"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Jadi Bidan Itu Cape
Lisna duduk santai di ruang tamu, memainkan ponselnya sambil sesekali mencuri pandang kearah Raffa yang sedang membersihkan kipas angin yang sangat berdebu. Dengan nada sinis,ia berkata,
"Kalian, tahu nggak? Arya baru saja diterima kerja diNirwana Estates Grup. Posisi manajer loh, bukan OB seperti .. ya, kalian tahu lah."
Raffa berhenti sejenak, menarik napas dalam- dalam sebelum melanjutkan pekerjaannya. Ia sudah terbiasa dengan ejekan Lisna. Sementara itu, Hanin yang sedang melipat pakaian menoleh ke arah adiknya dengan tatapan tegas.
"Lisna, jangan bicara seperti itu. Mas Raffa bekerja keras untukmembantu memenui kebutuhan kita. Apa pun pekerjaannya, dia tetap suamiku."
Lisna mendengkus, lalu berkata, "Aku cuma bilang fakta, Hanin. Lagi pula, Arya kan punya masa depan cerah. Beruntung sekali aku pacaran sama dia. Dan bentar lagi bakalan nikah."
Hanin hendak menjawab, tapi Raffa lebih dulu berdiri. Ia tersenyum tipis, meski sorot matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.
"Bagus kalau Arya diterima diNirwana Estates," ucapnya santai." Semoga dia bisa belajar banyak disana."
Lisna mengangkat alis, tidak memahami maksud ucapan Raffa.la hanya menganggap itu sebagai basa- basi orang iri.
"Ya jelaslah.Lagian gak perlu belajar, Mas Arya juga udah pinter, kok."
"Pinter belum tentu paham. Yang aku lihat dari pacarmu itu, dia hanya pintar bicara, tapi tidak pandai dalam bekerja," celetuk Raffa.
Lisna mencebik. "Emang susah kalau berhadapan sama orang iri."
"Lisna, sudahlah! Berhenti memancing emosi Mas Raffa. Diagak pernah cari gara- gara sama kamu, kan?" tegur Hanin. la merasa sungkan pada suaminya karena terus menerus dihina.
Raffa terkekeh pelan. "Tak apa,Hanin. Biarkan saja adikmu menghinaku," ucapnya. Hanin hanya menghela napas panjang. Malam itu, Raffa kembali menghubungi Pak Wirya. Ia meminta daftar karyawan baru diNirwana Grup, memastikan bahwa nama Arya tercantum di dalamnya.
"Ya, Arya Mahendra sudah resmi diterima di divisi pengembangan bisnis, Pak," kata Pak Wirya. "Tapi kenapa Anda ingin memeriksanya, Tuan Raffa?"
Raffa tersenyum samar. "Tidak ada alasan khusus, Pak. Saya hanya ingin memastikan orang- orang baru yang masuk tidak punya niat buruk."
Pak Wirya mengangguk dari seberang telepon, meski ia tahu Raffa selalu punya alasan lebih dalam untuk setiap tindakannya.
Raffa lalu membuka ponsel berlogo apel krowak yang takpernah ia tunjukkan pada siapapun termasuk Hanin. Ia memeriksa profil Arya. Pria muda itu lulusan universitas ternama dengan nilaipas- pasan, dan tampaknya berusaha memanfaatkan relasi untuk mempercepat kariernya yangtak lain adalah papanya sendiri.
"Kalau dia seperti yang Lisna banggakan, dia tidak akan jadi masalah," gumam Raffa. "Tapi kalau dia macam- macam, aku sendiri yang akan menghentikannya."
Beberapa minggu kemudian, Arya mulai bekerja di Nirwana Grup. Di bawah bimbingan para manajer senior, ia terlihat cepat menyesuaikan diri. Namun, Raffa segera menyadari sesuatu yang mencurigakan.
Di balik senyumnya yang ramah, Arya sering kali berusaha mencari tahu tentang struktur perusahaan, termasuk siapa pemilik sebenarnya. Beberapa karyawan mengaku bahwa Arya terlihat lebih banyak "melobi" atasan dari pada menyelesaikan pekerjaannya.
Dirumah, suasana mulai memanas. Lisna semakin sering membandingkan Raffa dengan Arya, memuji-muji kekasihnya sambil merendahkan kakak iparnya.
"Hei, kapan sih kamu bisa naik pangkat? Jangan sampai selamanya cuma jadi OB. Malu dong sama si Hanin," ujar Lisna dengan nada menyindir.
Hanin yang sedang memotong sayur langsung membalas. "Lisna,cukup! Kamu tidak tahu perjuangan Mas Raffa, jadi jangan bicara sembarangan."
Namun, Raffa hanya tersenyum. la menatap Lisna, lalu berkata, "Jangan khawatir, Lisna. Semua orang punya waktunya masing- masing. Mungkin suatu hari nanti kamu akan melihat sesuatu yang mengejutkan."
Lisna mendengus, tidak menganggap serius ucapan itu."Kejutan macam apa yang bisa datang dari tukang sapu?"gumamnya pelan.
Hanin memandang Raffa dengan tatapan penuh permohonan maaf.
"Mas, aku...."
"Sudahlah," potong Raffa lembut.
"Aku tidak masalah." la tak suka mempermasalahkan hal yang tidak penting baginya.
Beberapa hari kemudian, Raffa menghadiri rapat direksi sebagai pengamat. Pak Wirya, seperti biasa, memimpin rapat dengan penuh wibawa. Diujung meja, Arya hadir sebagai perwakilan divisi pengembangan bisnis, meski posisinya sebenarnya belum cukup tinggi untuk berada di ruangan itu. Raffa memutuskan untuk tampil sebagai OB seperti biasa, membawa tumpukan dokumen yang diperlukan untuk rapat.Namun, tatapan Arya berubah ketika melihat Raffa masuk ke ruangan.
"Kenapa OB ada di sini?" tanyanya dengan nada tak sopan.
Pak Wirya tersenyum tipis, lalu berkata, "Dia membantu saya. Jangan khawatir, ini sudah biasa."
Arya mengangguk ragu, tapi tetap menunjukkan ekspresi meremehkan. Ia tidak tahu bahwa pria yang ia hina itu adalah pemilik perusahaan yang sebenarnya.
Selama rapat berlangsung, Raffa memperhatikan Arya. Pria muda itu terus berusaha menyela pembicaraan, memberi ide- ide yang terkesan cerdas tapi tidak memiliki dasar kuat. Di akhir rapat, ketika semuaorang mulai beranjak pergi, Raffa menghampiri Arya.
"Kerja bagus tadi," katanya singkat.
Arya hanya mengangguk, tapi senyumnya penuh kesombongan."Terima kasih. Suatu hari nanti,saya yakin bisa duduk di kursi direksi.!"
Raffa tersenyum samar. "Kita lihat saja."
Ketika Arya pergi, Pak Wirya mendekati Raffa.
"Pak Raffa, apakah Anda yakin tidak ingin mengungkapkan diri sekarang?" tanyanya pelan.
Raffa menatap pintu yang baru saja dilewati Arya.
"Belum. Tapi waktu itu sudah dekat."
la tahu, pertemuan ini akan menjadi awal dari sesuatu yang besar. Lisna mendengkus pelan ketika Bu Widya selesai memberinya teguran. la menyimpan ponselnya dengan setengah hati, lalu melirik Bu Widya dengan ekspresi jengah.
"Maaf, Bu," jawab Lisna singkat. Bu Widya, bidan senior yang telah mengabdi selama puluhan tahun, hanya menggeleng.
"Kamu tahu, Lis, profesi ini bukan cuma soal pekerjaan. Ini soal nyawa orang. Kalau kamu nggak serius, lebih baik mundur saja."
Lisna merasakan tatapan tajam Bu Widya menembus jantungnya, membuat rasa bersalah mulai menggelayut di hatinya. Ia tahu,selama ini ia hanya setengah hatimenjalani profesi bidan. Keputusan ini pun bukan sepenuhnya keinginannya, melainkan desa kan dari ibunya yang selalu ingin disanjung oleh orang- orang karena punya anak seorang bidan.
Setelah Bu Widya pergi, Lisna mengempaskan tubuhnya di kursi ruang istirahat. la membuka ponselnya lagi, mencari penghiburan lewat obrolan ringan dengan Arya. Namun, pesan terakhir Arya membuatnya terdiam.
"Aku sibuk di kantor. Jangan ganggu dulu."
Lisna menghela napas panjang. Dunia yang ia anggap menyenangkan mulai terasa menyesakkan sejak Arya menjadi orang kantoran.
Siang itu, Lisna pulang ke rumah lebih awal. Hanin yang sedang memasak menyambutnya dengan senyum kecil.
"Lis, kok pulang cepat? Kerjaan udah selesai?" tanya Hanin sambil mengaduk sup di atas kompor. Ia libur bekerja karena toko sedang tutup sebab Ko Yusuf sedang pergi ke luar kota.
"Jangan sok asik," jawab Lisna singkat, lalu masuk ke kamar tanpa melanjutkan pembicaraan. Hanin menghela napas.
Ia menatap punggung adiknya dengan penuh kekhawatiran. Ia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Lisna, tapi ia memilih untuk tidak memaksanya bercerita. Apalagi adalah hal mustahil jika Lisna mau berbagi cerita padanya.
Di kamar, Lisna merenung. Ejekannya terhadap Raffa,obsesinya untuk membuktikan dirilewat Arya, dan tuntutan menjadi bidan kini terasa menghimpitnya dari segala arah. la merasa lelah dan ingin berhenti saja. Nanti, kalau ia sudah menikah dengan Arya, ia akan berhenti saja jadi bidan.
Ia memutuskan untuk menghubungi Arya. Namun, ketika panggilannya diangkat, suara Arya terdengar dingin.
"Lisna, aku sibuk. Kamu nggak lihat aku sedang mengejar posisi diperusahaan besar? Jangan ganggu."Dan dalam sekejap, Arya memutuskan panggilan telepon. Lisna tertegun. Itu pertamakalinya Arya berbicara seperti itu padanya. Setelah telepon diputus, Lisna merasa hatinya sedih.
"Tumben banget, sih, Mas Arya. Biasanya juga selalu menyisihkan waktu," gumamnya.
"Lisna?"
Lisna bangun dari posisi tidursaat ibunya memanggilnya. "Ada apa, Bu?"
"Nak, apa ada masalah? Inibaru jam sebelas. Kok, udah pulang?" Bu Daning menatap wajah putrinya dengan tatapan cemas. Ia baru saja pulang dari rumah Bu Indah untuk rewang selamatan.
Dan Hanin berkata bahwa padanya bahwa Lisna sudah pulang.
"Gak papa, Bu. Aku lagi gak enak badan aja."
"Mau ke dokter?"
"Gak usah. Bentar lagi juga enakan." Lisna menatap wajah ibunya. "Bu, apa bekerja di kantor itu sangat sibuk, ya? Aku nelpon Mas Arya kok katanya sibuk terus,padahal ini biasanya jam istirahat."
Bu Daning menjawab, "Sabar saja, Nak. Namanya juga orang kantoran. Sudah jelas kalau sibuk. Mungkin jam istirahatnya Arya, digunakan untuk belajar agar bisa segera naik jabatan."
Lisna manggut- manggut. "Benar juga, Bu."
"Udah, jangan mikir aneh-aneh. Kamu istirahat saja. Kamu juga harus banyak belajar. Kalau perlu ngambil kuliah lagi supaya bisa buka praktik sendiri, Lis. Kan enak kalau punya tempat praktik sendiri? Penghasilanmu bisa berkali- kali lipat dari sekarang."tukas Bu Daning.
"Jadi bidan itu capek, Bu. Mana aku jijik soalnya keseringan bagian bersihin kotoran." Lisna begidik ngeri. Ia pikir dulu, membantu orang melahirkan itu keren dan menyenangkan. Tapi, setelah terjun sendiri, faktanya sangat berbeda.
"Itu kan udah biasa bagi seorang bidan, Lis." Bu Daning menatap heran putri kesayangannya.
"Ogah, Bu! Aku capek. Aku mau berhenti saja. Aku mau minta Mas Arya buat segera nikahin aku," putus Lisna.