Di dunia yang dikuasai oleh dua bulan.
Araksha dan Luminya.
Sihir dan pedang adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Kedua bulan tersebut mewakili dua kekuatan yang bertentangan, Araksha adalah sumber sihir hitam yang kuat, sedangkan Luminya menjadi sumber sihir putih yang penuh berkah.
Namun, keseimbangan dunia mulai terganggu ketika sebuah gerhana yang belum pernah terjadi sebelumnya mulai terbentuk, yang dikenal sebagai "Gerhana Bulan Kembar".
Saat gerhana ini mendekat, kekuatan sihir dari kedua bulan mulai menyatu dan menciptakan kekacauan. Menyebabkan kehancuran diberbagai kerajaan.
"Aku adalah penguasa, diam dan patuhi ucapanku!"
[NOVEL ORISINIL BY SETSUNA ERNESTA KAGAMI]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Setsuna Ernesta Kagami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Shion Aurelia Von Rosenberg.
Shion melangkah melewati lorong panjang istana, mendengar suara derap langkahnya menggema di sepanjang lantai marmer putih keemasan. Sang Ratu, Elis Von Ballerina, telah memanggilnya untuk melapor.
Sosok wanita yang begitu dihormatinya itu menunggunya di balkon terbuka, mengenakan gaun putih berhiaskan emas. Mahkotanya bersinar di bawah sinar matahari senja. Saat melihat Shion datang, senyum lembut menghiasi wajahnya.
"Kau kembali lebih cepat dari yang kuduga, Shion."
Shion berlutut dengan satu tangan di dada, memberi hormat. "Saya kembali, Yang mulia."
Elis menghela napas pelan, lalu melangkah mendekat. "Bangunlah. Ikut denganku."
Tanpa bertanya, Shion menurut. Ia selalu seperti itu, patuh tanpa keraguan, seperti kesatria sejati. Ratu mulai berjalan, mengajaknya melewati taman istana yang dipenuhi bunga-bunga bercahaya. Langkah Shion tetap tegap, kontras dengan suasana damai di sekelilingnya.
"Shion putri cahaya madya," kata Ratu Elis tiba-tiba. "Apa kau pernah berpikir tentang masa depanmu?"
Shion berkedip, agak bingung dengan pertanyaan itu. "Masa depan saya, Yang Mulia?"
"Ya," Elis tersenyum tipis, "Selama ini kau hidup untuk melindungi kerajaan. Tapi… apakah kau pernah berpikir tentang kehidupan di luar itu?"
Shion terdiam sejenak sebelum menjawab, "Takdir saya adalah menjadi seorang kesatria. Itu bagian dari hidup saya."
Ratu Elis mengangguk pelan. "Aku sudah menduganya." Ia menoleh ke arah taman, melihat bunga-bunga suci bermekaran. "Tapi, Shion… Pernahkah kau berpikir untuk menjadi seorang ibu?"
Langkah Shion terhenti.
Itu adalah pertanyaan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Menjadi ibu? Ia bahkan tidak pernah mempertimbangkannya. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk medan perang, pedang, dan perlindungan bagi kerajaan.
"Saya…" Shion ragu sejenak, "Seorang kesatria tidak memiliki kemewahan untuk memikirkan hal semacam itu, Yang Mulia."
Elis tersenyum lembut, tetapi ada kesedihan di matanya. "Kau selalu begitu sangat polos, Shion."
Shion menunduk sedikit, merasa bingung. Ia bukan tidak mengerti arti pertanyaan itu, tapi baginya… cinta, keluarga, kehidupan di luar peperangan, semua itu terasa asing. Ia tidak tahu bagaimana menjawabnya.
Sang Ratu melangkah mendekat, meletakkan tangan di bahu Shion.
"Kau adalah kesatria terbaik Luminara," katanya lembut. "Tapi kau juga seorang wanita muda, Shion. Kau berhak untuk bahagia, lebih dari yang kau sadari."
Shion menatapnya, matanya yang biasanya tajam kini sedikit melembut. Angin lembut berembus, membawa aroma bunga-bunga suci yang bermekaran di taman istana.
"Menjadi seorang kesatria adalah kehormatan bagi saya," katanya dengan suara tenang. "Sejak kecil, saya sudah dilatih untuk melindungi kerajaan ini. Setiap tetes darah, setiap tebasan pedang, semuanya memiliki tujuan. Saya adalah perisai Luminara yang sudah dinobatkan oleh hukum kesatria."
"Saya hidup untuk tugas ini. Bahkan kekuatan yang saya miliki, Luminya, bukanlah milik saya seorang. Itu adalah berkat yang harus saya gunakan demi kerajaan. Saya tidak pernah menyesali hidup saya sebagai kesatria, karena inilah takdir saya, Yang mulia."
Elis mengamati Shion dengan mata yang sulit ditebak. Ada kebanggaan di sana, tetapi juga sedikit kesedihan yang terselubung. Ia tahu bahwa kata-kata Shion tidak dibuat-buat. Gadis itu memang dilahirkan sebagai kesatria sejati.
Sang Ratu menghela napas pelan. "Kau benar-benar berbeda dari yang lain, Shion."
Shion hanya tersenyum kecil, tetap berdiri dengan sikap tegap dan disiplin.
Namun, suasana tiba-tiba berubah saat Elis menatapnya dengan sorot mata serius.
"Bagaimana dengan anak-anak di panti asuhan itu?"
Shion terdiam sejenak. Matanya yang tadi penuh ketenangan kini berubah tajam. Dalam sekejap, ia kembali menjadi Grand Marshal, bukan lagi seorang gadis yang berbicara dengan ratunya di taman yang damai.
"Kegelapan sedang bergerak," kata Shion dengan nada yang lebih rendah. "Apa yang terjadi di perbatasan bukan sekadar pembantaian biasa. Itu adalah sebuah kehancuran, dilakukan oleh makhluk yang memahami Araksha dengan baik."
Ia mengepalkan tangannya.
"Saya tidak akan memaafkan pelakunya."
Elis tidak langsung merespons. Ia hanya diam, memperhatikan Shion dengan dalam.
Dan sebagai seseorang yang telah menyaksikan kengerian di perbatasan, ia menunggu izin untuk membalas dendam bagi mereka yang tidak bisa melakukannya sendiri.
Namun, Ratu Elis hanya memandangnya. Sampai beberapa kemudian.
Langkah Shion bergema di lorong panjang istana. Kilauan zirahnya memantulkan cahaya dari lentera-lentera yang berjajar di dinding marmer putih keemasan. Begitu ia melangkah keluar dari gerbang utama, udara segar langsung menyambutnya, membawa aroma tanah yang baru saja terkena embun malam.
Di sana, di halaman istana yang luas, pasukannya sudah menunggunya.
Reiner, dengan tubuh kekarnya, menyandarkan tangannya di gagang pedangnya yang besar. Matanya menyipit, mencoba membaca ekspresi pemimpinnya.
Luna, berdiri tegap, tetapi ada sedikit ketegangan di wajahnya, ia jelas ingin tahu hasil pertemuan Shion dengan Ratu.
Lucy, yang biasanya paling berisik, kali ini tidak berbicara duluan.
Saat melihat Shion keluar, mereka semua melangkah maju.
"Komandan," Reiner yang pertama membuka suara. "Bagaimana hasil pertemuan dengan Yang Mulia?"
Luna menimpali, "Apa yang dikatakan Ratu? Apakah kita akan segera bergerak?"
Lucy menatap Shion dengan cermat, lalu mengerucutkan bibir. "Kenapa kau diam saja, Komandan? Kau biasanya langsung memberi perintah setelah berbicara dengan ratu!"
Namun, Shion hanya tersenyum.
Senyum itu bukan sekadar ekspresi kosong. Itu adalah senyum pemimpin yang memahami pasukannya, tetapi juga menyimpan sesuatu di dalam dirinya.
Ia melihat mereka satu per satu. Mereka bukan cuma prajurit baginya. Mereka adalah orang-orang yang telah bersamanya melewati banyak peperangan. Keluarga dalam pertempuran.
"Aku mengerti keingintahuan kalian," katanya akhirnya, suaranya tenang namun penuh wibawa. "Namun, tidak semua hal harus dikatakan secara langsung."
Luna sedikit mengernyit.
Shion melangkah lebih dekat ke arah mereka. "Dengar," lanjutnya, "Mulai sekarang, ke mana pun aku pergi, kalian akan ikut denganku. Ini bukan cuma tugas biasa. Ini adalah perintah yang akan menentukan banyak hal ke depannya."
Mata mereka semua membulat.
"Jadi… kita tidak kembali ke markas?" tanya Reiner, memastikan.
Shion menggeleng. "Tidak. Tapi kita akan bergerak."
Lucy bersorak kecil, semangatnya kembali. "Akhirnya! Aku sudah bosan menunggu!"
Luna tetap fokus. "Apa tujuannya, Komandan?"
Shion menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, "Menjaga cahaya tetap bersinar… dan memburu kegelapan."
Mereka semua saling bertukar pandang, tetapi tak ada yang meragukan Shion.
"Baik," kata Reiner akhirnya, menepuk dadanya. "Ke mana pun kau pergi, Komandan, kami akan mengikutimu."
Shion tersenyum sekali lagi...
Kemudian, fajar baru saja menyingsing ketika rombongan Shion Aurelia Von Rosenberg tiba di sebuah desa kecil di perbatasan. Namun, bukan ketenangan pagi yang menyambut mereka, melainkan suara jeritan, asap yang mengepul, dan bau darah yang menyengat udara.
"Apa yang sedang terjadi disini?" Luna menyipitkan mata, langsung menarik pedangnya.
Reiner mengamati sekitar dengan rahang mengeras. "Tidak ada tanda-tanda pasukan musuh… tapi ini jelas bukan perampokan biasa."
Shion tidak mengatakan apa pun, hanya memicingkan mata ke arah kehancuran yang terjadi di hadapannya. Rumah-rumah terbakar, mayat-mayat tergeletak di tanah, dan yang lebih buruk, makhluk-makhluk bertubuh besar dengan kulit kasar dan mata merah berkilat berlari-lari di antara reruntuhan.
Ogre.
Makhluk raksasa yang haus darah, dengan kekuatan fisik yang luar biasa.
Namun, perhatian Shion tertuju pada sesuatu yang lain.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak perempuan kecil, sekitar lima atau enam tahun, berlari sambil memeluk erat boneka lusuh di dadanya. Napasnya tersengal, matanya dipenuhi ketakutan.
Di belakangnya, seekor ogre setinggi dua kali manusia melangkah dengan geraman rendah, senyum buas terbentuk di wajah mengerikannya. Kuku-kuku tajamnya siap untuk menerkam.
Dan saat itu terjadi, saat kaki mungil gadis itu tersandung dan tubuhnya jatuh ke tanah berdebu, Shion bertindak tanpa ragu.
"Lucy, berikan itu padaku!"
Lucy, yang awalnya kaget, langsung melempar tombaknya ke arah Shion. Tanpa membuang waktu, Shion menangkapnya, menarik napas, lalu melemparkannya dengan kekuatan penuh.
SWOOSH!
Tombak itu melesat seperti kilat, menembus udara dengan kecepatan luar biasa sebelum menancap tepat di tenggorokan ogre. Makhluk itu mengeluarkan suara serak sebelum ambruk ke tanah, mati seketika.
Anak kecil itu masih membeku di tempatnya, tubuhnya gemetar. Matanya yang besar menatap ke arah Shion dengan ketakutan yang amat dalam.
Shion melangkah mendekat, lalu berlutut di hadapannya.
"Tidak apa-apa, anak manis," katanya lembut, "Kau aman sekarang."
Anak itu hanya bisa menatapnya tanpa suara, tangannya masih erat menggenggam boneka lusuhnya.
Namun, kekacauan disana belum berakhir.
Geraman lain terdengar. Ogre-ogre yang tersisa mulai menyadari keberadaan pasukan Shion. Mata merah mereka kini menatap dengan kebencian dan niat membunuh.
Shion bangkit perlahan, matanya berubah dingin.
"Hancurkan mereka."
Reiner menghunus pedangnya. "Dengan senang hati, Komandan!"
Luna mengangguk mantap. "Kita tidak akan membiarkan mereka kabur!"
Lucy bersemangat. "Akhirnya! Aku sudah lama ingin memotong makhluk-makhluk menjijikan itu!"
Dengan satu aba-aba, pasukan Saint Knight itu bergerak, melesat ke medan pertempuran seperti badai menerjang para sampah berserakan.
Dan di tengah itu semua, Shion berdiri tegak.
Sebagai pelindung cahaya.
Sebagai penghancur kegelapan.