Di dunia yang diatur oleh kekuatan enam Dewa elemen: air, angin, api, tanah, es, dan petir, manusia terpilih tertentu yang dikenal sebagai Host dipercaya berfungsi sebagai wadah bagi para Dewa untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan ilahi dan kesejahteraan Bumi. Dengan ajaran baru dan lebih tercerahkan telah muncul: para Dewa sekarang meminjamkan kekuatan mereka melalui kristal, artefak suci yang jatuh dari langit.
Caela, seorang perempuan muda yang tak pernah ingat akan asal-usulnya, memilih untuk menjadi Host setelah merasakan adanya panggilan ilahi. Namun semakin dalam ia menyelami peran sebagai Host, ia mulai mempertanyakan ajaran ‘tercerahkan’ ini. Terjebak antara keyakinan dan keraguan, Caela harus menghadapi kebenaran identitasnya dan beban kekuatan yang tidak pernah ia minta.
Ini cerita tentang petualangan, kekuatan ilahi, sihir, pengetahuan, kepercayaan, juga cinta.
**
Halo, ini karya pertamaku, mohon dukungannya ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kirlsahoshii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesanan
Seminggu setelah kematian Raja Riverbend, Caela resmi menjadi Ratu untuk memimpin Riverbend. Dia kini masih merasa asing dengan perannya sebagai Ratu, namun dia harus menepati janjinya pada almarhum Raja. Di masa Caela berkabung dan menjalani perannya sebagai Ratu Riverbend, kabar ini sudah tersampaikan oleh para Hosts lain termasuk Fae yang saat ini berada di Central.
Hari ini di Central para Hosts sudah berkumpul kecuali Caela. Mereka semua berkumpul untuk mendiskusikan beberapa masalah yang sedang marak saat ini. Di sela-sela pertemuan, tak jarang Fae termenung sejenak mengkhawatirkan keadaan Caela. Dia tak akan lupa janjinya untuk pergi ke Tevira bersama Caela namun sepertinya hal tersebut mustahil untuk dilakukan saat ini.
Diam-diam, Alana memperhatikan segala gerak-gerik Fae dan akhirnya memutuskan untuk bertanya padanya perlahan.
“Lord Fae, kau tidak apa-apa?” Alana bertanya, melihat Fae dengan wajah khawatir.
Fae tersentak sedikit, “Oh? Ya, tak apa hanya khawatir dengan keadaan Caela,” katanya berusaha santai.
Alana terdiam, dalam hati dia sedikit resah kenapa suaminya harus khawatir dengan perempuan tapi dia berusaha menjaga sikapnya. Perlahan tangan Alana meraih ke tangan Fae yang ada di atas meja.
“Dia pasti baik-baik saja,” kata Alana, memegang tangan Fae dengan erat.
Fae hanya terdiam, sesaat melihat ke arah tangannya yang digenggam oleh istrinya. Dia tahu Caela akan baik-baik saja, tapi dalam hatinya dia sangat ingin bertemu dengannya saat ini.
“Sepertinya belakangan ini semakin banyak laporan serangan dari kelompok murtad terkutuk itu di mana-mana, kita harus melakukan sesuatu, jangan sampai mereka tambah tersebar…” Shala menyahut wajahnya sedikit terlihat resah.
Para Hosts di ruangan mengangguk setuju akan hal itu, lalu Shala melanjutkan bicaranya.
“Kalau begitu prioritas kita saat ini adalah melacak dan melenyapkan para kelompok yang berusaha merusak kepercayaan Dewa ini,” perintah Shala.
Atmosfer di ruangan seketika menjadi sedikit dingin dan juga mencekam, Alana menyipitkan matanya, raut wajanya sedikit khawatir.
“A-Apakah akan terjadi peperangan…?” tanya Alana.
“... Bisa jadi demikian… Jumlah mereka seperti sudah banyak sekali, bahkan sudah banyak kabar beredar di seberang pulau,” sahut Valia.
Fae dan Alana terdiam mendengar hal tersebut, lalu Shala membalas, “Itu benar, dan ada kabar katanya kelompok murtad itu salah satunya berasal dari Tevira.”
Fae dan Valia melebarkan matanya, mereka tidak percaya dengan apa yang dia dengar dari Shala barusan.
“Tevira? Aku berasal dari desa itu, menurutku itu mustahil,” Valia menyangkal.
“Mungkin kau tidak pernah tahu, Lord Valia, bisa jadi itu hanya satu orang, lalu mereka baru mulai tersebar,” balas Shala.
Valia terdiam dan Fae mulai merasa resah, dia langsung ingat cerita Caela, kalau Caela juga berasal dari desa Tevira dan bibinya Rieva masih tinggal di sana.
“Aku akan pergi ke sana untuk menyelidikinya,” tegas Fae.
“Itu ide bagus, tapi aku baru saja ingin menugaskan misi ini kepada Lord Valia, karena dia sudah mengenal daerah itu dengan baik,” ucap Shala.
Valia terkejut, Fae punya pikiran buruk soal ini, “… Kalau begitu, biarkan aku ikut…” kata Fae dengan serius.
Shala terdiam sejenak, dan Alana kali ini cukup resah dengan keadaan, karena dia tahu Fae ingin ke Tevira bersama Caela. Alana kemudian mendekat ke arah Fae dan berkata.
“T-tapi Lord Fae, akan kah lebih baik jika kita di sini? Kita tidak tahu apakah kelompok murtad itu akan menyerang di sekitar sini, kita harus menjaga para rakyat jika itu terjadi…” Alana protes.
“Itu benar, Fae sebaiknya kau di sini, biarlah Lord Valia yang pergi, aku butuh kau jika ada apa-apa di sini,” perintah Shala dengan wajah datar.
Fae hanya terdiam dia ingin sekali membantah Alana dan pergi begitu saja. Fae yakin Alana hanya tidak ingin pergi dari sisinya, dan menurutnya ini sangatlah konyol.
“Apa yang harus aku lakukan jika menemukan kelompok murtad itu di Tevira?” tanya Valia penasaran kepada Shala.
“Habiskan mereka, jangan sampai tersisa,” jawab Shala tegas.
Valia menelan ludahnya, tentu itu bukan tugas yang ringan baginya, apalagi dia berasal dari desa tersebut namun dia menetapkan hati dan berkata dengan yakin.
“Jika itu perintah dari para Dewa, akan aku laksanakan,” kata Valia memberikan gestur kehormatan pada Dewa.
Fae menyipitkan matanya, dia hanya terdiam dan diam-diam mengepalkan tangannya karena kesal. Dia punya firasat buruk soal ini.
***
