NovelToon NovelToon
Jejak Luka Sang Mafia

Jejak Luka Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Nikah Kontrak / Cinta Paksa
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Sonata 85

Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jika Kamu Datang Nanti Aku Sudah Berubah

Malam itu – 22.45 WIB, Kediaman Damian

Angin malam menyusup lewat sela jendela kamar Vanesa. Ia duduk di tepi ranjang, tangan gemetar memegangi surat cerai yang baru saja diselipkan di bawah pintu. Di sudut bawah kertas itu, tertera catatan tangan ibu mertua:

“Tandatangani. Kalau tidak, jangan salahkan aku bila kau kehilangan lebih dari sekadar suami.”

Vanesa meremas surat itu. Napasnya tercekat saat mendengar suara langkah kaki mencurigakan di luar jendela kamarnya—terlalu berat, terlalu teratur. Ia mendekat pelan, menyibak gorden sedikit.

Tiga pria berdiri di pekarangan belakang. Salah satunya memegang linggis.

Mulut Vanesa membeku. Ia tahu persis gaya preman seperti itu. Dan ia juga tahu siapa yang sanggup menyewa mereka—ibu Damian. Wanita yang sejak awal menganggapnya benalu.

Darahnya berdesir. Ia harus pergi.

Vanesa cepat-cepat membuka lemari, mengisi koper kecil dengan dokumen, pakaian secukupnya, dan uang tunai simpanannya. Dengan sekuat tenaga, ia membuka jendela dan memanjat keluar lewat atap samping.

Hampir saja salah satu preman melihatnya, tapi suara anjing tetangga menggonggong mengalihkan perhatian mereka. Ia melompat turun ke tanah dan berlari sekuat tenaga menyusuri lorong belakang rumah.

“Kabur dia! Kejar!” salah satu preman berteriak.

Vanesa menoleh sekali, melihat mereka mengejar, lalu menambah kecepatannya. Jantungnya berdebar, napasnya berat, tapi tekadnya lebih kuat dari rasa takut. Ia tidak akan menyerah seperti ibunya yang dulu lari dari rumah tanpa pamit. Ia tidak akan mewarisi trauma yang sama.

**

Sebuah gang gelap, 23.05 WIB

Vanesa hampir pingsan karena lelah. Saat langkahnya melambat, tiba-tiba dari arah berlawanan, dua mobil hitam meluncur mendekat. Pintu belakang terbuka.

“Bu Vanesa! Masuk cepat!” teriak suara lelaki muda—Felix, anak buah Gavin yang dulu pernah menyelamatkannya.

Vanesa ragu. Tapi saat ia melihat bayangan para preman muncul dari belakang, ia tak punya pilihan. Ia melompat ke dalam mobil, dan kendaraan itu langsung melaju kencang.

Di dalam mobil, Vanesa terdiam. Matanya menatap keluar jendela, mencoba menenangkan detak jantungnya.

Felix menoleh padanya. “Anda tidak apa-apa?”

“Kenapa kalian ada di sana?” tanyanya pelan, curiga.

“Kami hanya  kebetulan pulang kantor.”

Vanesa mengerutkan kening. Hatinya sakit lagi. “Semuanya… ini semua, hidupku berantakan… karena Gavin, bukan?”

Felix tak menjawab.

“Bilang pada Bos-mu, aku tidak butuh bantuannya,” katanya dingin. “Aku akan menyelesaikan ini sendiri. Aku bukan wanita yang akan lari ke pangkuan mafia hanya karena ketakutan.”

Felix menatap Vanesa penuh hormat. “Kami hanya ingin memastikan Anda selamat.”

Vanesa menatap lurus. “Berhenti di pertigaan depan. Aku turun.”

Felix menoleh ke sopir, mengangguk pelan. Mobil berhenti.

Tapi sebelum Vanesa turun, Felix sempat menelepon  Gavin.

“Bos, dia menolak ikut.”

Gavin menghela nafas berat, “Katakan padanya ini untuk terahir kalinya.”

Vanesa akhirnya setuju saat Felix mengatakan ini untuk terahir kalinya Gavin menganggu hidupnya.

Apartemen Penthouse Gavin, pukul 01.15 WIB

Langit kota Jakarta diselimuti mendung. Kilatan petir sesekali menyambar gedung-gedung tinggi. Di lantai 52 sebuah apartemen mewah, Gavin berdiri di balik jendela besar, memandangi kota yang tidak pernah tidur.

Teleponnya bergetar. Ia membaca pesan singkat dari Felix:

[Dia sedang menuju ke sini. Setelah aku katakan ini terahir kalinya]

Gavin menggenggam ponsel itu erat.  “Baiklah ini terahir,” gumamnya pelan.

Pukul 01.35, pintu apartemen itu terbuka. Vanesa berdiri di sana—basah, lelah, tapi matanya tetap teguh.

“Masuklah,” kata Gavin pelan.

Vanesa melangkah masuk. Di dalam, pencahayaan temaram dan ruangan elegan itu tampak dingin seperti hati penghuninya. Gavin menunjuk sofa panjang di ruang tamu.

“Duduk.”

Vanesa duduk perlahan. Gavin duduk di seberangnya, menyilangkan kaki, menatap wanita yang pernah ia cintai sepenuh hati—dan kini menjadi teka-teki yang tak bisa ia pecahkan.

Tak ada sapaan. Tak ada senyum. Seperti dua orang asing yang terjebak dalam ruang waktu yang sama, tapi berbeda dunia.

“Aku dengar kau nyaris diculik tadi,” Gavin membuka percakapan.

“Jangan pura-pura peduli,” jawab Vanesa tajam. “Atau... memang kamu yang menyuruh mereka?”

Gavin tertawa pendek. “Sayangnya, bukan aku. Kalau aku, kamu pasti sudah duduk manis di depanku lebih awal.”

Vanesa mendongak. “Kalau kau ingin menyiksaku dengan sindiran dan ejekan, aku sudah kenyang.”

“Aku tidak mengundangmu untuk itu,” Gavin berkata datar. “Aku hanya ingin bicara. Terakhir kalinya.”

Vanesa menatap mata Gavin. Di balik dingin itu, ia melihat bayangan lelaki yang dulu pernah ia cintai. Tapi bayangan itu kini tertutup oleh luka—luka karena pengkhianatan

“Apa yang kau inginkan?” tanyanya pelan.

Gavin menarik napas panjang. “Pernikahan.”

Vanesa menegang.

“Aku diminta kakek menikah dengan Karin besok—anak sahabat ayahku, rekan bisnis keluarga. Tapi aku tidak ingin wanita itu. Aku ingin kamu. Kalau kamu menolakku malam ini, maka ketahuilah besok aku sudah jadi suami seseorang.’

Vanesa tertawa pahit. “Aku tidak bisa Gavin, aku tidak bisa menikah deganmu, walau itu hanya pelarianmu dari pernikahan politis? Semoga kamu bahagia dengan pernikahanmu besok.”

Gavin berdiri. Suaranya naik satu oktaf. “Ini bukan sekadar pelarian. Aku memilih kamu! Sekali lagi! Setelah semua penolakanmu, setelah semua sakit hati yang kau beri, aku... tetap memilih kamu! Tidak bisakah kamu mengalah dan mengatakan’ya’ padaku ? Sekali saja Vanesa. Kali ini aja.”

Felix, Raga dan Zidan hanya bisa menunduk dalam diam. Baru kali ini mereka melihat bos mafia  itu, pria tangguh berwajah dingin itu, luluh tidak berdaya memohon bahkan mengemis untuk satu hal, ya itu.  Cinta. Gavin bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan kecuali satu.  Cinta dari Vanesa.

Vanesa berdiri. “Tidak, aku tidak bisa. Aku tetap menolak. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan keluargamu.”

“Kamu egois, sama seperti ibumu.”

“Jangan pernah membawa nama wanita itu depanku!” ucap Vanesa marah.

Hening.

Hanya suara detak jam dan petir dari kejauhan yang mengisi ruangan.

Vanesa meraih tasnya. “Aku pamit. Jangan panggil aku lagi.”

Tapi saat ia berbalik, suara Gavin menghentikannya.

“Kau pikir kau kuat, Vanesa?” suaranya pelan tapi menusuk. “Kau pikir kau bisa hadapi dunia sendirian?”

Vanesa tidak menjawab.

“Baiklah,” Gavin melangkah mendekat. “Ini janji terakhirku padamu. Aku tidak akan menawarkan apapun lagi. Tidak akan menyelamatkanmu lagi. Tidak akan mengulurkan tangan. Tapi satu hal pasti—kau akan kembali. Bukan karena cinta. Tapi karena kau akan mengemis bantuanku... saat dunia benar-benar menghancurkanmu.”

Vanesa menoleh perlahan. Matanya berkaca-kaca, tapi wajahnya tetap teguh.

“Kalau hari itu tiba, aku akan lebih tenggelam daripada kembali padamu.”

“Ingat janjimu. Jika sauatu saat kamu datang padaku, ingatlah kalau aku bukan Gavin yang dulu kamu kenal.”

“Baik.”

Vanesa membuka pintu dan pergi tanpa menoleh lagi.

Felix yang melihat dan mendengar seuanya hanya bisa diam, menatap Vanesa dengan tatapan sinis. Felix berpikir kalau Vanesa terlalu egois tidak memberi bos mereka kesempatan.

*

Di dalam apartemen, 02.00 WIB

Gavin berdiri di tengah ruangan, matanya masih menatap pintu yang kini tertutup rapat.

Sakit di dadanya semakin dalam. Antara cinta dan kebencian, hatinya terbelah. Tapi sebagai mafia, ia tahu satu hal:

Cinta... bisa dikalahkan. Tapi dendam tidak akan pernah.

Dan mulai malam itu, Gavin bersumpah akan menunggu hari di mana Vanesa kembali. Bukan sebagai wanita yang ia cintai. Tapi sebagai wanita yang butuh dia... atau hancur karenanya. Gavin memanggil Felix, Zein dan Raga .

“Lakukan seperti yang saya katakan sebelumnya,’ ucapnya dengan wajah datar.

“Baik Bos,” sahut kertiganya seremak.

Entah apa yang sudah Gavin renanakan. Satu hal yang pasti hatinya hancur karena penolakan Vanesa padanya.

Di sudut lain kota, seseorang menelpon ibu Damian. “Target melarikan diri. Tapi... kami punya cara lain. Kali ini, dia tak akan bisa kabur.”

Bersambung.

1
Bella syaf
capek, tapi mengaduk perasaanku 😭
Bella syaf
aku sedih terus baca ini ya Allah 😭
Bella syaf
sakitnya sampe ke pembaca Thor 😭
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini
Bella syaf
penuh perhitungan, hitung semua Gavin 🤭
Bella syaf
tapi penghinaan mu kejam Gavin, aku bacanya sakit hati
Bella syaf
vanes kamu ngeselin bgt
Bella syaf
kelam banget 🥲
Bella syaf
Thor, kasian vanesha 🥲
Bella syaf
rahasia apakah?
Bella syaf
sedih ngebayangin jadi vanesha
Bella syaf
ini relate ya sama kehidupan asli, kebanyakan begini lelaki skrg
Bella syaf
awal cerita yang bagus, kasihan Gavin dan vanesha 🥲
Hesty
gavin egois thor... punyaistri 2....
Mamanya Raja
lanjut Thor sepertinya ceritanya bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!