kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi yang tak terlupakan...
Sinar mentari pagi menelusup tirai, mengusir dingin dan mengisi kamar dengan kehangatan.
Axel, dengan hati-hati seolah menyentuh permata paling berharga, membersihkan tubuh Rara. Setiap sentuhan, setiap gerakannya adalah mode cinta, menelusuri lekuk tubuh yang dulu terasa begitu rapuh, kini perlahan kembali hidup.
Ia mengganti pakaian Rara, menyiapkan segalanya, sebab setelah sarapan singkat, mereka akan kembali ke rumah sakit,sebuah kunjungan yang terasa jauh berbeda dari sebelumnya.
Di dapur, aroma bubur hangat mengepul, hasil racikan Maya yang cekatan. Gadis itu memastikan setiap kebutuhan Rara terjamin, dari nutrisi hingga kenyamanan.
Axel mengangkat Rara dengan kedua tangannya, mendekapnya erat seolah takut keajaiban ini lenyap,
Menuju meja makan, sapaan riang para maid menyambut, suara mereka seperti paduan suara kebahagiaan yang tulus.
"Pagi, Tuan! Pagi, Rara-ku yang chubby!" goda Maya, senyum lebarnya tak bisa ditahan.
Rara terkikik pelan, mengerucutkan bibirnya lucu. "Iih, Kak Maya! Pagi-pagi udah iseng!" Meskipun begitu, matanya memancarkan kehangatan yang telah lama redup.
Axel menyodorkan semangkuk bubur, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Maafkan Rara ya, Mas. Seharusnya Rara yang melayani Mas," ucap Rara, suaranya sedikit melirih, bayangan rasa bersalah masih membelit.
Axel menggeleng lembut, menoel hidung Rara dengan ibu jarinya. "Hm, enggak perlu minta maaf, Sayang. Enggak harus istri yang melayani suami di meja makan, oke?" Tatapan Axel mengunci mata Rara, memastikan pesannya tersampaikan.
Suasana meja makan dipenuhi kehangatan yang nyaris terasa magis, hanya denting sendok yang sesekali memecah keheningan, mengiringi setiap suapan yang terasa seperti anugerah.
Usai sarapan, mereka berangkat. Maya tidak ikut, sibuk mempersiapkan pesta syukuran kecil di mansion sekaligus mengundang anak-anak yatim piatu.
sebuah bentuk syukur Axel atas mukjizat ini. Steven yg megang kendali sopir.
Rico harus terbang ke Jepang; pertemuan penting antarperusahaan yang seharusnya Axel hadiri. Tapi, demi Rara, demi setiap detik keajaiban ini, Axel tak sanggup berpisah.
"Stev, nanti setelah mengantar kami, kamu langsung ke kantor ya. Ada klien yang akan datang," suara Axel kembali ke mode bisnis, meski pikirannya masih dipenuhi Rara.
"Baik, Tuan," sahut Steven. "Oh ya, Tuan mendapat undangan pertemuan akbar para klan mafia."
Axel menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Kapan acaranya dan di mana?"
"Seminggu lagi, Tuan."
"Hm, nanti saya kabari lagi." Axel kembali fokus pada Rara di sampingnya.
Tak terasa, mobil mereka sudah sampai di rumah sakit. Rara terlelap pulas dalam perjalanan. Tak tega membangunkan bidadarinya, Axel kembali menggendongnya, membawa masuk menuju ruangan Mark.
"Pagi, Mark," sapa Axel, suaranya dipenuhi antusiasme.
"Pagi, Xel," balas Mark, tatapannya penuh rasa ingin tahu.
Mark segera memanggil suster, memerintahkan untuk menyiapkan ruang rontgen. Satu jam lebih pemeriksaan detail dilakukan, setiap menit terasa seperti siksaan bagi Axel yang menunggu di luar.
Ketika Mark keluar dengan selembar hasil, wajahnya menunjukkan perpaduan antara keterkejutan dan kebahagiaan yang luar biasa.
"Xel... Ini... Ini sebuah mukjizat!" Mark tergagap, menunjuk hasil di tangannya. "Jantung yang tadinya tergores parah, bisa kembali normal sepenuhnya!" Matanya berbinar takjub, tak bisa menyembunyikan keajaiban yang baru saja ia saksikan.
Axel merebut kertas itu, pandangannya menyapu setiap tulisan medis, mencoba memahami. Tanpa ragu, ia memeluk Rara erat, air mata haru kembali membasahi pipinya. "Alhamdulillah, Sayang..." bisiknya, menciumi puncak kepala Rara berulang kali, syukurnya meluap tak terkendali.
"Mark, nanti malam datang ke mansion ya, ada acara syukuran kecil-kecilan," ajak Axel, suaranya dipenuhi kegembiraan.
"Lihat nanti ya, Xel. Jadwalku padat hari ini," jawab Mark, masih sedikit ragu, meski senyum tipis tersungging di bibirnya.
Rara mendongak, matanya yang indah menatap Axel penuh harap. "Mas, boleh tidak kita ziarah ke makam Oma?"
Axel tersenyum lembut, mengusap pipi Rara. "Lain waktu ya, Sayang. Kamu kan baru pulih, nanti kecapekan," jawabnya, nada khawatir tak bisa ia sembunyikan.
Mark yang melihat raut kekecewaan samar di wajah Rara, segera menimpali. "Enggak apa-apa pergi saja, Xel. Kondisi Rara sudah normal, kok," Mark meyakinkan, sebuah kedipan kecil diberikannya pada Axel.
Axel menimbang sejenak, lalu tersenyum lebar. "Hm, ya sudah kalau begitu. Kita mampir ke makam Oma."
"Terima kasih, Mas!" Rara memeluk Axel erat, kebahagiaannya tak terbendung, membuat seisi ruangan terasa hangat.
Tentu, mari kita sempurnakan bagian ini agar terasa lebih dramatis, misterius, dan menyentuh secara emosional. Saya akan fokus pada detail, inner thoughts karakter, serta membangun pace cerita.
Sebelum menuju pemakaman, mereka mampir ke toko bunga. Axel menggenggam erat tangan Rara, melangkah beriringan di antara rak-rak bunga yang wangi. Mata Rara berbinar saat ia memilih seikat bunga tulip,kesukaan mendiang omanya.
Di hadapan nisan yang dingin, Rara berlutut, mengusap lembut ukiran nama. "Oma, kami datang," bisiknya, suaranya sarat kerinduan. "Kami minta restu Oma. Doakan kami, semoga keluarga kecil kami selalu dilimpahi kebahagiaan."
Axel berdiri di sampingnya, matanya terpaku pada nisan. "Oma, maafkan Axel tidak bisa mengantar Oma ke peristirahatan terakhir," ucapnya, suaranya tercekat. Setetes air mata jatuh, membasahi nisan. Penyesalan yang lama terpendam kini tumpah.
Rara merasakan getaran di punggung Axel. Tanpa kata, ia mengulurkan tangan, mengusap punggung pria itu, menyalurkan kehangatan dan kekuatan.
Tiba-tiba, langit yang tadinya cerah berubah mendung pekat. Rintik hujan mulai jatuh, perlahan berubah deras. Dengan sigap, bodyguard membentangkan payung, bergegas mengajak mereka pulang.
"Maaf, Tuan, hujannya bertambah besar. Lebih baik kita pulang, kasihan Nyonya Rara," ujar salah satu bodyguard penuh perhatian.
"Maafkan Mas, Sayang, terlalu larut dalam kesedihan," sesal Axel, mengusap lembut pipi Rara. "Yuk, kita pulang."
Memasuki gerbang mansion yang menjulang tinggi, Axel menggendong Rara yang sudah terlelap kelelahan. "May, tolong ganti baju Rara sebentar," ucap Axel. "Saya mau ke ruang kerja."
"Baik, Tuan," sahut Maya.
Axel segera menuju ruang kerjanya. Pikirannya terusik oleh bayangan sesosok pria bertopi yang sekilas ia lihat sekitar sepuluh meter dari gerbang tadi. Sebuah firasat buruk merayap. "Siapa yang berani mengintai tempatku?" monolog Axel, nada suaranya tajam. Ia segera menghubungi Tomy.
"Tom, selidiki seseorang yang videonya kukirim," perintah Axel tegas.
"Siap, Tuan," jawab Tomy, langsung membuka berkas video yang dikirim Axel. Ia mencermati setiap detail sosok itu. "Perasaan tidak asing wajah orang ini, tapi siapa?" batin Tomy, otaknya berputar keras.
Tidak butuh waktu lama. Tomy, dengan kemampuannya, berhasil mengidentifikasi pengintai mansion tuannya. Sebuah berkas segera ia kirimkan ke Axel.
Malam pun tiba, ditemani riuhnya gelak tawa anak-anak yatim piatu. Acara syukuran berjalan lancar, kebahagiaan terpancar jelas di wajah-wajah mungil itu.
Namun, ada satu anak perempuan sekitar tiga tahunan yang berhasil mencuri hati Rara. Matanya tak bisa lepas dari bocah menggemaskan itu.
"Mas, lihat itu! Cantik dan lucu sekali!" Rara memeluk lengan Axel. "Boleh tidak kalau kita mengadopsinya?" pintanya, mata berbinar penuh harap.
Axel tersenyum simpul, mendekatkan bibirnya ke telinga Rara. "Hmm, kenapa kita tidak membuatnya sendiri yang lebih cantik dan lucu, Sayang?" bisiknya, nada suaranya penuh goda dan cinta.
"Rona merah di pipi Rara adalah bukti nyata betapa Axel kini punya kendali penuh atas detak jantungnya. Setiap sentuhan, setiap godaan kecil, seolah menghangatkan seluruh tubuh Rara.
hingga ia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang semerah kepiting rebus.
Setelah acara bubar, hanya ada empat bayangan yang bertahan: Axel, Rico, Steven, dan Mark. Mark, sang penyendiri tanpa klan, selalu jadi otak di balik setiap siasat, kehadirannya sepenting napas."
"Kegelapan malam menelan mansion, namun di dalamnya, sebuah rahasia akan diurai. Mereka akan membongkar identitas pengintai.
Rico memecah hening, ''Bram... dia anak tunggal, tak punya saudara sama sekali."
Ini sudah pasti.' Axel menusuknya dengan tatapan tajam, 'Yakin kau sudah menggali sampai ke inti?'
Lalu beralih ke Steven, ''Bagaimana menurutmu, Stev? Ada kemiripan dengan Bram?''
Steve menajamkan pandangannya, seolah membelah kegelapan. 'Sekilas, ada kesamaan, Tuan.''
Mark menyeringai, 'Kurasa, dia anak haram.' Senyum tipis terukir di wajah Axel, 'Pemikiran yang sama, Mark.'"
Axel berbalik pada Steve, sorot matanya serius,
''Steve, tolong carikan bodyguard wanita yang benar-benar kuat, untuk menjaga Rara.
Lalu pada Rico, ''Rico, latih Maya setidaknya agar dia bisa menggunakan pistol untuk berjaga-jaga.'
Ia menatap Mark, ''Mark,.. mungkinkah kita memasang GPS dan alat penanda bahaya di tubuh Rara?'
Mark menjawab santai, 'Bisa, kita tanam di bawah kulitnya, lalu bekasnya kita tutupi tato.''
Axel mengerutkan kening,"'Ada cara lain selain tato?'
Rico menyela, ''Bagaimana kalau kita pasang di barang yang tidak pernah Nyonya Rara lepas?'
Steven langsung menimpali, ''Kalau di barang, akan terdeteksi musuh jika ada GPS.''
Mark kemudian mengusulkan,
''Begini saja, alat itu kita pasang di telapak kaki, agar bekasnya tidak terlihat.'
Axel berpikir sejenak, "'Boleh juga. Oh ya, Steve, acara pertemuan antar klan di negara mana?''
'Di Australia, Tuan,' jawab Steve.
Axel tersenyum, ''Oke, siapkan semuanya. Aku mau mengajak Rara sekalian honeymoon.'"
"'Rico, kau ikut denganku,' perintah Axel. 'Steve, jangan lupa secepatnya cari bodyguard wanita.
"Markas Korea Selatan aman, kan?''
''Aman, Tuan,'' jawab Steve sigap.
''Tingkatkan keamanan mansion ini lebih lagi. Pilih anggota terlatih yang kuat untuk berjaga, dan tolong kandang singa dan harimau pindahkan ke sini sebagai langkah antisipasi,' lanjut Axel.
'Siap, Tuan!'
Malam semakin larut, dan mereka memutuskan untuk menginap, mengingat besok adalah akhir pekan.
Axel kembali ke kamarnya. Tak lama, Maya keluar, berniat mengambil minum di dapur. Tanpa sengaja, ia menabrak Rico. Mata mereka bertemu, dan sebuah desiran aneh menjalar di tubuh keduanya.
Mark, yang kebetulan melihat adegan itu, dengan cepat mengabadikannya dengan ponselnya, siap menjadikannya bahan ledekan.
"'Hmm, permisi numpang lewat,'" ujar Mark dengan tampang sok polos.
Maya buru-buru pergi ke kamarnya, Rico pun kembali ke kamarnya.
''Awas nanti salah masuk kamar!'' seru Mark, diselingi tawa terbahak-bahak."
"Menjelang pagi, mansion masih diselimuti keheningan. Pasangan suami istri itu terlelap dalam pelukan mimpi yang manis, jauh dari hiruk pikuk dunia.
Sementara itu, di dapur, Maya sudah berperang dengan alat-alat masak. Rara rupanya sudah bosan dengan bubur, jadi Maya berinovasi, menyiapkan menu spesial: nasi goreng seafood yang harum dan sandwich panggang yang menggoda."
"Sementara Steven, Rico, dan Mark sudah menembus dinginnya pagi dengan jogging di luar mansion,
Di kamar utama, Rara menggeliat, membuka mata. Niatnya mulia membantu Maya menyiapkan sarapan.
Namun, Axel, sang suami posesif, tak melepaskan pelukannya. ''Mau ke mana, Sayang?'' gumamnya, bibirnya menyentuh puncak kepala Rara.
''Mau bantu masak, Mas,'' Rara mencoba beranjak.
''Sstt... Masih terlalu pagi. Tidur lagi saja. Biar Maya yang mengurus semuanya.''
Dan dalam dekapan erat itu, Rara kembali menyelam ke alam mimpi, lupa akan niatnya."
"Sebuah isyarat mata dari Steven sudah cukup.
Rico dan Mark langsung paham. Pengintai yang selama ini mengusik ketenangan mereka, muncul lagi.
Kali ini, tak ada ampun. Mereka menyergapnya, tangkapan yang sudah lama dinanti.
Sosok itu tak berkutik, langsung diseret menuju markas rahasia. Rico segera menghubungi Tomy, memerintahkannya untuk mengambil tahanan di depan mansion.
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam meluncur.
''Pagi, Tuan...''sapa Tomy, tatapannya dingin.
''Tom, masukkan dia ke ruang isolasi. Jangan sampai lolos,'' perintah Rico, suaranya tajam.
''Siap, Tuan.'' Tomy lalu teringat sesuatu. ''Oh ya, Tuan Steve, Jack menelepon semalam. Ponsel Tuan tidak aktif, jadi dia berpesan untuk membuka file penting.'
Steve menghela napas. ''Sial, ponselku ketinggalan di apartemen.
" Terima kasih infonya, Tom.''
Setelah Tomy membawa pengintai itu pergi, Rico, Steven, dan Mark kembali, langkah mereka penuh kemenangan."
Kehangatan sarapan pagi sudah terpanggil. Rara dengan sabar membangunkan Axel, tak enak hati membiarkan yang lain menunggu.
"'Mas, bangun yuk. Sarapan. Mereka sudah menunggu kita,'" bisik Rara lembut, suaranya seperti melodi.
Axel mengerjapkan mata, senyum tipis terukir di bibirnya.
''Iya, Sayang. Mas mandi dulu.''
Beberapa saat kemudian, pasangan itu turun, disambut tatapan menggoda. '
'Pasangan suami istri ini bangunnya kesiangan, ya?'' celetuk Rico,
mengundang tawa. Mark tak mau kalah, '"Tenang, sebentar lagi juga ada yang nyusul!'' Rico langsung menatap tajam Mark, sebuah peringatan keras.
Axel hanya tersenyum tipis, menikmati suasana hangat itu, lalu meledek balik.
''Makanya, kalian cepat menikah. Jangan jomblo terus!'"
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu