Nathan Hayes adalah bintang di dunia kuliner, seorang chef jenius, tampan, kaya, dan penuh pesona. Restorannya di New York selalu penuh, setiap hidangan yang ia ciptakan menjadi mahakarya, dan setiap wanita ingin berada di sisinya. Namun, hidupnya bukan hanya tentang dapur. Ia hidup untuk adrenalin, mengendarai motor di tepi bahaya, menantang batas yang tak berani disentuh orang lain.
Sampai suatu malam, satu lompatan berani mengubah segalanya.
Sebuah kecelakaan brutal menghancurkan dunianya dalam sekejap. Nathan terbangun di rumah sakit, tak lagi bisa berdiri, apalagi berlari mengejar mimpi-mimpinya. Amarah, kepahitan, dan keputusasaan menguasainya. Ia menolak dunia termasuk semua orang yang mencoba membantunya. Lalu datanglah Olivia Carter.
Seorang perawat yang jauh dari bayangan Nathan tentang "malaikat penyelamat." Olivia bukan wanita cantik yang akan jatuh cinta dengan mudah. Mampukah Olivia bertahan menghadapi perlakuan Nathan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JIKA KAU TAHU ISI HATIKU
Sesaat setelah menyapa Charlotte, Olivia segera menyampaikan permohonan maaf karena hari ini ia datang sedikit terlambat. Charlotte menanggapinya dengan senyum hangat dan mengatakan bahwa ia tidak perlu merasa bersalah.
Namun Olivia tampak masih merasa tidak enak hati. "Besok jadwal kuliah saya dimulai lebih pagi, Bu. Jadi... saya ingin minta izin untuk menyiapkan keperluan Nathan lebih awal, agar semuanya tetap berjalan seperti biasa," ujarnya pelan.
Charlotte menggeleng pelan, menaruh tangan lembutnya di lengan Olivia. "Tidak perlu, Olivia. Justru kalau kamu datang terlalu pagi, itu bisa mengganggu Nathan juga. Lagipula, kasihan kamu kalau harus bangun sepagi itu setiap hari. Kamu tetap butuh waktu untuk dirimu sendiri."
Olivia terdiam sejenak, merasa sangat dihargai oleh perhatian Charlotte. Ia mengangguk pelan, menyembunyikan rasa harunya dengan senyum tipis. "Terima kasih, Bu. Saya akan tetap mengatur waktu sebaik mungkin."
___
Siang itu, Olivia bisa sedikit bersenang hati. Salah satu dosennya mendadak tidak bisa hadir dan hanya memberikan tugas melalui email. Hal itu membuatnya bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Langkahnya terasa ringan saat keluar dari kampus, seolah ada dorongan semangat yang membawanya pulang lebih cepat ke tempat di mana pikirannya tak pernah benar-benar bisa jauh yaitu rumah Nathan.
Di dalam hati, Olivia sudah membayangkan akan bisa menyiapkan teh sore untuk Nathan, mungkin mengajaknya duduk di dekat jendela lagi seperti kemarin. Senyum kecil terlukis di wajahnya tanpa sadar. Meski kehadirannya hanya dianggap sebagai seorang perawat, namun ada sesuatu yang selalu menariknya kembali ke sisi pria itu.
Siang itu, begitu Olivia sampai di rumah, langkahnya langsung terpacu untuk mencari sosok itu. Matanya menyapu halaman depan, teras, hingga sisi samping rumah tempat biasanya Nathan menikmati udara sore. Namun hari ini, tidak ada siapa pun di sana. Sunyi. Tenang. Hanya angin lembut yang menyambutnya.
"Hmm... jadi dia belum keluar kamar," gumam Olivia pelan, separuh menebak, separuh berharap.
Ia melangkah masuk, membuka sepatunya perlahan. Pikirannya mulai bertanya-tanya sedang apa dia sekarang? Tidurkah? Atau mungkin sedang membaca seperti kemarin? Atau justru... memikirkan sesuatu?
Langkah Olivia terhenti di depan pintu kamar Nathan. Ada keraguan kecil dalam hatinya keraguan yang bukan karena takut, tapi karena ia terlalu menantikan pertemuan itu, seolah sedang merindukan seseorang yang belum tentu menunggunya kembali.
Perlahan, Olivia memutar gagang pintu dan mendorongnya dengan hati-hati. Tak ingin mengganggu, tapi tak mampu juga menahan rindunya.
Matanya langsung tertuju pada sosok pria itu, Nathan duduk di kursi rodanya di sudut ruang kerja. Tubuhnya sedikit condong ke depan, matanya fokus menatap layar laptop, jemarinya sesekali bergerak mengarahkan kursor, mencatat sesuatu di buku catatan di pangkuannya.
Senyum kecil tersungging di bibir Olivia. Tanpa sadar ia bergumam pelan, "Sejak aku jarang di sampingnya... dia terlihat lebih mandiri."
Ada rasa senang, ada pula rasa aneh yang menggantung di dadanya. Bahagia karena Nathan perlahan bangkit, tapi ada pula kekhawatiran... apakah perlahan kehadirannya mulai tak lagi dibutuhkan?
Ia melangkah masuk lebih dekat, tak ingin mengganggu konsentrasi Nathan.
Nathan mengangkat kepalanya perlahan saat mendengar suara langkah pelan yang familiar. Begitu melihat sosok Olivia berdiri di ambang pintu dengan senyum hangat, sorot matanya berubah ada kejutan kecil yang tak bisa ia sembunyikan.
"Sudah pulang?" tanyanya singkat, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Olivia mengangguk sambil melangkah mendekat. "Iya, hari ini bisa pulang lebih cepat. Kupikir... mungkin kamu butuh teman ngobrol."
Nathan menatapnya sejenak. Dalam diamnya, ia seperti menimbang sesuatu. Lalu ia menoleh ke arah layar laptop dan menutupnya perlahan. "Kebetulan aku juga sudah cukup pusing melihat angka-angka ini."
Olivia tertawa kecil. "Jadi aku datang di waktu yang tepat?"
Nathan mengangguk, lalu menggeser kursinya sedikit agar Olivia bisa duduk di sampingnya. "Kamu selalu datang di waktu yang tepat."
Sekilas, kata-kata itu terdengar biasa. Tapi bagi Olivia, kalimat itu mengandung makna yang lebih dalam, dan entah mengapa, hatinya terasa hangat mendengarnya.
Olivia duduk di kursi samping Nathan, memperhatikan ekspresi wajahnya yang terlihat lebih tenang dari sebelumnya.
“Aku suka lihat kamu begini,” ucap Olivia dengan suara lembut, “Fokus, serius, tapi tetap... terlihat keren.”
Nathan melirik ke arahnya dengan setengah senyum. “Kamu ini selalu bisa saja memuji. Apa kamu tidak pernah kehabisan kata-kata manis?”
Olivia mengangkat bahu, matanya berbinar. “Kalau memang kamu pantas dipuji, kenapa harus ditahan?”
Nathan tersenyum kecil, tapi senyuman itu cepat memudar. Ada jeda yang sedikit canggung, seolah pikirannya melayang jauh. Ia memalingkan pandangan ke jendela, berusaha menyembunyikan sorot matanya yang mulai berubah.
Melihat perubahan itu, Olivia sedikit mengernyit. “Ada apa Nathan, seperti ada yang kamu pikirkan?”
Nathan menghela napas perlahan. “Aku hanya berpikir... kamu terlalu baik padaku.”
Olivia tersenyum lembut. “Bukankah kamu juga baik padaku, dengan caramu sendiri?”
Nathan kembali menatapnya kali ini lebih lama. Ada sesuatu di sana, seperti pertarungan batin yang tak mampu ia redam.
Nathan menoleh perlahan ke arah jendela, berusaha menenangkan gejolak di hatinya sebelum membuka pembicaraan.
“Gimana kuliahmu, Liv?” tanyanya dengan nada santai, meskipun dalam hatinya tidak sesantai itu. “Masih sesibuk biasanya?”
Olivia mengangguk sambil tersenyum. “Iya, tapi sejauh ini masih bisa kuatasi. Beberapa dosen mulai banyak ngasih tugas kelompok, tapi aku lumayan menikmati, kok.”
Nathan ikut tersenyum kecil. “Baguslah... Aku senang dengarnya.”
Suasana sempat hening beberapa detik sebelum Nathan kembali bersuara, kali ini dengan nada hati-hati.
“Kuliah psikologi itu... kamu pernah belajar tentang kedekatan emosional, ya?” tanyanya pelan, seolah menuntun ke arah yang ingin ia capai.
Olivia mengangguk perlahan. “Pernah, kenapa?”
Nathan berdeham sebentar, lalu berkata, “Menurutmu... kalau ada dua orang yang saling cocok, punya energi yang seimbang... tapi salah satunya merasa dirinya nggak layak... menurutmu, mereka tetap bisa bersama?”
Olivia menatap Nathan dalam-dalam, mencoba memahami arah pikirannya. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Nathan buru-buru menambahkan, “Maksudku... bukan aku, ya. Hanya... ingin tahu saja.”
Senyum Olivia mengembang samar. “Kadang, yang merasa tidak layak itu justru yang paling tulus.”
Nathan menunduk, menelan pahitnya kalimat itu. Ia tahu, mungkin Olivia tidak menyadari betapa dalam makna kata-katanya bagi dirinya.
Setelah jeda, Nathan melanjutkan dengan perlahan, “Olivia, aku ingin membahas tentang Erick, Erick orang yang baik. Aku tahu dia sangat peduli padaku... dan aku rasa, dia juga nyaman bicara sama kamu.”
Olivia mengerutkan alis. “Maksudmu?”
Nathan tersenyum samar, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan getirnya. “Aku cuma berpikir... mungkin kamu dan Erick bisa jadi pasangan yang baik.”
Ada keheningan yang menggantung.
Olivia terdiam. Ia tidak menyangka Nathan tiba-tiba menyinggung tentang Erick. Kata-kata Nathan tadi seperti sedang menuntunnya... bukan padanya, tapi pada pria lain yang selama ini memang kerap menunjukkan perhatian yaitu Erick.
Ia menunduk pelan, menahan degup jantung yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.
Selama ini, Nathan tahu betul bahwa Erick kerap mendekatinya. Bahkan terkadang Erick menggoda terang-terangan. Olivia sadar, Erick adalah pria baik, perhatian, dan bisa membuat siapa pun merasa nyaman. Tapi entah mengapa, hatinya selalu berlabuh pada satu sosok... Nathan.
Dan itu yang membuatnya bingung. Karena Nathan... tak pernah menunjukkan hal yang sama. Nathan selalu bersikap seperti kakak, atau mungkin sahabat yang menjaga jarak. Tak pernah menyentuh area yang lebih dalam dari sekadar perhatian sebagai seorang pria terhadap wanita.
‘Mungkin Nathan memang tak punya perasaan itu,’ batinnya lirih. ‘Mungkin selama ini aku hanya terlalu berharap.’
Dengan hati-hati, Olivia tersenyum, mencoba menyembunyikan gejolak yang sebenarnya. “Iya... Erick memang orang yang baik. Aku menghargai perhatiannya.”
Nathan menatapnya sejenak. Tak banyak berkata-kata, hanya mengangguk pelan, seolah menyetujui.
Dan di dalam hati Olivia... ada bagian kecil yang retak. Tapi ia memilih diam. Karena ia tahu, perasaan seperti ini tak bisa dipaksakan, terutama jika tidak berbalas.
Olivia hanya anggap erick sekedar tmn dan nathan berusaha mendekatkan erick sm olivia....
Olivia tidak akan bahagia bersama erick cintanya hanya tuk nathan pria sangat dikagumi dan dicintainya...
Lanjut thor💪💪💪💪💪
Jason sangat iri sm erick sangat sipercaya sm nathan ketimbang jason dan nathan pasti tahu mana yg jujur dan tidak....
Tunggu aja sampai bukti2 kuat terkumpul pasti tamat riwayatmu jason dan nathan tidak akan mengampuni seorang pengkhianat...
tp nathan merasa tidak pantas buat olivia krn lumpuh olivia mencintai nathan sangat tulus gimanapun keadaan nathan...
lanjut thor💪💪💪💪💪
Semenjak kehadiran olivia nathan kembali semangat lagi dan hidupnya penuh warna...
Tp nathan memendam rasa cintanya kpd olivia dan merasa tidak pantas buat olivia krn lumpuh....
lanjut thor...
semangat selalu💪💪💪💪💪
Ada mom carrolotte dan olivia sll kasih dukungan dan semangatnya.....
lanjut thor💪💪💪💪💪
Nathan sangat merasa minder/tidak pantas buat olivia dan ungkapan aja nathan perasaannya pd olivia....
krn olivia jg merawat nathan dangat tulus dan ikhlas nathan bisa bangkit dr keterpurukan hrs berusaha tuk sembuh dengan terapi pasti bisa jalan lagi....
lanjut thor....
semangat selalu...
sehat selalu.....