Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Poligami??
Alghazali menunduk, hatinya seperti disayat kata-kata Nayla. Ia menarik napas dalam, lalu pelan berkata, “Nayla… jangan bicara seperti itu.”
Nayla bangkit dari ranjang, menatap Al dengan mata berkaca. “Aku tahu siapa aku, Al… aku bukan wanita baik-baik. Aku bukan gadis alim yang kamu dambakan. Bahkan… aku yang memaksamu membuat perjanjian konyol itu saat awal menikah.”
Al masih diam, menatap wajah istrinya yang kini terluka oleh rasa takut dan cemburu.
“Aku dengar sendiri, Aisyah dan Syifa. Mereka ingin kamu. Dan mereka… jauh lebih cocok untukmu,” suara Nayla bergetar. “Kalau memang kamu lebih bahagia dengan wanita seperti mereka, aku rela mundur. Kita bisa akhiri semua ini…”
Al berdiri, mendekati Nayla, namun Nayla mundur selangkah.
“Aku nggak bisa terus-terusan hidup dalam bayang-bayang cemburu dan merasa aku hanya beban. Apalagi… dari awal pernikahan ini tanpa cinta, kan?” ucapnya, menahan tangis.
Al menarik napas pelan, lalu memandang Nayla dalam-dalam. “Kalau dari awal ini tanpa cinta… sekarang bagaimana menurutmu, Nayla? Masih tetap tanpa cinta?”
Hening sesaat. Nayla menunduk, bibirnya bergetar.
“Aku tanya sekali lagi, Nayla… kamu yakin nggak ada sedikit pun perasaan itu sekarang?”
Alghazali tersenyum tipis, tapi sorot matanya hangat dan penuh makna. Ia melangkah lebih dekat dan tanpa ragu menarik Nayla ke dalam pelukannya. Pelukan yang hangat, perlahan, namun sarat makna. Bukan sekadar simpati—melainkan rasa yang telah tumbuh diam-diam.
“Aku tahu kamu keras kepala,” bisik Al di dekat telinganya, “tapi aku nggak pernah nyangka kamu bisa jujur seberani ini.”
Nayla terisak pelan dalam pelukan itu. “Aku capek, Al... capek terus merasa aku nggak cukup untukmu. Tapi aku sadar, aku mencintaimu. Aku ingin berubah. Aku ingin jadi istrimu, bukan cuma di atas kertas.”
Al mengangguk pelan. “Kita mulai dari hari ini, ya? Tanpa perjanjian. Tanpa syarat. Hanya suami dan istri... yang saling belajar mencinta.”
Nayla tersenyum, masih dalam pelukannya. “Aku siap, Ustadz Al...”
Pelan-pelan Al mencium ubun-ubun Nayla. “Terima kasih sudah jujur... istri cantikku.”
Malam itu, suasana di rumah mereka terasa berbeda. Lampu kamar menyala temaram, dan aroma lembut dari diffuser lavender memenuhi udara. Ketika Al membuka pintu kamar, langkahnya terhenti. Matanya langsung tertuju pada sosok Nayla yang berdiri di dekat meja rias.
Nayla mengenakan pakaian tidur satin warna lembut—pemberian ibunya yang selama ini belum pernah disentuhnya. Bahannya jatuh membentuk lekuk tubuhnya dengan anggun, menggoda, namun tetap menyimpan kesan malu-malu. Rambut Nayla tergerai rapi, bibirnya sedikit berwarna, dan pipinya memerah karena gugup.
Al menelan ludah, matanya tak berkedip. “Kamu... cantik banget malam ini,” gumamnya, nyaris berbisik.
Nayla menatapnya, penuh ragu dan harap. “Aku cuma ingin... jadi istri yang sebenarnya malam ini.”
Al mendekat, gerakannya perlahan, penuh penghargaan. Ia menyentuh pipi Nayla lembut. “Kamu selalu jadi istriku. Tapi malam ini... kita mulai dari hati yang sama.”
Nayla menunduk, senyumnya tipis. Ia tahu malam itu akan menjadi titik balik—bukan karena tampilan luar semata, tapi karena hatinya kini telah memilih sepenuhnya.
Mau dilanjutkan ke suasana malam mereka yang intim dan penuh emosi? Atau kamu ingin menambahkan kejadian tertentu?
Malam itu menjadi saksi bisu ketika dua hati yang awalnya saling ragu, akhirnya melebur dalam satu rasa. Tanpa penghalang, tanpa jarak, Al dan Nayla perlahan saling membuka diri, tak hanya secara fisik, namun juga batin.
Setiap sentuhan Al terasa hangat dan meyakinkan, membuat Nayla merasa aman dalam dekapannya. Pelukan mereka erat, seperti ingin menebus semua waktu yang terlewat tanpa sentuhan. Nafas mereka berpadu, gerak mereka selaras, dan dalam diam, cinta mulai tumbuh—bukan lagi karena kewajiban, melainkan karena keinginan.
Nayla menatap mata suaminya yang teduh, dan untuk pertama kalinya dia tidak merasa seperti gadis keras kepala yang ingin bebas, tapi sebagai istri yang dicintai dan mencintai. Dan Al, dengan segala keteguhannya, membiarkan hatinya luluh, menerima Nayla sepenuhnya sebagai anugerah yang datang dengan caranya sendiri.
Malam itu tak hanya menyatukan raga mereka, tapi juga membuka pintu untuk cinta sejati yang selama ini tersembunyi di balik dinding keinginan dan gengsi.
Pagi itu, setelah sholat Subuh, Nayla berjalan pelan menuju dapur dengan langkah yang sedikit tertatih. Al yang sedang menggulung sajadah langsung menoleh dan buru-buru menghampirinya.
"Nayla… kamu kenapa?" suara Al terdengar cemas, matanya menyapu tubuh istrinya yang terlihat menahan rasa tak nyaman.
Nayla menunduk malu, menggigit bibirnya. "Enggak apa-apa, cuma… agak pegal aja," ujarnya lirih, pipinya memerah.
Al merasa bersalah. Ia mengusap lembut punggung Nayla, lalu menuntunnya duduk di kursi ruang makan.
"Maaf… aku keterlaluan, ya?" gumam Al dengan tatapan menyesal.
Nayla tersenyum tipis meski masih canggung. "Kita kan sudah sah, Ustadz… aku juga yang—eh… ya… maksudnya…"
Al tak kuasa menahan senyum kecilnya melihat Nayla begitu malu-malu. "Tapi tetap… aku janji bakal lebih hati-hati lain kali," ucapnya lembut, lalu mengambilkan air hangat untuk istrinya.
Momen itu terasa hangat dan penuh kasih, menghapus seluruh kecanggungan masa lalu. Nayla dan Al seolah telah membuka lembaran baru—lebih jujur, lebih dekat, dan lebih berarti.
Pagi itu, Al terlihat sibuk di dapur, mengenakan kaus lengan panjang dan sarung yang dilipat rapi di pinggang. Aroma wangi telur dadar dan teh hangat memenuhi ruangan. Meski masih mengantuk, matanya berbinar—ia ingin memastikan Nayla sarapan dengan nyaman meski tidak bisa banyak bergerak.
Dengan hati-hati, ia menyusun dua piring nasi, telur dadar, dan potongan timun segar. Dua gelas teh manis hangat ia letakkan di nampan. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, ia melangkah pelan menuju kamar mereka.
Saat membuka pintu kamar, Nayla terlihat sedang bersandar di kepala ranjang, masih memakai piyama satin dan selimut yang menutupi tubuhnya. Wajahnya sedikit pucat tapi tetap terlihat cantik, apalagi dengan senyuman tipis yang ia layangkan saat melihat suaminya masuk.
"Aku bawain sarapan," kata Al pelan, menaruh nampan di meja kecil di samping tempat tidur.
Nayla mencoba duduk tegak, tapi meringis kesakitan. Refleks, Al langsung menopang punggungnya.
"Pelan-pelan. Biar aku suapin aja, ya?" tawarnya dengan lembut.
Nayla menatapnya heran tapi juga geli. "Ustadz Al… kayaknya kamu mulai beneran jadi suami sejati deh."
Al tertawa pelan, matanya hangat. "Memang harus begitu. Istriku sakit, masa aku cuek?"
Mereka pun sarapan bersama di kamar, dalam keheningan yang nyaman, hanya diselingi gurauan ringan dari Al dan senyum malu-malu dari Nayla.
Bersambung....