Sila, seorang gadis karier dari dunia modern yang tajam lidah tapi berhati lembut, terbangun suatu pagi bukan di apartemennya, melainkan di sebuah istana mewah penuh hiasan emas dan para pelayan bersujud di depannya—eh, bukan karena hormat, tapi karena mereka kira dia sudah gila!
Ternyata, Sila telah transmigrasi ke tubuh seorang selir rendahan bernama Mei Lian, yang posisinya di istana begitu... tak dianggap, sampai-sampai namanya pun tidak pernah disebut dalam daftar selir resmi. Parahnya lagi, istana tempat ia tinggal terletak di sudut belakang yang lebih mirip gudang istana daripada paviliun selir.
Namun, Sila bukan wanita yang mudah menyerah. Dengan modal logika zaman modern, kepintarannya, serta lidah tajamnya yang bisa menusuk tanpa harus bicara kasar, ia mulai menata ulang hidup Mei Lian dengan gaya “CEO ala selir buangan”.
Dari membuat masker lumpur untuk para selir berjerawat, membuka jasa konsultasi percintaan rahasia untuk para kasim.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Setelah beberapa hari menyamar ke dapur, belajar diam-diam bersama Master Liu, dan berlatih bela diri dengan Guru Ji, hari-hari Mei Lin makin sibuk. Tapi semua itu dilakukannya karena satu alasan sederhana: ia tidak mau tinggal diam saat seseorang mencoba mencelakai orang-orang yang ia hormati.
Termasuk Ibu Suri.
Hari itu, kabar buruk kembali menyelimuti istana.
Kabar Duka dari Paviliun Utama
Ibu Suri tiba-tiba muntah darah setelah menyantap semangkuk sup rebung istimewa yang dikirim oleh salah satu selir.
Mei Lin yang mendengar kabar itu langsung melompat dari kursi baca di perpustakaan.
“Astaga langit! Sup rebung? Bukankah hari ini aku membuat sup udang tahu?”ujar Mei Lin kaget
"Benar kenapa jadi sup rebung?" kaget Lian
Ia segera berlari menuju Paviliun Utama bersama Qin Mo dan juga Lian
Setibanya di sana, dokter istana sudah bersimpuh di lantai, berkeringat dingin.
“Hamba mendeteksi kandungan jinghong cao... racun lambung dari daerah barat.”
Kaisar berdiri tegang. “Siapa yang memasak sup rebung itu?!”
Seorang dayang menunduk gemetar. “Itu… dari Selir Rong…”
Selir Rong langsung jatuh terduduk, wajahnya pucat pasi.
“B-bukan aku yang meracuni! Aku hanya ingin menyenangkan Ibu Suri…”
Kaisar mengeraskan suaranya. “Bawa ke pengadilan dalam istana! Selidiki siapa pelakunya!”
Mei Lin Turun Tangan: Investigasi Dapur
Mei Lin, ditemani Master Liu dan Qin Mo, kembali ke dapur. Kali ini tak lagi menyamar. Ia berdiri tegak di hadapan seluruh pelayan.
“Aku tak ingin menyalahkan siapa pun tanpa bukti. Tapi jika ada yang bermain-main dengan nyawa Ibu Suri, maka hukuman langit akan menyusul.”
Pelayan saling pandang. Salah satu dari mereka—seorang pemuda baru dari dapur utara—gemetar hingga menjatuhkan mangkuknya.
Qin Mo menatap tajam. “Namamu siapa?”
“X-Xia Hou… saya hanya bantu… mencuci sayuran…”
Master Liu melangkah ke rak bumbu dan menarik salah satu kantong rempah. Ia membuka dan mencium aromanya, lalu menoleh pada Mei Lin.
“Rempah ini… tercampur dengan jinghong cao. Lihat ini. Ada serpihan abu kehitaman.”
Mei Lin mengambil satu daun rempah itu, lalu menunjukkannya ke pelayan tadi.
“Kau bilang hanya mencuci sayur, tapi kenapa namamu tercatat di bagian pencampur bumbu hari ini?”
Xia Hou mulai panik. “S-saya… diperintah…”
“Siapa?!” tegur Master Liu.
Tiba-tiba pemuda itu berlutut. “Saya… diancam oleh pelayan dari selir Rong! Dia bilang jika tidak kutaruh racun, ia akan menyebarkan aib keluarga saya!”
Keadilan di Aula Dalam
Selir Rong dibawa ke aula besar, wajahnya sudah pucat. Saat mendengar pengakuan Xia Hou, ia tetap bersikeras.
“Itu bohong! Aku tidak pernah memerintahkan siapa pun!”
Namun Kaisar hanya menatapnya datar.
“Setiap langkah dalam istana punya saksi. Dan ketika kau mengutus orang di luar lingkup pelayan tetapmu, catatan itu masuk ke tangan kepala rumah tangga istana.”
Ia melemparkan gulungan catatan ke depan Selir Rong. Di sana tertulis: perintah khusus membawa pelayan tambahan dari dapur utara—atas nama Selir Rong.
Ibu Suri menatapnya dengan kecewa. “Aku tak menyangka… demi rasa cemburu, kau tega menaruh racun dalam makanan seorang ibu tua.”
Selir Rong menangis. “Hamba… hanya ingin perhatian Kaisar…”
Kaisar menghela napas.
“Kau akan diasingkan ke Kuil Selatan untuk bertobat selama sepuluh tahun. Semua gelar dan kehormatan dicabut.”
Selir Rong menangis keras saat digiring oleh dua penjaga.
Sang Penyebab Kembali Bersinar
Setelah insiden itu, Ibu Suri kembali sehat. Tapi yang membuat semua orang tercengang adalah—sup tahu udang buatan Mei Lin yang disajikan setelah kejadian.
“Ini… menghangatkan perut dan hati,” kata Ibu Suri dengan mata berbinar.
Para selir lain yang menyaksikan diam-diam mengeratkan jemari. Lagi-lagi, nama Mei Lin melambung tinggi.
Yang membuat mereka makin geregetan adalah ketika Kaisar sendiri mengambil sendok, mencicipi sup itu, dan berkata ringan:
“Kalau setiap hari begini, aku mungkin akan ke dapur sendiri.”
Semua selir terdiam. Tapi tak ada yang berani berkata apa-apa.
Mei Lin di Malam Hari
Malam itu, Mei Lin duduk di balkon kecil kamarnya. Lian dan Qin Mo berdiri tak jauh, mengamati langit.
“Sudah kukatakan aku tak suka istana,” gumam Mei Lin. “Selalu ada saja yang drama.”
Qin Mo tersenyum tipis. “Tapi nona sendiri… pusat dramanya.”
"Benar... Jadi terima saja nyonya, anda memang pantas jadi pusat" tambah Lian
Mei Lin menjitak bahu Lian Qin Mo ringan. “Bukan aku yang minta jadi selir paling bersinar, tahu!”
Keduanya tertawa kecil, lalu hening sejenak.
Mei Lin menatap langit.
“Kalau aku bisa membuat orang-orang makan dengan tenang, mungkin... aku akan mulai suka tempat ini.”
Qin Mo menunduk sedikit. “Dengan masakanmu dan pedangku, kita bisa menjaga tempat ini, Nona.”
"Dan jangan lupakan aku nyonya" ujar Lian
"Is ikut ikut saja" ujar Qin Mo pada Lian
Mei Lin menoleh. “Hei, jangan terlalu manis. Nanti aku jadi benar-benar jatuh cinta padamu.”
Qin Mo hampir tersedak udara malam.
Mei Lin tertawa puas.
Dan malam istana pun kembali tenang… setidaknya sampai kekacauan berikutnya.
Sejak insiden racun yang digagalkan oleh Selir Mei Lin, nama selir muda itu menjadi harum seantero istana. Namun, alih-alih duduk santai menikmati pujian, Mei Lin justru makin sibuk di dapur.
“Aku punya ide makanan baru!” serunya suatu pagi, membuat Master Liu dan para dayang dapur menoleh heran.
“Apa kali ini, Selir Mei Lin?” tanya Master Liu lelah—karena ide-ide aneh Mei Lin sering mengubah tatanan dapur istana dalam semalam.
Mei Lin dengan semangat menggulung lengan bajunya. “Aku akan membuat… mie gulung isi daging dengan kuah kacang dan acar mangga!”
Semua orang diam.
“Mie… gulung? Kuah… kacang?” tanya mereka
Qin Mo, yang biasa menjaga di dekat pintu dapur, menoleh curiga. “Apa itu makanan orang kota aneh dari duniamu lagi?”
Mei Lin mengangkat dagu angkuh. “Kalau kalian tidak mencobanya, jangan salahkan aku kalau seluruh kota jadi heboh karena rasa barunya!”
Paviliun Makanan Mei Lin
Beberapa hari kemudian, sebuah paviliun kecil di luar dinding istana dibuka. Tentu, ini rahasia—hanya diketahui oleh beberapa orang dalam, dan nama pemiliknya disamarkan menjadi "Lady Ming".
Namun, tak butuh waktu lama, kabar tentang mie gulung kuah kacang menyebar seperti api menyambar jerami.
“Dengar-dengar, makanan ini dibuat oleh tangan perempuan bangsawan.”
“Katanya, bisa menyembuhkan patah hati dan menyatukan keluarga yang bertengkar!”
Dalam seminggu, antrean di depan paviliun Lady Ming mengular.
Ibu Suri sendiri mengangguk bangga saat mendengar kabar itu.
“Mei Lin itu… memang tak biasa,” gumamnya sambil mengunyah mie gulung dengan wajah bahagia.
Di istana, selir-selir lain hanya bisa gigit jari. Terlebih ketika Kaisar sendiri memuji di hadapan semua:
“Siapa sangka… seorang selir bisa memengaruhi lidah rakyat.”
Sebuah Surat Rahasia
Malam itu, Mei Lin baru saja selesai menyiapkan adonan kue wijen isi madu, saat Qin Mo datang tergesa.
“Ada utusan dari perbatasan. Masalah besar, Nona Mei Lin.”
Mei Lin langsung duduk tegak. “Masalah?”
Qin Mo mengangguk serius. “Suku Lang dari utara mulai berkumpul di wilayah timur kekaisaran. Mereka tidak hanya berburu. Mereka bersiap perang.”
Mei Lin memandang ke luar jendela, menatap langit malam.
"Sepertinya mie gulung belum cukup membuat semua orang kenyang…"
Bersambung