Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengantin Yang Malang
Kegelapan menyelimuti seluruh pandangan Mistiza. Kain hitam yang menutupi matanya tidak memberikan celah sedikit pun bagi cahaya untuk masuk. Aroma kain itu menusuk hidungnya—seperti campuran debu lama dan parfum laki-laki mahal yang samar-samar menguar. Di balik rasa panik dan tubuh yang masih dibalut gaun pengantin putih megah, Mistiza berusaha merabaa sekitar dengan jemari yang terikat kuat menggunakan tali nilon tebal. Suaranya tercekat, namun napasnya terdengar berat dan tersengal.
Gaun putih itu, yang semestinya menjadi lambang cinta abadi dan perayaan kehidupan baru, kini terasa bagai penjara yang membatasi geraknya. Kristal-kristal yang dijahit tangan dari Milan, bordiran halus di sepanjang lengan dan dada, serta ekor panjang yang semula membuatnya merasa seperti putri dari kisah dongeng, kini menjadi beban yang menyulitkan setiap gerakannya. Ia terguncang dalam kendaraan yang tidak ia tahu milik siapa. Jalanan yang berbatu membuat tubuhnya terombang-ambing tanpa kendali.
Mistiza tidak ingat dengan jelas bagaimana semua ini bisa terjadi.
Yang ia ingat hanyalah perasaannya saat melihat bayangan dirinya di cermin rias terakhir kali—cantik, gugup, namun bahagia. Lalu, ketika ia meminta waktu sejenak untuk menenangkan diri, seorang perempuan berseragam penyelenggara acara masuk dan mengatakan bahwa Ryan ingin berbicara secara pribadi sebelum ia berjalan ke altar. Mistiza mengangguk ragu, lalu mengikuti wanita itu tanpa curiga, sampai akhirnya semuanya menjadi gelap.
Sebuah sapuan halus namun tegas di belakang kepala, bau chloroform, dan kesadaran yang menghilang dalam sekejap.
Ketika matanya kembali terbuka di balik kain hitam itu, tubuhnya sudah berada di kursi belakang kendaraan yang melaju kencang. Ia berusaha meronta, namun suara seseorang dari depan mobil membuatnya diam seketika.
"Hmpphhhh.....!!"
"Hmmpphhhh!!!"
Mistiza berusaha berbicara meski mulutnya juga ditutup kain yang membuat dia kesulitan berbicara dengan jelas.
"Tenang saja, Nona Mistiza. Tidak ada yang akan melukai Anda... selama Anda diam dan tidak mencoba macam-macam," ujar suara berat itu dengan nada tenang namun mengancam.
Mistiza ingin berteriak, namun apalah daya dia benar-benar sudah dibekuk kan. Mistiza hanya bisa menangis dalam diam, air matanya merembes perlahan membasahi pipi dan menetes ke lehernya yang dingin. Ia tidak tahu siapa yang membawa dirinya pergi, atau ke mana arah tujuannya.
Beberapa jam kemudian, kendaraan itu berhenti. Pintu dibuka kasar, dan Mistiza dipaksa turun. Kakinya nyaris tidak mampu menopang tubuhnya. Sepatu hak tingginya yang sebelumnya ia kenakan dengan bangga kini terasa menyiksa. Apalagi gaun panjangnya membuat Mistiza menginjak ujung kain beberapa kali.
Suara pintu besar dibuka bergema, lalu langkah-langkah berat membawa tubuhnya ke dalam bangunan yang terasa luas, sejuk, dan sunyi.
Mistiza dilempar dengan kasar ke sebuah permukaan kayu yang keras dan berdebu. Ia bisa mencium aroma gudang yang khas—bau kayu tua, oli, dan udara lembab, serta sedikit aroma amis yang sudah mengering. Tidak lama kemudian, pintu dibanting dan suara kunci diputar dari luar.
Ia ditinggalkan di sana. Dalam gelap. Dalam sunyi. Dalam ketidakpastian.
*
Detik demi detik berlalu. Mistiza tidak tahu pasti sudah berapa lama ia dikurung. Cahaya sore perlahan masuk dari celah-celah ventilasi kayu di atas ruangan, mengisyaratkan bahwa hari hampir berakhir. Tangannya yang terikat telah lecet dan merah, namun rasa sakit itu bukan apa-apa dibanding ketakutan dan kesedihan yang kini menguasai hatinya.
Ia mencoba duduk bersandar, mencoba memahami mengapa semua ini terjadi. Siapa yang menculiknya? Apa tujuannya? Mengapa harus disaat hari pernikahannya?
Tiba-tiba, pintu gudang terbuka perlahan, suara engsel berderit panjang menggema dalam keheningan. Cahaya senja dari luar menyilaukan sesaat sebelum sosok tinggi berjas hitam muncul di ambang pintu.
Andreas.
Dengan langkah santai, ia melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Gaun Mistiza kini kotor dan kusut, rambutnya acak-acakan, dan riasan yang sudah mulai luntur.
Andreas berdiri di hadapannya selama beberapa detik, menatap perempuan yang baru beberapa hari ini ia dengar namanya dalam surat undangan yang dikirim. Seseorang yang tidak pernah ia ketahui sampai hari ini.
Andreas mendekat, lalu menarik kain hitam yang menutupi penglihatan Mistiza serta menurunkan sapu tangan yang membekap mulut si wanita.
Sontak Mistiza terkesiap ketika tangan seseorang tiba-tiba menanggalkan benda yang sedari tadi menyiksanya.
"Akhirnya kita bertemu," ucap Andreas datar, tangannya menyelipkan kacamata hitamnya ke saku jas.
Mistiza menatap pria yang kini berdiri menjulang dihadapinya, alisnya menyatu ketika memandang wajah andreas.
"S-siapa kau?"
"Siapa aku? Apa Ryan tidak pernah memperkenalkan kakak laki-laki ini kepadamu?"
Seketika Mistiza terbelalak lebar saat mendengar pengakuan dari pria yang katanya adalah kakak lelaki Ryan, calon suaminya. Mistiza ingat jika Ryan pernah bercerita kalau dia memiliki seorang kakak laki-laki, lebih tepatnya kakak tiri.
Mistiza menggeleng pelan, berusaha berbicara meski suaranya parau. “Mengapa kau melakukan ini?”
Andreas menghela napas, lalu menurunkan tubuhnya agar sejajar dengannya. Tatapannya tajam, namun bibirnya tersenyum smirk membuat aura di dalam sana mencekam.
"Kenapa? Dengar baik-baik kalau begitu"
"Aku benci Ryan, beserta ayah dan ibunya! Aku ingin menghancurkan kebahagiaan mereka, dan inilah saat yang paling tepat" jelas Andreas frontal, tanpa menyaring kalimatnya agar terdengar halus.
Mistiza menatapnya tak percaya, bagaimana pria ini dengan teganya menghancurkan pernikahan adiknya sendiri, sekaligus ingin membuat ayah dan ibu tirinya menderita. “Kau menghancurkan hari pernikahan kami hanya demi balas dendam?”
Andreas tersenyum sinis. “Hari ini hanyalah permulaan. Mereka telah mencampakkan ibuku, mengambil hakku, menghapus namaku dari keluarga. Aku tumbuh dengan amarah yang tidak pernah mereka pedulikan. Tapi kini, aku kembali... dan aku akan memastikan satu per satu dari mereka merasakan bagaimana rasanya kehilangan.”
“Tapi kenapa aku?” suara Mistiza nyaris tak terdengar.
“Kau adalah lambang kebahagiaan Ryan. Jika Ryan hancur, maka ibunya dan ayahku juga akan turut masuk ke jurang neraka yang sudah ku buat untuk mereka”
Mistiza kembali ketakutan, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Andreas, seolah pria di depannya ini ingin memakannya hidup-hidup.
"Kumohon... lepaskan aku..."
"Hikss...!! Tolong, kasihani lah aku sekali saja"
"Aku akan lakukan apa saja agar membuatmu melepaskan ku dari sini.... Kumohon...!"
Andreas menatap Mistiza dalam diam, ada sedikit rasa senang tatkala melihat air mata yang keluar dari sorot mata bening itu, belum lagi caranya memohon membuat Andreas seperti diberi asupan yang membuatnya makin bersemangat.
“Sayang sekali permintaan mu tidak bisa ku kabulkan. Kau akan tetap tinggal di sini sampai semua yang aku rencanakan tuntas, tidak tau sampai kapan itu, semua juga tergantung sikapmu, jika kau membuat masalah atau membuatku marah, jangan harap bisa keluar dari sini dengan kondisi yang baik"
"Jadi, banyak-banyaklah berdoa untuk keselamatan mu sendiri"
Andreas pun keluar dari pintu, tak lupa mengunci pintu agar Mistiza tak bisa keluar dari sana untuk kabur.
Mistiza berteriak kencang supaya Andreas mengeluarkannya dari sini, menangis sekencang mungkin agar Andreas merasa iba padanya, namun hati beku Andreas tak semudah itu untuk diluluhkan.
Dia membiarkan Mistiza lelah sendiri di dalam gudang, sedangkan dirinya berjalan santai menuju kamarnya untuk beristirahat.
come cari tau masa sekelas anda yg power full ga bisa kan ga lucu