NovelToon NovelToon
Mencari Kebahagiaan

Mencari Kebahagiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Suami ideal / Trauma masa lalu
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Janji dibawah langit Paris

Malam semakin larut, tetapi cahaya Menara Eiffel terus berkelip seperti menyaksikan kisah dua hati yang sedang bertumbuh.

Setelah menyantap hidangan penutup, Abraham berdiri dan menatap Aira dalam-dalam.

Sorot matanya begitu hangat, seolah menenangkan badai kecil yang masih tersisa di hati perempuan itu.

“Aira...” katanya pelan, suaranya sedikit bergetar. “Ada hal penting yang ingin aku katakan.”

Aira menatapnya, mencoba membaca gerak-gerik Abraham.

Tapi sebelum ia sempat bertanya, pria itu perlahan berlutut di hadapannya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru biru dari saku jasnya.

Mata Aira membelalak. Tangannya refleks menutup mulutnya.

“Aku tahu kamu belum sepenuhnya pulih. Aku tahu ada banyak luka yang belum sembuh. Tapi yang aku tahu pasti... aku ingin menjadi orang yang ada di sisimu saat kamu sembuh. Saat kamu menangis, tertawa, bahkan saat kamu ingin menyerah. Aira, maukah kamu menikah denganku?”

Aira tidak bisa berkata apa-apa. Dadanya terasa sesak oleh haru. Air mata mengalir begitu saja.

“Pak Abraham...”

“Aku tidak akan memaksamu. Tapi izinkan aku membuktikan bahwa cinta tidak selalu menyakitkan. Aku akan menjaga kamu. Selalu.”

Dengan tangan yang gemetar, Abraham mengambil cincin dari kotaknya dan perlahan menyelipkannya ke jari manis Aira. Cincin itu pas, sederhana, namun penuh makna.

Aira terisak, lalu mendekap tubuh Abraham erat-erat.

“Iya. Aku mau... Aku mau bersama kamu.”

Abraham memeluknya kembali, membenamkan wajahnya di rambut Aira yang lembut.

“Mulai sekarang, jangan panggil aku ‘Pak’ lagi. Panggil aku Mas Abraham, ya?”

Aira terisak kecil, lalu tertawa di tengah tangisnya.

“Baik, Mas Abraham...” katanya, geli sendiri dengan panggilan itu.

Malam itu menjadi saksi janji dua insan yang sama-sama terluka, namun memutuskan untuk sembuh bersama.

Setelah momen lamaran yang menggetarkan hati itu, mereka kembali ke hotel dengan hati yang penuh haru.

Aira masih belum percaya bahwa ia kini mengenakan cincin di jari manisnya sebuah tanda bahwa dirinya dicintai dan diinginkan tanpa syarat.

Sesampainya di kamar hotel, Abraham membuka koper kecil di sudut ruangan dan mengeluarkan beberapa dokumen serta tiket.

“Aku ingin kamu bertemu dengan orang tuaku,” katanya tenang, namun matanya menatap Aira penuh harap.

Aira seketika tampak gugup. Ia duduk di ujung tempat tidur, menunduk.

“Kalau... kalau mereka nggak suka aku gimana? Aku bukan dari keluarga terpandang. Aku punya masa lalu yang…”

Abraham tersenyum, lalu duduk di sampingnya dan menggenggam tangan Aira erat.

“Aira, kamu dengarkan aku baik-baik, ya. Orang tuaku bukan orang yang punya pikiran kolot. Mereka hanya ingin aku bahagia, dan kamu adalah alasan aku tersenyum belakangan ini.”

Aira menatap mata Abraham. Ada ketulusan yang tak terbantahkan di sana.

“Lagipula,” lanjut Abraham, sambil tersenyum nakal,

“aku sudah merencanakan ini sejak sebelum kita terbang. Rumah orang tuaku ada di Inggris, dan kita akan terbang ke sana besok pagi.”

Aira terperangah. “Jadi Paris ini... hanya permulaan?”

“Yup. Aku mau perkenalkan kamu bukan cuma sebagai tunanganku, tapi sebagai calon menantu kebanggaan mereka.”

Aira tertawa kecil, campur malu dan gugup. “Kamu ini memang selalu membuatku nggak bisa berkata-kata.”

“Bagus, jadi besok tinggal senyum aja ya,” canda Abraham sambil mencubit lembut ujung hidung Aira.

Malam itu, Aira tidur dengan perasaan campur aduk antara bahagia, gugup, dan harapan. Namun satu hal yang pasti, ia tidak lagi sendiri dalam menghadapi semuanya.

Malam itu, di tengah keheningan kota Paris, Aira perlahan memeluk tubuh Abraham yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang.

Suara detak jantungnya terdengar jelas di telinga Aira, memberi rasa tenang tapi juga menciptakan riak kekhawatiran.

“Mas…” bisiknya pelan, suaranya hampir seperti angin malam yang menyelinap lewat jendela.

“Aku nggak bisa tidur. Aku takut kalau besok… kalau mereka nggak suka aku.”

Abraham menghentikan gerakan tangannya yang semula membelai rambut Aira.

Ia menunduk, mencium lembut kening wanita yang kini berlabuh di pelukannya.

“Tidur, Sayang,” ucapnya lembut. “Besok tidak akan terjadi apa-apa. Jangan mau dibohongi sama pikiran kamu sendiri.”

Aira mengatupkan mata, menahan air mata yang nyaris tumpah karena hangatnya ucapan Abraham.

Pelan-pelan, ia menarik napas panjang, lalu mengangguk.

“Maaf, aku terlalu banyak cemas…”

“Karena kamu terlalu banyak sayang,” jawab Abraham singkat, membungkus Aira lebih erat dengan lengannya.

Malam itu, tanpa ia sadari, Aira akhirnya bisa tertidur dalam pelukan seseorang yang berjanji akan melindunginya, bahkan dari dirinya sendiri.

****

Keesokan harinya, udara pagi di Paris masih menyisakan embun di kaca mobil yang membawa Abraham dan Aira menuju bandara.

Aira duduk diam, menggenggam tangan Abraham dengan erat.

Wajahnya masih menyimpan gugup meskipun ia berusaha menyembunyikannya dengan senyum tipis.

“Mas… mereka benar-benar tahu kita akan datang hari ini?” tanyanya lirih.

Abraham menoleh dan tersenyum. “Mereka bahkan sudah menyiapkan makanan khas kesukaan aku, karena tahu kamu akan datang. Mereka nggak sabar mau ketemu calon menantu.”

Aira tertawa kecil, walau gugup itu belum sepenuhnya hilang.

“Kenapa kamu selalu tahu cara nenangin aku ya?”

“Karena aku pengen kamu tahu, kamu nggak sendiri. Lagi pula, aku udah merencanakan ini dari jauh-jauh hari, nggak mungkin gagal.”

Sesampainya di bandara, mereka langsung naik ke pesawat pribadi yang telah menunggu.

Kali ini Aira tidak lagi bertanya, hanya tersenyum saat menyadari bahwa segalanya memang sudah disiapkan Abraham.

Di dalam pesawat, Abraham membuka laptop dan menunjukkan foto-foto keluarganya kepada Aira.

“Ini Mama. Dia suka bunga. Dan ini Papa. Agak pendiam, tapi aslinya lucu kalau udah kenal.”

Aira memperhatikan dengan seksama. “Mereka terlihat hangat…”

“Dan mereka akan menyukaimu,” tambah Abraham yakin.

Beberapa jam kemudian, pesawat mereka mendarat di Inggris.

Angin sejuk menyapa wajah Aira saat mereka melangkah keluar dari pesawat.

Di kejauhan, tampak sepasang suami istri paruh baya menunggu dengan senyum hangat.

“Siap ketemu keluarga barumu?” bisik Abraham.

Aira mengangguk, meski degup jantungnya tak bisa berbohong.

Sesampainya di rumah keluarga Abraham yang asri dan klasik di pinggiran kota Inggris, Aira disambut dengan pelukan hangat dari Mama Abraham.

Wanita paruh baya itu menatap Aira dengan senyum yang tulus dan mata berbinar.

“Cantik sekali kamu, Aira,” ucapnya sambil mengelus lengan Aira dengan lembut. “Abraham benar-benar beruntung.”

Aira tersipu malu, sementara Abraham hanya tersenyum senang melihat kehangatan itu.

Papa Abraham, yang awalnya terlihat tenang dan pendiam, ikut menjabat tangan Aira. “Selamat datang, Nak. Anggap saja ini rumah sendiri, ya.”

Setelah obrolan ringan, Mama mengajak mereka makan siang di ruang makan yang penuh dengan aroma masakan rumahan.

Hidangan khas Inggris tersaji rapi, dan Mama tak henti-hentinya menawari Aira makanan.

Saat suasana mulai hangat dan santai, Mama menatap Abraham dan Aira sambil tersenyum penuh arti.

“Jadi... kapan kalian menikah?”

Aira terbatuk pelan, kaget dengan pertanyaan langsung itu.

Abraham meraih tangan Aira di bawah meja sambil tersenyum tenang.

“Mama sama Papa sudah nggak sabar ingin menimang cucu, loh,” lanjut Mama dengan tawa kecil.

Aira dan Abraham saling pandang, kemudian Aira menjawab dengan lembut,

“Kalau Tuhan mengizinkan, secepatnya, Ma.”

Mama langsung bertepuk tangan pelan. “Wah, Mama bantu urus semua kalau bisa!”

Papa hanya tertawa kecil. “Yang penting kalian bahagia.”

Abraham menatap Aira dengan penuh kasih. “Kami akan mulai menyiapkan semuanya begitu kembali ke Indonesia.”

Suasana siang itu hangat, dan untuk pertama kalinya Aira benar-benar merasa seperti bagian dari sebuah keluarga.

Setelah makan siang yang hangat bersama orang tua Abraham, keduanya berjalan santai menuju taman kecil di belakang rumah.

Udara Inggris yang sejuk, aroma bunga mawar, dan suara dedaunan yang tertiup angin membuat suasana terasa begitu damai.

Aira duduk di bangku taman sambil memeluk kedua tangannya.

Matanya memandangi rumah yang berdiri anggun di depannya, tak percaya bahwa semua ini benar-benar terjadi.

“Aku seperti mimpi berada di sini...” bisiknya lirih.

Lalu ia menoleh pada Abraham yang duduk di sampingnya, matanya berbinar.

“Cubit aku, Mas.”

Abraham tersenyum, lalu dengan lembut mencubit pipi Aira.

“Udah. Nyata, kan?”

Aira tertawa kecil, menampar pelan tangan Abraham.

“Iya, nyata... tapi rasanya kayak dunia yang terlalu sempurna untuk aku.”

Abraham menatapnya dalam, lalu menggenggam tangannya.

“Kamu memang pantas bahagia, Aira. Ini bukan mimpi, ini awal dari kenyataan yang baru.”

Aira tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca bukan karena sedih, tapi karena hatinya akhirnya benar-benar terasa tenang.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam dimana mereka akan makan malam.

Tiba-tiba malam itu suasana rumah yang sebelumnya hangat berubah menjadi tegang saat seorang tamu dari Jerman datang bersama putrinya, Ariesta.

Mereka adalah sahabat lama Papa Abraham dan tampaknya membawa maksud lain dari sekadar silaturahmi.

Setelah duduk dan berbasa-basi sejenak, barulah maksud kedatangan mereka terungkap, mereka ingin menjodohkan Ariesta dengan Abraham.

Papa dan Mama Abraham saling pandang sebelum akhirnya tersenyum canggung.

“Maaf, Abraham sudah memiliki calon istri,” ucap Papa tegas namun sopan.

Ariesta menoleh, matanya langsung tertuju ke dapur, tempat Aira tengah membantu menyiapkan minuman.

Wajah Ariesta berubah sinis, dan dengan nada mengejek ia berkata, “Masih cantik aku daripada wanita kampung itu.” ucap Ariesta dengan nada mengejek Aira.

Ucapan itu membuat udara di ruangan seakan membeku.

Mama Abraham yang sedari tadi menahan diri, akhirnya bangkit dari duduknya. Sorot matanya tajam, nada suaranya tidak meninggi, tapi cukup menusuk.

“Silakan kalian keluar dari rumah ini,” katanya tenang tapi tegas.

“Kebahagiaan anakku lebih penting daripada rengekan dan kesombongan Ariesta.”

Tamu itu pun tampak terkejut, sementara Ariesta berdiri dengan wajah memerah menahan amarah dan malu. Dengan berat hati, mereka akhirnya meninggalkan rumah.

Abraham yang mendengar kejadian itu dari lantai atas segera menghampiri ibunya.

“Terima kasih, Ma.”

Mama hanya tersenyum sambil menatap ke arah dapur.

“Jaga baik-baik Aira. Dia adalah rumah yang kamu butuhkan, bukan pilihan yang dipaksakan.”

Setelah tamu itu pergi dan suasana rumah kembali tenang, Abraham masuk ke dapur, tempat Aira berdiri mematung, memegang cangkir yang belum sempat ia letakkan.

Matanya menatap kosong, bibirnya gemetar, meski ia berusaha tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.

Abraham perlahan mendekat, mengambil cangkir dari tangan Aira dan meletakkannya di meja. “Sini,” katanya lembut sambil menarik Aira ke dalam pelukannya.

Aira akhirnya tak mampu menahan air matanya.

“Mas… aku nggak pernah nyangka akan diperlakukan seperti itu…”

Abraham mengusap punggungnya perlahan. “Dia nggak pantas menghina kamu, dan kamu nggak perlu dengarkan omongan orang seperti itu.”

Aira menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Tapi kalau… kalau orang tuamu berubah pikiran karena omongan mereka?”

Abraham mengangkat dagunya, menatap wajah Aira dalam-dalam.

“Dengar ya… orang tuaku tidak sekadar menyambutmu, mereka menyayangimu. Dan aku? Aku mencintaimu. Tak ada yang bisa mengganti itu. Bahkan satu dunia pun nggak akan mengubah keputusanku.”

Aira tersenyum kecil di balik air matanya. “Terima kasih, Mas…”

Abraham mencium keningnya dengan lembut.

“Sekarang, ayo istirahat. Besok masih banyak kebahagiaan yang menunggu kita.”

1
Asmara Senja
Kereeeennnn
my name is pho: Terima kasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!