pulang lebih dulu," pikirnya, sambil menahan rasa janggal yang menggantung di dada. Ia pun berbalik arah, melangkah menuju tempat parkir di tepi jalan— tempat ketiga motor mereka berjejer tadi.

Dan benar saja: hanya satu motor yang masih setia menunggu. GL-MAX miliknya, berdiri sendiri, seperti saksi bisu yang ditinggalkan teman-temannya.

Di sekitarnya berserakan sampah—bekas plastik, kaleng air minum, dan bungkus makanan ringan—seperti jejak malam yang mulai lelah.

Bungkus kacang rebus, puntung rokok, dan kertas minyak martabak tertiup angin pagi yang dingin.

Wiji hanya bisa menghela napas, panjang dan lirih, seolah mengembuskan lelah yang tak sempat ia ucapkan.

Hatinya berbisik,

"Kenapa orang-orang cuma bisa ngotot melestarikan seni budaya warisan yang adiluhung dan edipeni? Sementara mereka lupa melestarikan lingkungan hidup yang mereka tinggali. Padahal yang menunjang keberlangsungan kebudayaan dan masyarakat tetap saja alam. Kalau alamnya rusak, apanya yang mau lestari?"

Ia memutar motornya dengan sedikit kesal. Ditambah kali ini, ia harus pulang sendirian. Tak ada tawa, tak ada adu bising knalpot. Hanya sepi yang menempel di punggungnya.

Gas GL-MAX itu ditancapnya dalam-dalam. Suara knalpot meraung membelah udara pagi yang menyimpan embun. Jalanan lengang, hanya sorot lampu motornya yang mengguratkan cahaya di antara remang-remang dan bayang pepohonan. Angin dingin menampar wajahnya, menusuk sampai ke tulang. Tapi ia tak peduli.

Dalam pikirannya, satu wajah terus berputar-putar. Wajah itu—wajah anggun seorang gadis sinden. Suara lembutnya, caranya menunduk malu-malu, senyumnya yang manis, seolah semuanya masih menempel jelas di benaknya.

Ia tersenyum sendiri. Ada kehangatan yang tumbuh di dadanya, sehangat sisa bara api yang disulut oleh pertemuan singkat.

Ia terus melaju. Lubang-lubang jalan yang menganga di depannya tak dihindari. Ia terjang saja. Seolah tak ada hal lain yang penting selain terus membiarkan pikirannya terbang bersama bayang-bayang gadis sinden itu.

Bayangan itu kini menemaninya—di atas roda, di dalam hati, dan entah sampai kapan. Yang ia tahu, pagi ini, meski sunyi dan dingin, rasanya seperti sedang jatuh cinta diam-diam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!