Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tawaran Makan Siang
Max masih berdiri di dekatnya, tubuhnya sedikit condong ke depan, menciptakan jarak yang lebih sempit di antara mereka. Tatapannya tetap tenang, namun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah tantangan yang tidak terucapkan.
Laura menelan ludah. Ia mencoba mengabaikan detak jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya.
"Aku tidak tahu," katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih pelan dari yang ia maksudkan.
Max mengangkat alis, sudut bibirnya masih melengkung dalam senyum setengah yang seolah tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. "Kamu tidak tahu?" ulangnya, seolah menikmati kebingungan Laura.
Laura mengalihkan pandangan, berusaha fokus kembali pada layar monitor sepeda statisnya. "Mungkin kita hanya... orang yang saling mengenal."
Max tertawa kecil, nada suaranya rendah dan dalam, nyaris terdengar seperti bisikan di ruangan yang sunyi. "Orang yang saling mengenal, ya?"
Ia melangkah mendekat, cukup dekat hingga Laura bisa merasakan kehangatan tubuhnya tanpa harus menyentuh. Tiba-tiba, satu tangannya terulur ke arah handlebar sepeda statis, tepat di samping tangan Laura. Gerakannya terasa santai, tidak memaksa, tapi cukup untuk menciptakan sensasi baru yang menggetarkan.
"Kalau begitu," lanjutnya dengan suara nyaris berbisik, "kenapa aku merasa seolah kita lebih dari sekadar itu, Lau?"
Laura menahan napas. Ia bisa merasakan aromanya lebih dekat, campuran mint dan kayu cedar yang menenangkan tapi juga berbahaya dalam cara yang tidak bisa ia jelaskan.
"Kamu terlalu percaya diri."
"Tidak," Max menggeleng pelan, senyumannya tak pudar. "Aku hanya cukup peka untuk tahu bahwa kamu tidak benar-benar mengabaikanku."
Laura menoleh, matanya bertemu langsung dengan milik Max. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang membuatnya sulit untuk mengalihkan pandangan.
Ia hendak membuka mulut untuk menyangkal, tetapi Max tiba-tiba bergerak. Ia menarik diri dengan gerakan santai, melangkah mundur dengan ekspresi seolah tidak terjadi apa-apa.
"Ayo," katanya ringan, menaikkan kecepatan treadmillnya sekali lagi. "Kita lihat siapa yang lebih kuat bertahan lebih lama di sini."
Laura berkedip, butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa Max telah kembali pada persona santainya yang biasa. Seolah ketegangan yang barusan terjadi hanyalah imajinasi belaka.
Bukan hanya Max yang tahu cara bermain dalam percakapan ini—ia juga tahu cara membuat Laura mempertanyakan dirinya sendiri.
Dan untuk alasan yang tidak ingin ia akui, Laura merasa bahwa pria itu mulai mempengaruhinya lebih dari yang seharusnya.
Laura mengayuh pedal sepedanya lebih cepat, berusaha mengabaikan sensasi aneh yang tersisa dari interaksi barusan. Ia tidak bisa membiarkan Max terus mengendalikan arah pembicaraan.
"Butuh sesuatu, Lau?" suara Max terdengar santai, tapi matanya menelisik, seolah tahu ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Laura menghela napas dan menoleh padanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap ringan. "Aku hanya penasaran. Apa kamu tidak punya kehidupan lain?"
Max mengangkat alis, seolah terkejut dengan pertanyaan itu. "Maksudmu?"
"Kamu selalu ada di sini. Di gym. Di acara sosial. Di mana pun aku berada, entah bagaimana, kamu ada di sana," kata Laura, mengerutkan dahi. "Aku mulai bertanya-tanya apakah kamu punya pekerjaan lain selain menggangguku."
Max menyeringai, lalu melambatkan langkahnya di atas treadmill. "Kamu penasaran tentang kehidupanku?" tanyanya dengan nada menggoda.
Laura mendesah. "Aku hanya bertanya. Aku kira kamu sibuk dengan klienmu yang royal."
Max tertawa kecil, lalu menyandarkan satu lengannya di pegangan treadmill sambil tetap berlari pelan. "Aku memang sibuk, tapi aku juga tahu cara mengatur waktuku. Dan ternyata, menghabiskan waktu denganmu cukup menarik."
Laura menggeleng pelan, berusaha mengabaikan efek kata-katanya. "Itu bukan jawaban. Maksudku, kamu tidak punya hobi lain? Teman? Wanita lain?"
Max terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Tentu saja aku punya kehidupan lain, Lau. Tapi mungkin aku hanya belum menemukan sesuatu yang cukup menarik untuk membuatku lebih sibuk."
Laura menatapnya, mencoba membaca ekspresinya. "Jadi kamu memilih untuk terus berkeliaran di sekitarku karena... kamu tidak punya pilihan lain?"
Max menatapnya beberapa detik sebelum menjawab, suaranya lebih pelan kali ini. "Atau mungkin karena aku memilih untuk berada di sekitarmu."
Kata-kata itu menghantam Laura lebih dari yang ia harapkan. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, kembali fokus pada sepedanya. "Kamu terlalu banyak bicara," gumamnya.
Max tertawa pelan. "Dan kamu terlalu banyak berpikir."
Laura mendesah, menyadari bahwa niatnya mengalihkan perasaannya malah membuat percakapan ini semakin sulit dikendalikan. Max tidak hanya ada di sekitarnya—dia mulai menempati pikirannya lebih dari yang seharusnya.
Laura terus mengayuh, berusaha mengabaikan tatapan Max yang masih melekat padanya. Namun, keheningan di antara mereka justru membuatnya semakin gelisah.
"Aku hanya bertanya karena penasaran," katanya akhirnya, berusaha menetralkan nada suaranya.
Max mengangguk pelan, seolah mengerti lebih dari yang ia katakan. "Tentu."
Laura mendesah, lalu menoleh padanya. "Jadi? Tidak ada wanita lain?"
Max mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, bibirnya melengkung dalam seringai kecil. "Ada."
Jantung Laura berdebar tak tentu arah, meski ia tidak mengerti kenapa. "Oh," ia berusaha terdengar santai. "Dan di mana dia sekarang?"
Max menyandarkan satu lengannya di pegangan treadmill, ekspresinya tetap santai. "Di depan mataku."
Laura tersentak. Ia menatap Max, mencoba mencari tanda apakah pria itu hanya bercanda. Tapi Max tidak mengalihkan pandangannya, seolah menunggu reaksinya.
"Kamu menyebalkan," gumamnya, kembali fokus pada sepedanya.
Max tertawa kecil, lalu menaikkan kecepatan treadmillnya. "Tapi kamu tidak menyuruhku pergi."
Laura mengerang dalam hati. Max selalu seperti ini—terlalu tenang, terlalu percaya diri, dan terlalu… mengganggu pikirannya.
"Aku hanya tidak ingin membuang tenaga untuk berdebat denganmu," balasnya akhirnya.
Max menoleh sedikit, sudut bibirnya terangkat. "Jadi kamu menghemat tenaga untuk sesuatu yang lebih penting?"
Laura menggigit bibirnya. Ia tidak akan membiarkan Max menang kali ini. "Ya. Untuk kehidupan nyataku, misalnya. Kamu tahu, pekerjaan, rumah tangga, hal-hal yang benar-benar penting."
Max menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum miring. "Dan aku tidak masuk dalam daftar itu?"
Laura membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Karena, sejujurnya, ia juga tidak tahu di mana harus menempatkan Max dalam hidupnya.
Lagi pula, kenapa dia harus memikirkan posisi Max di hidupnya.
Laura masih berusaha mengabaikan Max ketika tiba-tiba sebuah ide terlepas begitu saja dari bibirnya.
"Kamu mau makan siang bersamaku?"
Begitu kata-kata itu keluar, Laura langsung menyesalinya.
Sial.
Ia tidak tahu kenapa ia mengatakannya—mungkin karena pikirannya terlalu kacau, atau mungkin karena ia ingin mengalihkan perhatiannya dari perasaan aneh yang mulai tumbuh setiap kali Max ada di sekitarnya.
Ia berharap Max akan menolak. Ia berharap pria itu akan menggodanya sebentar, lalu menolak dengan alasan ada pekerjaan atau janji lain.
Tapi tentu saja, itu tidak terjadi.
Max berhenti berjalan di treadmillnya, menoleh dengan ekspresi yang penuh arti. "Makan siang?"
Laura menelan ludah. "Lupakan. Aku tidak serius."
Max menatapnya beberapa detik, lalu terkekeh pelan. "Sudah terlambat, Lau."
Laura buru-buru menggeleng. "Aku benar-benar tidak…"
"Terima kasih atas undangannya," potong Max, melangkah turun dari treadmill dengan gerakan santai. "Aku akan menjemputmu dalam satu jam."
Laura melotot. "Max—"
Max mencondongkan tubuhnya sedikit, membiarkan aromanya kembali menyergap indra Laura.
"Akhirnya kamu menyebut namaku." Max mengerling nakal. "Kita akan makan siang bersama," katanya dengan suara rendah dan menggoda. "Jangan coba-coba menarik kembali tawaranmu, Lau Sayang."
Laura menahan napas. Ia bisa melihat kemenangan di mata Max, dan ia tahu—ia tahu pria itu tidak akan membiarkannya lari kali ini.
Dan sialnya, ia tidak yakin apakah ia benar-benar ingin lari.
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
malangnya Laura