Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Sebuah mobil berhenti di halaman rumah atun, semua orang yang sedang berkumpul di halaman menoleh ke arah mobil city car tersebut.
Yang pertama turun adalah raisa. Semua orang menatap sinis ke arah raisa, saat raisa menutup pintu mobil, berniat ingin membuka yang lainnya untuk memapah risma atun dan atin mendekat ke arah nya.
"Wah, sekarang udah naik GoCar, ya? Sok kaya banget!" sindir Atin, menyilangkan tangan di dada.
Raisa menoleh sekilas, dan menggelengkan kepalanya pelan. Dia kembali melangkah namun langkah nya kembali terhalang saat mertuanya mengatakan sesuatu.
"Ngapain ke sini? Mau pamer kalau sekarang bisa naik mobil sewaan? Rumah aja belum punya, tapi udah sok bergaya!" sindir mertuanya tajam.
Raisa menghela nafas panjang, "Kalian nggak punya hati, ya? Bisa diem sebentar dan mikir?!" bentak Raisa, matanya berkilat marah.
Rasia menyandarkan pandangan nya kesegala arah,"Diamana udin?" tanya nya dengan nada heran.
"Ngapain kamu mencari udin? Mau pamer sama dia kalo kamu kesini naik mobil iya." sentak atun, suara nya meninggi penuh sindiran.
Raisa mengerutkan dahi nya, dia benar- benar tidak habis fikir dengan kelakuan mertua dan antek- antek nya.
"Apaan sih, Bu? Itu lihat, menantu Ibu ada di dalam mobil, kesakitan sendirian! Ibu nggak peduli, ya? Dia sedang mengandung, tapi malah dibiarkan begitu saja?!" Raisa menatap tajam, suaranya penuh kemarahan.
"Bukan nya di bawa kerumah sakit. Kalian malah membiarkan nya jalan kaki sendirian menuju rumah ibu nya? Sakit emang kalian!" ucap nya dengan nada yang sudah meninggi.
Bahkan beberapa warga yang lewat sempat berhenti, memperhatikan keributan antara raisa dan mertua nya. Warga merasa heran,karena raisa memang tipe orang pendiam tidak pernah membuat masalah. Tapi kali ini raisa berani membuka suara dan nada tinggi pada mertuanya di hadapan para warga.
Atun menyandarkan pandangan ,dia sangat kaget sekaligus malu saat melihat warga berbisik-bisik menjelakan dirinya.
"Ngomomg apa sih kamu raisa. Durhaka banget jadi menantu berani nya berkata dengan nada tinggi seperti itu." omel nya tidak mau kalah.
Raisa menatap dengan tatapan nyalang, dia mendengus dengan kesal. Dia berusaha mengabaikan perkataan sang mertua, dia berjalan ke arah pintu mobil sebelah nya dan membukanya.
" Apa kamu yakin ingin diam di sini dalam kondisi seperti ini? Lihat bahkan mereka tidak ada tampang khawatir terhadap mu" jelas raisa yang sedikit jengkel dengan kebucinan risma terhadap suaminya.
Risma terdiam, tapi dia berusaha turun dari mobil, dengan sigap raisa memapah nya berjalan ke arah mertuanya. sementara orang tua risma sudah pulang terlebih dahulu tanpa ada keinginan untuk mengantar putrinya pulang kerumah suaminga. Noni merasa sedikit kecewa dengan pemikiran risma yang terlalu sabar dan nurut pada suami seprti udin.
"Bu.. Udin ada?" tanya risma dengan suara yang masih lemah.
"Ada dia sedang tidur." jawab atun dengan begitu enteng nya.
Raisa mengerutkan dahi nya, gigi nya bergemerutuk. Tangan nya mengepal erat. "Tidur? Serius? Istrinya kesakitan, bertaruh nyawa, dan dia malah enak-enakan tidur?!" sergah Raisa geram.
"Kakak lebay deh. Teh Risma aja nggak ngeluh, kok. Kenapa malah kakak yang marah-marah?" sindir Atin dengan mata melirik tajam.
Raisa menggelengkan kepalanya, "Semoga kamu tidak mendapat suami dan mertua seperti udin ya.." jawab raisa dengan sedikit mengejek.
Wajah atin menjadi masam,dia mengatupkan bibir nya tidak berani menjawab apapun. Namun dalam hati dia tidak ingin mendapat suami maupun ipar seperti keluarga nyasendiri.
Raisa benar-benar kasihan terhadap ipar nya. Dia menatap sendu ke arah risma yang sedsng dia tuntun. Padangan nya begitu sendu.
Di saat risma sedang melawan rasa sakitnnya, bisa bisa nya suami nya tertidur. Bahkan tidaka satu pun yanh menegur sikap udin terhadap istrinya.
Raisa merasa besyukur ,ternyata dia beruntung memiliki suami yang begitu membela dan menyayangi nya.
"Sa… aku mau pulang ke rumah Ibu," lirih Risma, suaranya bergetar menahan tangis.
Raisa mengangguk tanpa berkata apapun, dia berbalik arah memasukan risma kedalam mobil dengan sangat hati-hati.
"Tuh kan, Raisa cuma pamer! Baru bisa sewa mobil aja belagunya minta ampun!" cibir mertuanya tanpa rasa malu.
Raisa memejamkan matanya, menenangkan hati nya yang sedang bergemuruh hebat. Rasa nya dia saat ini ingin meninju sang mertua namun itu sangat dosa.
"Aku benar-benar salut sama kamu, Ris. Kalau aku jadi kamu, mungkin udah lama aku memilih berpisah," ujar Raisa, tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada kesabaran Risma.
Risma hanya tersenyum tipis, matanya menerawang ke luar jendela. Mobil yang mereka tumpangi melaju pelan menuju rumah orang tuanya.
"Kamu beruntung, Sa. Iwan selalu ada buat kamu, bahkan sampai berani melawan ibunya sendiri. Sekarang dia jarang pulang ke sana… semua demi membela kamu," lirih Risma, ada nada iri yang tak bisa disembunyikannya.
"Serius, Ris?" tanya Raisa, mencoba memastikan. Ada sedikit rasa lega di hatinya, meski ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk merasa senang.
Tapi kesadarannya segera kembali. Ingatannya melayang pada keluarga suaminya yang selalu memperlakukan mereka dengan buruk. Ia menggeleng pelan.
"Ris, gimana bisa Udin tidur nyenyak saat kamu sedang berjuang melawan maut?" suaranya terdengar geram.
Risma masih terdiam, menunggu kelanjutan perkataan Raisa.
"Kayaknya kita sama-sama kurang beruntung dalam urusan keluarga suami, ya?" ucap Raisa sambil tersenyum miris. Risma terkekeh kecil, meski ada kesedihan yang tersirat di matanya.
"Kamu tahu, Sa?" lanjut Risma dengan suara lirih. "Saat aku kasih kabar ke Udin kalau aku harus segera dikuret, dia malah bersembunyi di rumahnya. Ibunya bilang, 'Nggak ada uang, buat apa Udin ke sana?'"
Raisa membelalak kaget. Ia menghela napas panjang, lalu beristighfar berulang kali, menahan marah sekaligus iba.
----------------
"Mas sudah pulang?" tanya Raisa lembut, menyambut suaminya yang baru tiba dari tempat kerja.
Iwan mengangguk, lalu mengulurkan tangannya. Raisa segera meraih dan mengecupnya penuh hormat, sementara Iwan membalas dengan kecupan lembut di kening istrinya.
"Makan dulu, yuk, Mas... Aku mau cerita sesuatu," bisik Raisa pelan, suaranya terdengar sedikit misterius.
Iwan mengerutkan dahi, rasa penasarannya langsung terpancing.
"Ada apa nih? Kok kayaknya serius?" tanyanya, sambil menarik tubuh istrinya lebih dekat dan melingkarkan tangan di pinggangnya.
Mereka melangkah beriringan masuk ke dalam rumah, dalam kehangatan yang selalu mereka ciptakan bersama.
Raisa menunggu suaminya di kamar, sambil merapikan tempat tidur agar terlihat lebih nyaman.
Terdengar suara pintu terbuka. Raisa menoleh dan tersenyum ketika melihat suaminya masuk setelah selesai makan.
"Mas, duduk di sini, yuk," ajaknya sambil menepuk kasur di sebelahnya.
Iwan tanpa ragu duduk di sampingnya, menatap istrinya dengan penuh perhatian.
"Maaf, Mas... Uang satu juta untuk cicilan motor bulan depan aku pakai dulu buat nambah biaya rumah sakit Risma," ucap Raisa pelan, suaranya terdengar sedikit ragu.
Iwan terkejut. Dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada Risma siang tadi.
Dengan sabar, Raisa menceritakan semua kejadian di rumah sakit dan juga di rumah mertuanya. Sepanjang cerita, beberapa kali Iwan beristigfar, jelas terlihat ia marah sekaligus prihatin.
"Jadi begitu, Mas," tutup Raisa setelah menjelaskan semuanya dengan detail.
Iwan menghela napas, lalu menatap istrinya dengan penuh kasih.
"Tidak apa-apa, Sayang. Uang bisa dicari lagi, tapi keselamatan Risma yang paling utama," ucapnya sambil tersenyum bangga, bangga karena memiliki istri yang begitu peduli dengan keluarganya.