azalea steffani leandra seorang anak tunggal kaya raya ,ceria dan juga manja dipertemukan dengan seorang pria yang sifatnya berbanding terbalik dengannya dan ternyata pria itu adalah pengasuhnya ketika ibunya tidak ada dirumah (bodyguard)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayel_zaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERITA
Dirumah Flo, pukul 21.38.
Cahaya lampu kamar yang temaram menyinari wajah pucat Lea. Ia duduk di ujung ranjang, bersandar pada dinding, masih dengan luka-luka yang belum tertangani sepenuhnya. Bajunya sedikit sobek di beberapa bagian. Luka di kaki kirinya terlihat mengering dengan noda darah kering yang belum dibersihkan sempurna.
Flo baru selesai mengambil air hangat dan kotak P3K. Saat masuk ke kamar, ia meletakkan semuanya di meja kecil dekat tempat tidur, lalu duduk di sebelah Lea.
"gue ajak ke rumah sakit ya? Nggak bisa gini doang, Lea." ajak flo khawatir
Lea menggeleng pelan, suaranya lemah, tapi jelas.
"Jangan, Flo. Aku gak mau. Aku gak mau bikin ribut lagi. Lagian... seharusnya aku ngikuti kata gavin buat pulang bareng dia..."
Flo menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan kekhawatiran di wajahnya.
Ia mulai membersihkan luka Lea perlahan, tanpa bertanya apa-apa. Tapi justru itu yang membuat Lea mulai bicara.
"Flo... kamu inget gak, waktu aku pulang dari rumah kamu, malam itu... aku sempat bilang udah naik taksi?"
Flo mengangguk pelan.
"Sebenarnya... aku belum langsung pulang. Aku masih duduk nunggu dihalte ."
"Terus..." suara Lea mulai bergetar, tangannya mencengkeram seprai. "Dia datang. Cowok itu. Aku gak tau siapa... tapi dia tau nama aku. Cara dia ngomong tuh... kayak... kayak dia deket banget sama aku."
" Tadi juga dia bilang dia kangen. Dia nanya gue baik-baik aja atau enggak. Tapi... bukan perhatian, Flo. Itu kayak orang gila. Tatapannya gak beres. Aku takut banget."
Flo menghentikan tangannya sejenak, menatap Lea yang mulai menunduk.
"Dia ngikutin gue. Gue lari, Flo. Dia narik gue, dorong gue, sampe kepala gue berdarah, kaki gue luka... dan pas gue pikir udah aman... dia muncul lagi, di samping gue."
Flo mencengkeram tangan Lea.
"Kenapa lo gak bilang dari tadi, Lea?"
"Aku gak tahu, Flo. Aku takut. Dia tuh... bener-bener gila. Tapi yang paling bikin aku takut..."
"Dia salah satu dari kita." jelasnya, tetapi perkataannya diakhir justru membuat flo tertegun.
"Apa maksud lo?" bertanya berusaha memahami situasi yang terjadi.
"Dia temen kita. Gue... gue gak bisa lupa suaranya. Tapi dia nutupin wajahnya waktu malam itu. gue yakin banget, dia orang yang kita kenal."
Kamar jadi sunyi. Hanya terdengar detak jam dan tarikan napas pelan dari Lea.
"Flo, gue... gue takut banget kalau suatu hari dia muncul lagi. Tapi gue juga gak mau Gavin tahu."
Flo menunduk. Di dalam kepalanya, semuanya berputar cepat. Ini bukan sekadar teror biasa.
"Kalau gitu... kita harus hati-hati. Kita cari tahu pelan-pelan. Tapi kamu harus istirahat dulu."
Lea mengangguk pelan. Tapi dalam hatinya, dia tahu... malam ini bukan akhir dari semuanya. Ini baru awal dari mimpi buruk yang lebih gelap.
*******
[Pagi hari – di sekolah]
Sekolah gempar. Dua siswa yang dikenal sebagai pembully di sekolah ditemukan tewas di tempat sepi dekat area pinggiran kota. Kondisinya mengenaskan.
Di kantin sekolah, Lea duduk bareng Flo, Laura, Viona, Vano, Zergan, dan Alvin. Suasana makan siang yang biasanya rame, sekarang terasa dingin. Banyak yang berbisik, akibat kejadian semalam.
"Eh kalian denger berita nggak?" Viona nunduk sambil bisik.
"Kevin sama Rangga... mereka dibunuh semalam. Gila. Parah banget." lanjutnya
Obrolan mereka soal dua murid yang ditemukan tewas masih berlanjut. Tapi nggak ada yang menuduh siapa-siapa. Semuanya lebih ke arah rasa takut dan kaget.
"Itu tuh... katanya pelakunya pake topeng?" tanya Laura, heran.
"Iya," timpal Flo. "Gue liat beritanya barusan, disiarin di TV kantin tadi. Katanya pelakunya masih dicari... laki-laki, pake topeng , tingginya sekitar 180-an."
Lea yang dari tadi diem, langsung membeku. Tangan dia perlahan gemetar, punggungnya langsung berkeringat dingin. Gambar pria bertopeng yang semalam neror dia, tiba-tiba muncul jelas di kepala.
“Pria… bertopeng…?” bisik Lea lirih. Matanya melirik ke layar TV di kantin. Benar—di sana ada cuplikan CCTV buram. Terlihat sosok hitam tinggi memakai hoodie dan topeng putih samar berjalan cepat.
Masih di kantin – usai berita pria bertopeng muncul di TV, Suasana kantin yang tadinya ramai, mendadak sunyi setelah berita soal pembunuhan muncul di TV. Semua teman-teman Lea berhenti makan, saling tatap.
"Gila... tuh orang beneran psycho sih," gumam Vino, ngerasa merinding.
"Korban katanya anak sekolah ya?" tanya Laura pelan, mukanya sedikit tegang.
"Iya... tapi gue takut orang itu ada disini." tanya Flo ragu.
" dih...ngaco lo, liat nih bulu tangan gua merinding gara-gara lo " heboh laura.
Lea diam. Napasnya mulai tak teratur. Matanya nyempil ngeliat layar TV, kemudian buru-buru ngeliat ke bawah. Dadanya sesak.
Zergan duduk paling ujung, diam saja. Sedari tadi ia cuma mainin sedotan gelas plastiknya tanpa komentar.
Tapi di sampingnya... Alvin. Wajahnya pucat, matanya tajam tapi kelihatan gelisah.
"Kenapa muka lo pucat, Vin?" tanya Viona sambil ngeliatin Alvin.
"Hah? Gak... biasa aja..., gue rada takut " Alvin menjawab pelan
"Gue cuma... heran aja, ada aja orang segila itu," jawab Alvin, suaranya tenang tapi nadanya gak wajar.
Zergan ngelirik Alvin sesaat. Tidak ngomong apa-apa. Terus matanya pindah ke arah Lea. Datar.
Lalu Viona nunjuk ke pelipis Lea, saat menyadari sesuatu.
"Eh, Lea... berdarah tuh. Pelipis lo...itu luka?"
Lea langsung kaget dan nutupin lukanya.
"ahh...Kepentok tadi pagi,lo pada juga tau gue ceroboh." jawabnya cepat.
"Kok luka sobek gitu sih, serius lo cuma kepentok ?" bisik Laura.
"Udah jangan dibahas," potong Flo cepat. Tapi wajahnya kelihatan tegang.
Mereka semakin bingung. Apalagi si Flo yang dari tadi jelas-jelas nutupin sesuatu. Lea akhirnya berdiri buru-buru.
"Flo, temenin gue ke toilet." ajaknya sembari menarik tangan flo.
Saat mereka baru jalan dua langkah, suara Gavin terdengar, "Lea." panggilnya.
Semuanya noleh. Gavin berdiri di belakang mereka. Ekspresinya serius. Tatapannya langsung ke Lea.
"Lo kenapa? Gue liat lo pucet. Itu luka kenapa?" tanyanya sekaligus.
Lea sempat menahan napas, kemudian menjawab pelan:
"Nanti gue jelasin... sekarang gue ke toilet dulu.
Lea dan Flo pun jalan. Tapi saat itu, Zergan ngelirik Gavin. Lirikan datar tapi tajam. Alvin juga mandangin Gavin sambil mencolek es batu dari gelasnya... dan diam.
Vino, Laura, dan Viona saling tatap. Udara di kantin kerasa makin berat.
"Kok gue ngerasa aneh ya..." gumam Laura pelan.
"Iya..." bisik Viona. "Kayak... ada yang gak beres."
Gavin duduk pelan di kursi kosong, tepat di samping Zergan dan Alvin. Tidak ada yang berbicara, Meja itu senyap .
Zergan melirik Gavin sekilas, lalu kembali menunduk, muter-muter sendok di gelas kopinya.
sedangkan alvin masih mainin es batu di gelas, sesekali nyengir kecil ke arah meja, tapi bukan ke siapa-siapa. Tatapannya kosong. Satu tangannya ngetap-ngetap meja tanpa irama.
Gavin merhatiin mereka berdua. Alisnya mengernyit sedikit. Tapi dia tak berbicara apa-apa. Hanya duduk... dan memperhatikan.
********
[Toilet perempuan]
Flo berdiri di depan wastafel sambil buka kotak P3K kecil dari tasnya. Lea duduk di kursi dekat dinding. Kakinya masih nyeri, pelipisnya juga baru selesai dibersihin.
"Udah baikan belum?" tanya Flo pelan.
Lea ngangguk sedikit. Lalu... dia nunduk. Napasnya terasa berat.
"Flo..." suara Lea pelan, nyaris seperti bisikan.
Flo menoleh.
"Yang semalam... yang nyerang gue..."
Flo nunggu. Gak nyela.
"Dia... pake topeng. Topeng putih. Bawa tongkat besi berdarah. Dia manggil-manggil gue kayak... kayak orang gila.
Flo nahan napas. "Lo bisa liat mukanya?"Lea menggeleng.
"Gak. Tapi dia tinggi. Dan... cara jalannya tuh... aneh. Kayak pincang sebelah. Tapi yang paling bikin gue takut..." Lea berhenti sebentar, napasnya mulai tersengal.
"Dia ngomong... seolah-olah kita saling kenal."
Flo nutup mulutnya, ngeri sendiri.
"Lea... lo yakin itu bukan halu karena trauma?"
Lea langsung noleh tajam. "Enggak, Flo. Gue yakin."
Flo nunduk. Matanya ngebulat, pikirannya muter.
"Lo... curiga ke siapa?"
Lea diam. Lalu jawab lirih
" gue gak tau, gue juga gak bisa asal nuduh." flo mengangguk, membenarkan ucapan lea.
----
Jam pelajaran terakhir berbunyi menandakan bahwa kelas sudah selesai. Para siswa mulai berjalan menuju parkiran, begitu juga dengan lea dan gavin segera bergegas keparkiran.
lea duduk di kursi penumpang, matanya menerawang keluar jendela. Sesekali Gavin melirik ke arahnya. Sunyi... Tapi bukan karena canggung, lebih karena pikiran masing-masing lagi berat.
"Lu beneran gak mau cerita sekarang?" tanya Gavin, pelan tapi dalam.
Lea cuma menggelengkan kepalanya.
"Gue masih nyusun semuanya di kepala gue. Nanti gue cerita."
Gavin mengangguk kecil, tidak memaksa.
Sesampainya dirumah lea, gadis pemilik rumah itu bergegas kekamar untuk mengganti pakaian nya dan kembali turun, sedangkan gavin yang baru sampai sudah disuruh kedapur untuk memasak oleh sang putri.
Lea duduk di sofa ruang tengah, memegang remote TV tapi dari tadi tak kunjung dinyalain juga.
"Lo tuh sebenernya bodyguard apa asisten rumah tangga sih?" kata Lea, suara setengah ngantuk. tiba -tiba ia terpikir tentang gavin yang sudah tak menjadi bodyguard lagi semenjak kepulangan mama lea (zea).
"Dua-duanya, kenapa? Mau gue tambah jadi guru privat juga?" tanya nya asbun.
Lea mesem sambil pelan-pelan berdiri, ngelirik ke dapur.
"Lo udah gak digaji loh. Mamanya gue juga udah pulang."
Gavin cuma nyengir, sambil memotong bahan-bahan masakan.
"Gue gak butuh gaji buat jagain lo. Gue jagain lo karena... ya gue mau aja."
Lea diem. Jawaban Gavin terlalu jujur buat ditanggapi cepet-cepet.
Beberapa menit menunggu, akhirnya piring sudah rapi tersaji di meja makan. Lea nyendok nasi pelan, mencicipi lauk buatan Gavin.
"Enak .... Tapi kenapa lo bisa masak sih?, sedangkan gue enggak bisa." tanya lea memulai percakapan.
"Karena kalo nungguin lo masak, kita bakal mati kelaperan." jawab gavin, dan.. seperti biasa, dia selalu asal ceplas tak memikirkan perkataannya.
Lea lempar tatapan sinis, tapi Gavin malah tertawa puas.
"Gue serius ya, Gavin. Lo tuh... aneh. Suka nongol tiba-tiba, suka jagain gue, suka masak, suka ngatain gue bodoh—"
"Karena lo emang bodoh." Gavin memotong cepat ucapan lea tanpa ekspresi apa pun.
"huft..." lea membuang nafas gusar, jika berhadapan dengan gavin mungkin dia akan lebih banyak diam.
" gue sekarang tau sih kenapa lo jarang ngomong,"
" karna kalo lo ngomong asal ceplos anjirr.., gak mikir-mikir. Tapi serius, mending lo gak usah ngomong" lea terus terang mengungkapkan semua penderitaannya.
Gavin ngangkat bahu, mengabaikan ucapan lea itu.
" udah siapkan? yaudah yuk belajar " ajaknya
" tiba-tiba banget nih? " lea merengek tak suka.
" tapi biar gak bodoh " jawab gavin.
Lea narik napas panjang.
" belajar apa nih?" tanya nya lagi.
" ga usah belajar deh—"
" YEEESSSHH" Lea langsung berdiri dengan ekspresi berbinar, senyum lebar hampir gak cabut dari wajahnya.
Dia berteriak dengan gaya tangan mengepal ke atas, penuh kemenangan dan semangat.
" gue belum siap ngomong " jelas gavin, membuat wajah lea kembali menyusut.
" gue gak mau belajar, tapi gua mau uji kemampuan lo, gue mau ngasih pertanyaan aja" lanjut gavin.
" kalo gue bisa jawab semua... sampai minggu depan gua gak belajar ama lo" permintaan lea itu langsung ditolak oleh gavin.
"Salah. Kalo lo bisa jawab, nanti malem gue traktir lo belanja sesuka lo. Gimana?" mendengar tawaran gavin, Lea langsung duduk tegak. Matanya berbinar.
"Oke! DEALL!"
Setelah menyetujuinya, mereka berdua pergi keruang tengah. mengambil posisi nyaman masing-masing.
Lea duduk di lantai dengan buku terbuka. Sedangkan Gavin duduk di sebelahnya, agak rebahan sambil ngawasin.
"Oke, Lea. Pertanyaan satu: berapa mol dari 0,5 gram NaCl?"
mendengar pertanyaan gavin yang diluar ekspetasi lea melotot. "Gue benci lo."
"Itu bukan jawaban, bego." Gavin tertawa.
"Gue tanya serius nih, Gavin. Kenapa hidup gue harus berisi duit, pelajaran, dan lo trus?"
"Karena Tuhan sayang sama lo." Gavin nyengir. "Makanya dikasih paket lengkap."
" cihh.."
Lea ngedumel mendengar kalimat aneh yang ntah dari mana datangnya itu, tapi senyumannya tak bisa ia tahan. Sesaat... dunia mereka berdua terasa aman. Meskipun mereka berdua tau, ada sesuatu yang ngintai di luar sana.
Dua pertanyaan berlalu tapi tak satu pun bisa dia menjawab,ketiga, empat, dan terakhir, tak satu pun ada yang benar dari jawaban gadis itu.
"FU*KK, ANJINNGG, GAK, ULANG. TADI GUE BELOM SERIUSSS!!!" lea mengumpat, ia tak terima dengan semua pertanyaan dari gavin yang menurutnya sulit.
" sesuai perjanjian, kita gak jadi pergi belanja " jahil gavin.
" LOO... CURANGG!! LO NGASIH PERTANYAAN YANG GAK PERNAH GUE PELAJARII.." lea mengacak-acak rambutnya, ia seperti orang kesetanan sekarang.
" yaudah, iya. Tapi—"
"IYA, DEAL!!" belum selesai gavin berbicara lea lebih dulu menyetujuinya, bahkan dia tidak tahu apa yang akan dikatakan gavin.
" lo tau apa yang mau gua bilang?" tanya gavin.
" belajar besok " jawabnya penuh percaya diri.
" gak"
" hah?! trus?"
" selama minggu ini lo harus full belajar sama gue, harus bangun cepat, ngerjain tugas, jangan suka teriak- teriak, tertib–"
"HEH!! KOK NGELUNJAK .!!, GAK, GAK.." lea buru-buru menolak permingaan gavin itu tapi sayangnya dari awal dia sudah menyetujuinnya.
" lo udah bilang deal tadi."
" tapi kan gue gak tau apa yang mau lo bilang."
" gak urus " setelah mengatakan itu, gavin lebih dulu pergi meninggalkan lea menuju halaman rumah gadis itu.
Lea mengepalkan tangan erat, matanya menatap tajam ke arah punggung Gavin yang mulai melangkah ke halaman rumah. Nafasnya memburu, dadanya sesak penuh emosi yang tak bisa dia tumpahkan. Mulutnya terbuka, ingin berteriak sekeras mungkin, tapi tak ada suara yang keluar—hanya gerakan bisu penuh ledakan rasa kesal.
Tangannya terangkat sedikit, seperti ingin melempar sesuatu atau sekadar memukul punggung Gavin. Tapi yang keluar hanya tarikan napas kasar, dan tatapan yang hampir berair.
Dalam hati, dia bergemuruh: “ geramnya...., untung sayang"